Mendengar kabar indah ini, Maryam yang dijamah Roh Kudus, bersukacita memuji Allah. Setelah itu, dia pulang ke kaumnya.Â
Walau tak disebut dalam Injil, para ahli sejarah menduga kampung halamannya adalah Ain Karim, sebuah desa tujuh kilometer sebelah Timur Yerusalem yang diapit keindahan pegunungan Yudea.Â
Saat itu Maryam diperkirakan berusia 13 sampai 14 tahun. Jangan heran, dalam kebiasaan Timur Tengah di masa itu, seorang gadis sudah dianggap pantas menikah segera setelah haid pertamanya.
Ketika tiba saatnya Maryam bersalin, terbit perintah Gubernur Yudeo-Roman untuk melakukan sensus. Yusuf yang masih keturunan Raja Daud terpaksa pulang ke Betlehem - tempat raja ini berasal.Â
Betlehem termasuk desa penting di jalur yang menghubungkan Yerusalem dan Hebron. Jadi di sana banyak penginapan. Sayang sekali saat itu ada sensus, sehingga penginapan pasti penuh dengan pengunjung.
Alhasil, anak Maryam terpaksa dilahirkan di kandang dengan tempat makan ternak (Bahasa Yunani = phatne) sebagai pembaringannya.Â
Kandang di zaman itu umumnya adalah gua dan merujuk tradisi Kristiani yang ditulis martir Justin dari abad ke 2, gua tempat Yesus dilahirkan telah dibangun menjadi gereja oleh Raja Konstantin pada abad ke 4.
Tempat itu direnovasi Raja Justinus dengan mendirikan sebuah kubah pada abad ke 6, yang hingga kini masih menjadi pusat perhatian para peziarah.
Hanya Injil menurut Lukas yang mengisahkan kedatangan para gembala - kaum papa pada zaman itu - untuk menyembah Anak Allah yang dilahirkan Maryam.Â
Pada hari ke 8, anak itu disunat dan diberi nama Ibrani: Yehoshuah, atau dalam bahasa Latin Iesu, atau Yesus dalam bahasa yang kita pakai sekarang. Nama ini berarti, "Allah menyelamatkan."
Ada hal menarik ketika Yesus disunat, yakni pertemuanNya dengan Simeon dan Hana. Kitab Injil menulis, pertemuan dengan dua orangtua yang mencintai Allah ini punya arti simbolis yang barangkali kurang kita perhatikan.Â