Film 27 Steps of May yang rilis di bioskop pada 27 April 2019 silam sempat menjadi bahan perbincangan hangat Movieholic di media sosial.
Mahakarya epic yang dilahirkan dari kolaborasi sutradara Ravi Bharwani dan ditulis oleh Rayya Makarim ini sukses menyegarkan industri perfilman Indonesia.
Mengadopsi isu kekerasan seksual sebagai tema film, Movieholic diajak untuk menyaksikan dan merasakan perjuangan dari seorang penyintas peristiwa kekerasan seksual melalui visualisasi yang terekam indah pada film.
Penggunaan isu kekerasan seksual tersebut yang kemudian menjadikan film 27 Steps of May menonjol dari film lainnya, baik yang tayang bersamaan di bioskop maupun yang sudah tayang.
Sedikit latar belakang bagi Movieholic, kekerasan seksual selalu menjadi sebuah topik yang menarik untuk dibicarakan, atau diperdebatkan.
Terkhusus di Indonesia, yang hingga pada tahun 2020 ini masih banyak ditemukan kasus kekerasan seksual yang tidak jelas penyelesaiannya.
Mengutip dari situs web Republika.co.id yang memuat pernyataan Komnas Perempuan, hingga pada tahun 2019 tercatat sebanyak 4.898 kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Hal ini menjadi semakin menyedihkan mengingat bahwa jumlah yang sangat besar tersebut hanya merupakan data kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Bagaimana dengan kasus yang tidak terlapor?
Setelah mengetahui fakta tersebut, Movieholic mungkin menjadi ikut paham tentang mengapa film 27 Steps of May menonjol dari film Indonesia lainnya.
Fenomena kekerasan seksual yang diperlihatkan pada film tentu bukan hanya terjadi pada tokoh May saja.
Masyarakat awam, komunitas-komunitas pemerhati kesetaraan gender, bahkan Pemerintah pun dibebani fenomena yang sudah menjadi masalah umum ini selama bertahun-tahun.
Berbagai pendekatan moral, agama, dan pendidikan dengan gencar diluncurkan untuk mengantisipasi fenomena tersebut.
Karena itu, menarik bagi kita untuk dapat mengamati film 27 Steps of May melalui paradigma fenomenologi.
Paradigma fenomenologi adalah sebuah cara pandang yang dimiliki manusia untuk mencerna suatu fenomena berdasarkan pengalamannya.
Movieholic yang menyaksikan film tersebut akan tahu bagaimana sutradara Ravi Bharwani menggambarkan proses penerimaan diri yang dilakukan oleh May sebagai tokoh utama.Â
Penonton diajak merasakan luka batin yang susah payah disembuhkan, penghargaan diri yang mati-matian dibangun kembali.
Karena itu, tidak heran ketika Movieholic mengetahui bahwa film ini sukses mendapatkan perhatian dan validasi dari kritikus maupun penikmat seni internasional.
27 Steps of May berhasil membuat para penontonnya menemukan keterkaitan isu kekerasan seksual dengan dirinya, terutama bagi para perempuan.Â
Melalui 27 Steps of May kita diajarkan untuk memahami luka seseorang sebelum menghakiminya.
Serta, terlebih dari itu semua, memahami dan ikut berperan nyata dalam mencegah adanya korban-korban kekerasan seksual lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H