Mohon tunggu...
Lury Sofyan
Lury Sofyan Mohon Tunggu... Ilmuwan - Behavioral Economist

find me: https://www.linkedin.com/in/lurysofyan/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Seperti Halnya Virus Corona, Panic Buying Juga Berbahaya

23 Maret 2020   13:22 Diperbarui: 7 Juli 2021   07:03 1319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
EPA-EFE/YUAN ZHENG CHINA OUT via KOMPAS.com

Terhitung sejak ditemukan yaitu tanggal 18 Dec 2019 (1), #Covid-19 telah membunuh 11,842 dari 284,724 orang yang terinfeksi (2). Diperkirakan angka tersebut akan terus bertambah mengingat beberapa negara belum mengalami puncak dari pandemi, termasuk Indonesia.

#Viruscorona atau Covid-19 memang sangat mengerikan, penularannya bisa sangat cepat dan mematikan. Tetapi, perilaku yang irasional dimasa chaos seperti saat ini dapat membawa situasi menjadi lebih buruk. 

Panic buying dimasa chaos dapat menembah beban mental psikologis pada seluruh masyarakat, menambah beban pada sistem ekonomi, merugikan golongan yang kurang beruntung, dan dapat berdampak pada krisis yang lebih besar yaitu krisis kepercayaan dan politik.

Sementara banyak artikel membahas bagaimana penanganan pandemi Covid-19, artikel ini akan memfokuskan pada bahaya laten yang juga perlu menjadi perhatian kita semua.

Perilaku #panicbuying ini terjadi merata diseluruh dunia, karena sifat dasar manusia itu bersifat universal, tidak mengenal wilayah, negara maju atau tidak, ataupun kepercayaan. 

Yang berbeda adalah intensitas dan keunikan perilaku reaktif yang terjadi. Sebagai contoh barang yang diburu di Indonesia tidak mungkin tisu toilet seperti di negara yang memiliki empat musim karena perbedaan budaya.

Perilaku panic buying adalah respon reaktif manusia terhadap ancaman pandemi Covid-19. Manusia memiliki insting untuk bertahan hidup (survival instinct) yang terprogram didalam keyakinan mereka. 

Survival insting ini adalah atribut penting yang dimiliki manusia untuk mempertahankan eksistensi melalui adaptasi dan evolusi. Sehingga bisa dikatakan bahwa tidak mungkin kita dapat menghilangkan sifat dasar manusia ini.

Pada masa penuh dengan ketidakpastian ini, orang biasanya berada pada hot state - suatu keadaan dimana kontrol terhadap keputusan didominasi oleh emosi dan ketidaktenangan. 

Pada kondisi seperti ini, orang cenderung menilai lebih suatu risiko (loss aversion bias), sensitif terhadap informasi (anxiety), dan cenderung mengikuti kerumunan untuk menghindari risiko (following the crowd). 

Hal ini dilakukan karena kita tidak memiliki informasi sepenuhnya atas apa yang akan terjadi dimasa depan, sehingga mengikuti kerumunan akan memberikan kenyamanan psikologis tersendiri.

Namun demikian, dimasa chaos seperti ini, survival instinct berupa perilaku panic buying yang berlebihan sangat berbahaya. Membiarkan panic buying merajalela begitu saja adalah seperti menanamkan norma deskriptif (descriptive norm) baru kedalam masyarakat bahwa inilah perilaku yang baik dilakukan merespon pandemi Covid-19. Dampaknya akan sangat sulit dikontrol jika tidak diwaspadai sejak awal.

Sejarah telah memberikan banyak pembelajaran (krisis asia 1998 dan krisis financial Lehman Bothers 2008) bagaimana dimanika keputusan seseorang dapat mempengaruhi keputusan orang lain, mem-by pass rasionalitas, dan mewabah secara sistemik menggerakan psikologi masa kepada kepanikan yang berlebihan (butterfly effect).

Lalu apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi, jika tidak mungkin menghilangkan, perilaku panic buying yang banyak terjadi di beberapa negara, termasuk di Indonesia.

1. Buat norma sosial terlihat jelas

Manusia memilih menghindari risiko dengan menjadi bagian dari kerumunan atau kelompok. Kelompok memberikan anggota keuntungan atas akses yang lebih baik terhadap sumberdaya. Agar suatu kelompok dapat berfungsi, aturan dibuat dan ditetapkan dan orang yang melanggar akan dihukum.

Dalam suasana chaos seperti ini, aturan harus kembali dikenalkan. Terutama aturan sosial yang bersifat informal seperti norma dan kebiasaan. Menempelkan pesan "penimbun harusnya malu", "jangan serakah", "pikirkan orang lain" dapat sedikit mendinginkan hot state dan mengurangi agresivitas dari survival instinct. 

