Mohon tunggu...
Lury Sofyan
Lury Sofyan Mohon Tunggu... Ilmuwan - Behavioral Economist

find me: https://www.linkedin.com/in/lurysofyan/

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Manusia dan Otak

30 September 2022   07:07 Diperbarui: 30 September 2022   07:15 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nggk pake otak? otak lo taro dimana? otak lo di dengkul yah?

Familiar dengan kalimat-kalimat umpatan itu? 

Kita sering mengasosiasikan “kebodohan” dengan kurangnya fungsi otak. Kita mengganggap bahwa otak adalah organ yang sangat krusial membentuk intelegensi seseorang. Hal ini tidak salah.

Bahkan, otak adalah organ terkompleks dalam tubuh manusia yang terdiri dari kurang lebih 100 milyar syaraf yang membuat trilliunan koneksi untuk menyokong fungsi manusia. Tetapi, pemahaman bahwa otak itu sangat penting, baru dimulai milenia ini. Sebelumnya kita memiliki pendangan yang lain terhadap otak.

Sekitar 400 tahun lalu, ketika jasad dipersiapkan untuk kehidupan setelah mati (mummification), orang Mesir selalu membuang organ otak karena dianggap tidak berguna dan memilih menyimpan organ jantung, karena beranggapan jantung sebagai pusat dari intelejensi.

Di awal abad 18, Franz Gall mengagas lahirnya phrenology yang menghubungkan keperibadian seseorang dengan bentuk dari tengkorak. Setelah meneliti bentuk kepala seorang pencopet misalkan, Gall melihat benjolan kecil diatas telinga yang kemudian diasosiasikan dengan sifat tamak dan kecenderungan untuk mencuri. Otak belum menjadi perhatian.

Pada pertangahan abad ke-19, banyak kecelakaan terjadi terhadap otak yang mengakibatkan perubahan perilaku. Seperti salah satu yang terkenal adalah kecelakaan yang dialami Phineas Gage, seorang yang bekerja di perusahaan rel kereta dan mendapati sebuah tongkat besi masuk tembus ke tengkoraknya dan melukai bagian otaknya. Sejak kecelakaan itu, Gage mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dan dinilai berperilaku tidak seperti biasanya.

Kasus Gage yang dikenal dengan “American Crowbar Case” menjadi awal yang penting bagaimana manusia (dalam hal ini science) melihat otak dan menjadi titik tolak perkembangan brain-centric research.

Perkembangan itu mencoba menghubungkan otak dan perilaku (behaviourism). Mereka mempelajari input yang bisa diukur dan perilaku yang bisa di observasi. Eksperimen untuk melihat bagaimana suatu stimulus (contoh makanan) mempengaruhi perilaku (contoh mencari makanan) adalah contoh dari metode ini. Sebuah eksperimen menarik dilakukan kepada Anjing dengan membunyikan lonceng setiap Anjing diberi makan. Setelah dilakukan berulang-ulang, ketika lonceng dibunyikan (tanpa disertai makanan), air liur anjing keluar. Anjing tersebut mengasosiasikan lonceng = makanan.

Pada manusia, hal ini juga sering terjadi ketika kita dihadapkan pada stimulus yang membuat kita terbiasa atau bahkan kecanduan. Bunyi pop ketika pesan masuk menggerakan kita untuk mencari HP? Warna merah segar iklan makanan dan minuman membawa kita membayangkan ayam goreng cruncy dan coca cola yang segar dan dingin? nonton TV terasa hampa tanpa ditemani cemilan? atau kebiasaan makan lain yang di trigger bukan dari rasa lapar (emotional eating).

Pada pendekatan ini, otak masih dilihat sebagai kotak hitam (Blackbox).

Fokus penelitian terus berkembang, seperti cognitive researchers yang lebih tertarik pada apa yang menggerakan perilaku. Mereka mencari apa yang belum terungkap yaitu asal biologis dari apa yang dipikirkan dan dilakukan manusia. Seperti misalnya melihat hubungan antara reaksi kimia yang ada di dalam otak dengan perilaku. Mereka berhipotesis bawah perasaan senang, sedih, semangat, dan lain lain, sebetulnya reaksi kimia dalam otak itulah yang menjadi pemicunya.

Ilmuwan menggunakan sejenis microscope yang berkemampuan tinggi untuk melihat sel dalam otak yang dinamakan neuron. Ilmuwan mempelajarinya dengan membandingkan fungsi dan anatomi neuron pada orang sehat dan pada orang yang mengalami cedera atau masalah.

Alat yang umum digunakan untuk melihat cara kerja otak adalah functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI). Alat ini dapat melihat perubahan dalam otak secara langsung. Sebagai contoh ketika seseorang memikirkan seseuatu yang menyenangkan, fMRI dapat melihat bagian otak yang berhubungan dengan rasa senang lebih aktif dibanding bagian lain.

Pencampuran metodologi dan alat membawa kita memahami otak lebih dalam. Walaupun, masih banyak misteri yang belum terpecahkan menunggu untuk di eksplorasi. Jika Anda tertarik, menjadi neuroscientist mungkin bisa menjadi pilihan karir Anda?

catatan: tulisan ini juga tampil dalam https://medium.com/@lury.sofyan/manusia-dan-otak-26871235601e

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun