Terhitung sejak ditemukan yaitu tanggal 18 Dec 2019 (1), #Covid-19 telah membunuh 11,842 dari 284,724 orang yang terinfeksi (2). Diperkirakan angka tersebut akan terus bertambah mengingat beberapa negara belum mengalami puncak dari pandemi, termasuk Indonesia.
#Viruscorona atau Covid-19 memang sangat mengerikan, penularannya bisa sangat cepat dan mematikan. Tetapi, perilaku yang irasional dimasa chaos seperti saat ini dapat membawa situasi menjadi lebih buruk.Â
Panic buying dimasa chaos dapat menembah beban mental psikologis pada seluruh masyarakat, menambah beban pada sistem ekonomi, merugikan golongan yang kurang beruntung, dan dapat berdampak pada krisis yang lebih besar yaitu krisis kepercayaan dan politik.
Sementara banyak artikel membahas bagaimana penanganan pandemi Covid-19, artikel ini akan memfokuskan pada bahaya laten yang juga perlu menjadi perhatian kita semua.
Perilaku #panicbuying ini terjadi merata diseluruh dunia, karena sifat dasar manusia itu bersifat universal, tidak mengenal wilayah, negara maju atau tidak, ataupun kepercayaan.Â
Yang berbeda adalah intensitas dan keunikan perilaku reaktif yang terjadi. Sebagai contoh barang yang diburu di Indonesia tidak mungkin tisu toilet seperti di negara yang memiliki empat musim karena perbedaan budaya.
Perilaku panic buying adalah respon reaktif manusia terhadap ancaman pandemi Covid-19. Manusia memiliki insting untuk bertahan hidup (survival instinct) yang terprogram didalam keyakinan mereka.Â
Survival insting ini adalah atribut penting yang dimiliki manusia untuk mempertahankan eksistensi melalui adaptasi dan evolusi. Sehingga bisa dikatakan bahwa tidak mungkin kita dapat menghilangkan sifat dasar manusia ini.
Pada masa penuh dengan ketidakpastian ini, orang biasanya berada pada hot state - suatu keadaan dimana kontrol terhadap keputusan didominasi oleh emosi dan ketidaktenangan.Â
Pada kondisi seperti ini, orang cenderung menilai lebih suatu risiko (loss aversion bias), sensitif terhadap informasi (anxiety), dan cenderung mengikuti kerumunan untuk menghindari risiko (following the crowd).Â
Hal ini dilakukan karena kita tidak memiliki informasi sepenuhnya atas apa yang akan terjadi dimasa depan, sehingga mengikuti kerumunan akan memberikan kenyamanan psikologis tersendiri.