Pesan mengandung nilai kebersamaan dapat sedikit menetralisir survival instinct yang selalu menjadikan Aku, Aku dan Aku sebagai tujuan. Tempel pesan-pesan tersebut di setiap toko-toko, supermarket, mall, tempat kerumunan dan sebarkan lewat media sosial secara gencar. Masukan upaya ini menjadi bagian dari suatu gerakan besar dalam melawan pandemi Covid-19.

2. Sebarkan pesan bahwa stock makanan aman

Strategi yang paling ampuh untuk mengurangi survival instinct adalah dengan memberikan pesan bahwa ancaman yang ditakutkan adalah tidak relevan. 

Pemerintah dapat mengajak perusahaan retailer, suplier, perusahaan logistik (termasuk ojol dan taksi online) untuk memberi pesan yang sama bahwa persediaan barang konsumsi akan terus terjaga. Di Inggris, supermarket besar memberikan pernyataan bersama untuk meyakinkan bahwa tidak ada alasan untuk melakukan pembelian dalam jumlah besar (3)

3. Anchoring jumlah persedian yang memadai

Ketika seseorang mengalami panic buying, dia tidak memiliki perhitungan yang memadai untuk menentukan sebanyak apa dia harus menimbun barang.

Semua orang akan mengalami kesulitan menjawab pertanyaan ini: Berapa banyak sembako yang saya harus timbun sehingga saya merasa aman menhadapai pandemi Covid-19? karena tidak tersedianya informasi yang memadai, akhirnya masyarakat berboyong-boyong membeli barang dengan menggunakan aturan sederhana (rule of thumbs) semakin banyak saya menimbun maka saya akan semakin aman.

Namun rasa aman tersebut akan mulai goyah jika melihat tetangga menimbun lebih banyak. Mereka akan selalu mencari anchor (jangkar) sebagai pembanding kelayakan keputusan mereka.

Seperti dijelaskan sebelumnya, menghilangkan panic buying adalah hal yang hampir tidak mungkin karena perilaku itu adalah insting manusia dan merupakan respon normal. 

Untuk mengendalikan hal itu, pemerintah dapat melakukan intervensi perilaku (nudge) dengan memberikan anchoring kepada masyarakat dengan memberikan acuan jumlah persediaan yang dibutuhkan selama pandemi Covid-19 terjadi. Sebagai contoh: Karena 14 hari adalah masa yang dianggap cukup untuk melakukan isolasi diri maka 14 hari bisa dijadikan anchor untuk membeli jumlah persediaan.

4. Framing kisah nyata heroisme melawan Covid-19

Sebuah pepatah mengatakan "The moment of chaos brings not only the best out in people, but also their worst!". Kisah nyata pergulatan garda terdepan melawan Covid-19 harus mendapat perhatian lebih banyak dibanding perilaku negatif seperti panic buying. 

Buat tayangan khusus mengenai perjuangan ini. Libatkan media besar dan berikan mereka penghargaan. Strategi ini akan menggerus animal spirit untuk berperilaku ego sentris mementingkan diri sendiri diatas orang banyak.

5. Pembatasan jumlah pembelian dan disinsentif

Melihat potensi buruk yang dapat diakibatkan karena panic buying, selain treatment di atas, perlu juga dilakukan treatment yang berupa pembatasan pilihan. Barang-barang vital seperti sembako, BBM, obat-obatan (termasuk masker) diberikan batasan jumlah pembelian. 

Jadikan ini default sehingga tidak ada pilihan lain. Bagi barang-barang yang tidak vital namun tetap penting, dapat dilakukan aturan disensentif misalnya ketika membeli lebih banyak, harga satuan menjadi lebih mahal.

Pembatasan juga bisa dilakukan dengan memperpendek waktu layanan dan menambah persyaratan dengan meminta pembeli untuk menunjukan identitas ketika membeli barang-barang vital. 

Sebagai contoh, retailer-retailer yang banyak tersebar sampai kepelosok hanya menerima pembeli yang berasal dari kelurahan tersebut. Hal ini dapat meratakan ketersediaan barang dibeberapa daerah.

Pengumuman di salah satu Supermrket di Denmark bahwa membeli lebih banyak akan dikenakan harga per unit llebih mahal

6. Pinalti untuk penimbun dan pencari keuntungan sesaat

Pemerintah Inggris melalui CMA (Competition and Market Authority) memberlakukan aturan ketat terhadap pelaku bisnis yang menaikan harga makanan diluar kewajaran. Meraka membuka hotline khusus untuk pelaporan dari masyarakat atas hal ini. 

Treatment ini memiliki double dividen. Pertama, menunjukan keseriusan penanganan stok bahan makanan, yang kedua memberikan disinsentif pada pelau bisnis untuk tidak bermain di air keruh.

UK gov announced this message below:

...."If your local shops (or any retailers for that matter) are hiking their prices, please report them.

 Food Price Increase by shops to exploit the current situation is illegal as there is no shortage of foods. You can report the stores by calling 02037386000

Referensi: [1] [2] [3]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun