Mohon tunggu...
Pro Suprapto
Pro Suprapto Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Seorang yang senang sharing pengetahuan melalui tulisan, hobi bersepeda, dan tinggal di jakarta. \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mohammad Hatta dan Filosofi Ayam Berkokok

29 Oktober 2015   07:43 Diperbarui: 30 Oktober 2015   01:56 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini, bisa dikata tak ada lagi para pemimpin negeri ini dan istrinya yang hidup melarat. Mereka sudah sangat berkecukupan jika diukur dari kebutuhan hidup sandang, pangan, papan, dan status sosial. Tetapi sikap rakus dan kurang bersyukur itulah yang membuat mereka terus menumpuk harta dan/untuk melanggengkan kekuasaan sehingga sampai hati merampok uang rakyat. Dalam pandangan Prof Djohermansyah Djohan, kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang bermoral dan kompeten, karena seseorang bisa menjadi pemimpin yang kompeten tapi tidak bermoral. Pemimpin korup tentu bukanlah pemimpin yang bermoral.

[caption caption="Masa kecil Mohammad Athar yang kemudian dipanggil Mohammad Hatta di kota sejuk di Bukittinggi, Sumatera Barat."

]

[/caption]

Mendidik pengikut

Kebiasaan menulis, khususnya di media massa, Hatta lakukan ketika masih duduk di sekolah menengah di Jakarta. Saat ia menempuh pendidikan di Belanda, tulisan-tulisannya baik tentang ekonomi, politik, pegerakan, sosial, bahkan filsafat, semakin berkembang. Dia menjadi kolomnis sejumlah majalah di Indonesia dan juga mengasuh majalah di Belanda, yakni Poetra Hindia yang kemudian berubah menjadi Indonesia Merdeka.

Menulis adalah salah satu sarana bagi Hatta untuk mengasah tingkat intelektualitasnya, menyuarakan kemerdekaan Indonesia, melakukan perlawanan terhadap penjajah, serta mendidik rakyat dan kemudian mendidik kader atau pengikutnya di partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) baru. Dalam kaitan mendidik kader ini, ia lakukan mulai tahun 1930 ketika Soekarno ditangkap dan kemudian keluar dari PNI lama. Saat itu, Hatta yang masih berada di Belanda melakukan korespondensi dengan Sudjadi, tokoh PNI yang kecewa dengan sikap Bung Karno, untuk menerbitkan majalah Daulat Ra’yat.

Menurut Hatta, “Daulat Ra’yat bukanlah majalah untuk beragitasi, tetapi majalah untuk mendidik.” Hatta memang menggunakan majalah ini untuk mendidik kader partai dan juga mencerahkan rakyat. Soal pendidikan kader ini, ia sangat ketat. Dia tak akan menyetujui sembarang orang menjadi anggota partai dan kemudian mendirikan cabang, sebelum mengikuti pendidikan dan mengetahui perjuangan partai. Sikap itu sesuai konsep kepemimpinan dan kepengikutan (leadership dan followership) yang diyakini. Menurutnya, pergerakan memperjuangkan kemerdekaan tak boleh tinggal pergerakan pemimpin, yang hidup dan mati dengan pemimpin itu. Akan tetapi, pergerakan harus menumbuhkan para pengikut yang banyak sehingga menjadi pergerakan ‘pahlawan-pahlawan yang tak punya nama’. Artinya pergerakan rakyat sendiri, yang tidak tergantung kepada nasibnya pemimpin. Untuk itulah, ia harus mendidik para pengikut, rakyat, atau kader partai, agar kelak siap menjadi pemimpin.

Hasil menciptakan good follower (pengikut yang baik) ini ia tuai ketika dipenjara oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 25 Februari 1934. Meski dia, Sjahrir, dan Bondan yang merupakan tokoh PNI dan Daulat Ra’yat dipenjara, PNI tetap berjalan dan Daulat Ra’yat tetap terbit.

“Sejak aku dikunjungi sekali seminggu oleh kakakku Rafiah dan iparku, aku senantiasa mendengar kabar yang baik bahwa PNI terus bergerak dan Daulat Ra’yat terus terbit. Berbeda dengan Partindo, begitu pemimpinnya ditahan, lenyap juga partai dan majalahnya. Di PNI dan Daulat Ra’yat, ada saja pemimpin baru yang meneruskan usaha,” ujar Hatta dalam Berjuang dan Dibuang (2011:136).

Konsep Hatta dalam mendidik para pengikut itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemimpin yang memiliki gaya transformasional. James Mcgregor Burns dalam Vugt dan Ahuja (2015:50) mengatakan, kepemimpinan transformasional mengubah pengikut menjadi pemimpin dan bisa mengubah pemimpin menjadi agen moral. Ada aliran gagasan dan impian di antara pemimpin dan pengikut demi kemaslahatan bersama.

Dan apa yang dilakukan Hatta, khususnya dalam mendidik rakyat serta anggota partai baik melalui rapat atau pertemuan-pertemuan langsung maupun melalui majalah/surat kabar, telah mampu menciptakan pemimpin-pemimpin baru. Sehingga, ketika ia ditangkap dan kemudian dibuang ke Boven Digul, Papua, lalu dipindah ke Banda Neira, Maluku, serta kemudian ke Sukabumi, Jawa Barat, partai dan majalahnya tetap jalan. Di Boven Digul pun dia membuka kelas khusus seminggu dua kali untuk mendidik kader-kader PNI yang dibuang, seperti Boerhanuddin, Bondan, dan Suka. Ketika dibuang ke Banda Neira, dia bahkan membuka kelas khusus untuk mendidik anak-anak Tjipto Mangoenkoesoemo serta anak saudaranya yang dikirim dari Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun