Mohon tunggu...
Pro Suprapto
Pro Suprapto Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Seorang yang senang sharing pengetahuan melalui tulisan, hobi bersepeda, dan tinggal di jakarta. \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mohammad Hatta dan Filosofi Ayam Berkokok

29 Oktober 2015   07:43 Diperbarui: 30 Oktober 2015   01:56 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sebagai kanak-kanak aku sudah melihat dari dekat dua cara pimpinan yang berlainan, sentralisasi dan desentralisasi yang kemudian menjadi pelajaran bagiku,” kata Hatta. Menurut Hatta Pak Gaek telah menerapkan konsep desentralisasi kekuasaana, sedangkan Mak Gaek masih tetap melakukan sentralisasi kekuasaan.

Berbagai peristiwa yang menimpa rakyat dan dialami saat masih kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, ia petik sebagai pelajaran kehidupan dan kepemimpinan yang sangat berharga yang kelak menjadikannya sebagai pemimpin besar. Perang Kamang pada 1908 menjadi pelajaran berharga bagaimana rakyat yang marah karena Belanda ingkar janji melakukan perlawanan secara fisik. Dari rumahnya, Hatta sering mendengar dan melihat polisi-polisi Belanda memeriksa dan menyiksa rakyat setelah peristiwa Perang Kamang. Saat itulah Hatta sudah berpikir bahwa (penjajah) Belanda itu jahat.

Rakyat yang tertindas kaum penjajah itu sebenarnya ingin bersuara. Tetapi, sering kali mereka tak berdaya dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga tidak tahu cara melakukan perlawanan. Situasi inilah yang memacu individu yang terdidik dan mempunyai kepedulian, muncul menjadi pemimpin. Konsep lahirnya pemimpin ini sesuai filosofi ayam jantan yang ditulis Egmond Rostand dan dikutip Hatta dalam Berjuang dan Dibuang (2011:108) yang berbunyi: “Hari mulai siang bukan karena ayam berkokok, melainkan ayam berkokok karena hari mulai siang”. Rakyat bergerak melawan kesewenang-wenangan bukan karena dihasut oleh pemimpin. Pergerakan rakyat timbul bukan karena ada pemimpin yang bersuara, melainkan pemimpin bersuara karena ada pergerakan atau karena ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak keluar tetapi terus bergejolak.

Lebih lanjut Hatta mengatakan, pekerjaan pemimpin sebenarnya tidak lain dari memberikan jalan dan mengalirkan apa yang hidup dalam hati rakyat. Semangat dan perasaan rakyat ditimbulkan oleh keadaan dan penghidupannya sendiri. Pada satu tempat dan waktu semangat dan perasaan rakyat itu muncul keluar dengan hampir tidak dijuluk, pada tempat lain lagi ia berjalan seperti api makan sekam. berkobar-kobar ke dalam tetapi tidak dapat keluar. Inilah yang sering bahaya bagi ketenteraman umum dan disinilah ternyata beratnya tanggungan pemimpin.

Pernyataan Hatta menjadi pelajaran berharga untuk diikuti dan diteladani para pemimpin pemerintahan maupun para politisi. Pemimpin itu harus bisa menangkap apa yang terjadi atau berkembang dan keinginan –bahkan bisa jadi jeritan—rakyatnya. Aspirasi itu disalurkan kepada pihak-pihak terkait atau bahkan dilaksanakan sesuai dengan tanggung jawab dan wewenang para pemimpin (pejabat) tersebut. Dalam bahasa Hatta, pemimpin itu wajib menduga apa yang terasa oleh rakyat dalam hatinya dan segala perasaan yang tertutup. Menurut Nabi Muhammad SAW dalam John Adair (2010:46), dalam perjalanannya, pemimpin suatu kaum adalah pelayan kaumnya.

Andai saja pemimpin (pejabat) pemerintahan atau politisi di negeri ini bisa melakukan apa yang dikatakan oleh Hatta, maka Salim Kancil yang menentang perusakan lingkungan di Selok Awar-Awar, Lumajang, bisa jadi tidak akan tewas disiksa preman suruhan kepala desa pada akhir September 2015. Andai saja para pemimpin, pejabat di daerah mendengar dan menangkap kerasahan warga, maka kerusuhan berbau SARA di Kabupaten Aceh Singkil pada Selasa (13/10/2015) bisa dihindarkan. Demo buruh, protes warga, demo pedagang kaki lima terjadi antara lain karena ketidakmampuan pemimpin mendengar jeritan mereka.

Para pemimpin pemerintahan sekarang ini jangankan menangkap suara-suara rakyat baik yang keluar maupun yang tidak keluar, janji yang sudah terucap pun sering diingkari. Janjinya akan membuat kebijakan yang prorakyat kecil, dipenuhi dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) ketika harga BBM dunia menurun. Janji merampingkan struktur organisasi, yang terjadi malah munculnya lembaga-lembaga baru. Janji memberikan layanan angkutan umum yang baik, dijawab dengan menaikkan tariff jalan tol. Perbaikan ekonomi, yang dirasakan dan terjadi nilai rupiah makin terpuruk.

Janjinya membangun pemerintahan yang bersih dan memperkuat lembaga antikorupsi, tetapi yang terjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikriminalkan dan muncul dana aspirasi Rp 20 miliar per anggota dewan. Praktik korupsi di kalangan pejabat pemerintahan tidak hanya dilakukan oleh pejabat serta kroni, tetapi sudah melibatkan keluarga inti, seperti anak, saudara, dan istri.

Ingat kasus korupsi pengadaan Al Quran di Kementerian Agama yang menyeret anggota DPR dan anaknya. Jangan lupa kasus suap pilkada dengan tersangka Wali Kota Palembang dan istri. Dan yang masih dalam penanganan KPK adalah kasus penyelewengan dana hibah dan suap yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan dan istrinya, Evy Susanti.

Andai saja Hatta masih hidup, bisa jadi dia akan menangis melihat perilaku korup pemimpin negeri yang ia perjuangkan bahkan sampai mengorbankan kepentingan pribadinya –Hatta menikahi Rachmi Rachim 8 November 1945 karena ia berjanji baru menikah setelah Indonesia merdeka. Simak kritik tajam Hatta terhadap Soekarno saat yang bersangkutan ditangkap dan kemudian menyatakan keluar dari Partai Indonesia (Partindo) yang ia dirikan.

Saat itu, muncul informasi sikap Soekarno tersebut karena pengaruh istrinya, Inggit. Tetapi, apa pun penyebabnya, Hatta tetap menyalahkan Bung Karno sebagai seorang pemimpin yang ia sebut tak berkarakter. Dengan tegas Bung Hatta (2011:124) mengatakan, “Bukan pemimpin kalau masih terpengaruh oleh air mata istri yang tak tahan hidup melarat.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun