Nggk pake otak? otak lo taro dimana? otak lo di dengkul yah?
Familiar dengan kalimat-kalimat umpatan itu?
Kita sering mengasosiasikan “kebodohan” dengan kurangnya fungsi otak. Kita mengganggap bahwa otak adalah organ yang sangat krusial membentuk intelegensi seseorang. Hal ini tidak salah.
Bahkan, otak adalah organ terkompleks dalam tubuh manusia yang terdiri dari kurang lebih 100 milyar syaraf yang membuat trilliunan koneksi untuk menyokong fungsi manusia. Tetapi, pemahaman bahwa otak itu sangat penting, baru dimulai milenia ini. Sebelumnya kita memiliki pendangan yang lain terhadap otak.
Sekitar 400 tahun lalu, ketika jasad dipersiapkan untuk kehidupan setelah mati (mummification), orang Mesir selalu membuang organ otak karena dianggap tidak berguna dan memilih menyimpan organ jantung, karena beranggapan jantung sebagai pusat dari intelejensi.
Di awal abad 18, Franz Gall mengagas lahirnya phrenology yang menghubungkan keperibadian seseorang dengan bentuk dari tengkorak. Setelah meneliti bentuk kepala seorang pencopet misalkan, Gall melihat benjolan kecil diatas telinga yang kemudian diasosiasikan dengan sifat tamak dan kecenderungan untuk mencuri. Otak belum menjadi perhatian.
Pada pertangahan abad ke-19, banyak kecelakaan terjadi terhadap otak yang mengakibatkan perubahan perilaku. Seperti salah satu yang terkenal adalah kecelakaan yang dialami Phineas Gage, seorang yang bekerja di perusahaan rel kereta dan mendapati sebuah tongkat besi masuk tembus ke tengkoraknya dan melukai bagian otaknya. Sejak kecelakaan itu, Gage mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dan dinilai berperilaku tidak seperti biasanya.
Kasus Gage yang dikenal dengan “American Crowbar Case” menjadi awal yang penting bagaimana manusia (dalam hal ini science) melihat otak dan menjadi titik tolak perkembangan brain-centric research.
Perkembangan itu mencoba menghubungkan otak dan perilaku (behaviourism). Mereka mempelajari input yang bisa diukur dan perilaku yang bisa di observasi. Eksperimen untuk melihat bagaimana suatu stimulus (contoh makanan) mempengaruhi perilaku (contoh mencari makanan) adalah contoh dari metode ini. Sebuah eksperimen menarik dilakukan kepada Anjing dengan membunyikan lonceng setiap Anjing diberi makan. Setelah dilakukan berulang-ulang, ketika lonceng dibunyikan (tanpa disertai makanan), air liur anjing keluar. Anjing tersebut mengasosiasikan lonceng = makanan.
Pada manusia, hal ini juga sering terjadi ketika kita dihadapkan pada stimulus yang membuat kita terbiasa atau bahkan kecanduan. Bunyi pop ketika pesan masuk menggerakan kita untuk mencari HP? Warna merah segar iklan makanan dan minuman membawa kita membayangkan ayam goreng cruncy dan coca cola yang segar dan dingin? nonton TV terasa hampa tanpa ditemani cemilan? atau kebiasaan makan lain yang di trigger bukan dari rasa lapar (emotional eating).
Pada pendekatan ini, otak masih dilihat sebagai kotak hitam (Blackbox).