Jember, 26 Juli 2024
Warga Desa Sumbersari, Kecamatan Maesan, Kabupaten Bondowoso akan dilibatkan dalam serangkaian kegiatan sosialisasi pernikahan dini dan penguatan kesadaran pendidikan oleh Sekelompok Mahasiswa Unej. Kegiatan ini dilakukan lantaran masih banyak ditemui fenomena pernikahan dini yang dilakukan oleh sekelompok remaja baik yang sedang melanjutkan sekolah pada jenjang menengah atas atau kejuruan, pondok pesantren, hingga remaja yang putus sekolah.
Permasalahan utama lainya yaitu masih kurangnya masyarakat yang menempuh pendidikan tingkat tinggi. Mayoritas sekelompok remaja menempuh pendidikan non formal melalui pondok setelah lulus SD selama lima tahun. Kemudian akan dinikahkan ketika selesai melangsungkan pendidikan. Sementara itu, masyarakat memilih melangsungkan pertunangan untuk mengikat hubungan calon pengantin hingga minimum usia yang sudah ditentukan untuk menghindari biaya sidang pernikahan.
Pada kurun waktu lima tahun terakhir, warga dan pemerintah setempat, serta sekolah melakukan responsi yang cukup baik dengan beragam upaya hingga berkolaborasi melalui berbagai elemen mulai dari pemerintah pusat, kelompok kemasyarakatan, dan akademisi. Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan sedikit meningkat, hal ini ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan jumlah masyarakat yang mampu menempuh pendidikan tinggi.
Secara umum, pernikahan dini masih dianggap sebagai sebuah solusi dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi. Permasalahan sosial yang mendorong adanya pernikahan dini ialah masih melekatnya pandangan bahwa perempuan yang tidak segera menikah bisa menjadi aib bagi keluarga karena dianggap tidak laku. Sedangkan sebuah keluarga yang berada dalam kondisi ekonomi sulit seringkali melihat pernikahan dini sebagai solusi untuk mengurangi beban finansial. Terlebih dengan menikahkan anak perempuan mereka, keluarga berharap bisa mengurangi jumlah tanggungan dan memperoleh mas kawin atau dukungan finansial dari keluarga suami. Namun, pemikiran tersebut perlu dikaji secara mendalam. Pernikahan dini bukan sebuah solusi yang efektif. Justru sebaliknya, pernikahan dini memberikan berbagai dampak negatif bagi anak-anak, terutama perempuan.
Faktor lain yang mempengaruhi adanya pernikahan dini ialah faktor budaya dan tradisi. Salah satu tradisi yang masih melekat di Maesan, Sumbersari ialah tradisi “Abhekalan”. Tradisi Abhekalan telah melekat dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Madura. Abhekalan sendiri memiliki arti pertunangan, yang dimana hal tersebut merupakan bagian dari proses sosialisasi dan pemeliharaan hubungan antar keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Bapak Muis, Kepala Dusun Karangkotong, menjelaskan tradisi Abhekalan kebanyakan dilakukan oleh anak-anak dengan rentang usia 14-16 Tahun. Biasanya mereka berkenalan melalui media sosial atau bertemu pada saat acara di pondok pesantren. Sehingga ketika liburan semester tiba, anak-anak tersebut akan meminta izin kepada orang tuanya untuk melaksanakan pertunangan atau tradisi Abhekalan.
“Biasanya mereka ketemu calonnya itu di acara-acara yang diadakan ponduk, tidak dijodohkan sama sekali. Jadi yang mau abhekal itu ya nak-kanaknya dhibik. Kami sebagai orang tua justru sudah melarang, tapi anaknya tetap memaksa. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan akhirnya kami terpaksa memberikan izin”, Jelasnya.
Tradisi Abhekalan menuai kontra ketika dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. Dalam UU No 16 tahun 2019 mengatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Sedangkan pernikahan usia dini di Maesan, Sumbersari sudah mengalami penurunan sejak 5 tahun terakhir. Namun, trend Abhekal masih merambah di masyarakat, dimana proses pertunangan yang dilakukan oleh anak-anak yang berusia 14-16 tahun itu sendiri nantinya dikhawatirkan menjadi faktor penyebab berlangsungnya pernikahan dini. Dalam hal ini, masih perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat mengenai dampak dan larangan dari pernikahan usia dini.
Pada Desa Sumbersari itu sendiri terdapat permasalahan lain seperti kesadaran pendidikan yang masih tergolong rendah. Pada konteks ekonomi, terutama pada masyarakat Dusun Karang Kotong menilai jika pendidikan membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga masyarakat lebih memilih pesantren sebagai solusi pendidikan dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Di sisi lain faktor sosial juga mendukung permasalahan ini, hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi yang dapat diakses oleh masyarakat mengenai pendidikan dan lingkungan yang kurang mendukung.