Mohon tunggu...
Yusuf L. Henuk
Yusuf L. Henuk Mohon Tunggu... Ilmuwan - GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 - Sumatera Utara, INDONESIA

GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 -- Sumatera Utara, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ekspedisi Sangga Ndolu Tahun 1729 ke Batavia di Pimpin Foeh Mbura

16 Juli 2015   15:56 Diperbarui: 26 September 2015   06:26 2494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Yusuf L. Henuk dan Leonard Haning*)

 

1. Pengertian Ekspedisi

Tulisan dalam bab ini merupakan bagian terakhir dari buku kami: “Rote Mengajar Punya Cerita” yang telah kami terbitkan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kabupaten Rote Ndao ke-13 pada tanggal 2 Juli 2015. Kata ekspedisi berasal/diturunkan dari kata Latin : “expeditious” menjadi kata Inggris: “expedite” ==> “expedition”: “yourney made for a purpose”, artinya ‘suatu perjalanan yang dibuat untuk mencapai suatu tujuan’. Pada kenyataannya, “Ekspedisi Sangga Ndolu” atau “Ekspedisi Mencari Kepintaran” telah dilaksanakan oleh Foeh Mbura dan rombongannya pada tahun 1729 dari Rote lalu terdampar di Pulau Pasir kemudian melanjutkan perjalanan menuju Batavia tiba pada tahun 1729 dengan tujuan untuk mencari atau mengusahakan kedamaian, kesejahteraan, dan pengetahuan bagi rakyat di Nusak Thi'e khususnya dan Rote Ndao pada umumnya. Setelah mereka selesai mengikuti pendidikan selama dua tahun di Batavia lalu mereka kembali ke Rote pada tahun 1732.

Sebaliknya, “Ekspedisi Sangga Mamanak” atau “Ekspedisi Mencari Tempat” telah dilaksanakan oleh Prof. Yusuf L. Henuk yang menjuluki dirinya: “Foeh Mbura Junior” bersama tim kecil dari tanggal 1 – 4 Juli 2015 keliling Rote Ndao dengan tujuan semata-mata untuk mencari tempat-tempat bersejarah di Rote Ndao yang hampir dilupakan oleh semua masyarakat Rote Ndao (http://www.kompasiana.com/prof_yusufhenuk/ekspedisi-sangga-mamanak-di-rote-ndao-empat-hari-menghebohkan-dunia_559a24120523bdb906a31131).

1.1. Foeh Mbura dan Ekspedisi Sangga Ndolu

Dalam sejarah Rote Ndao ada seorang pelaku sejarah yang namanya tercatat dan dikenal luas dalam masyarakat Rote Ndao. Beliau adalah Foeh Mbura alias Benyamin Mesah, salah seorang raja dari ke-19 kerajaan lokal/nusak di Rote Ndao bernama: Nusak Thi’e. Ayah Foeh Mbura, Mbura Mesah, adalah raja Rote pertama yang menjadi Kristen di tahun 1729, namun dia meninggal segera setelah pembaptisannya karena ada wabah cacar di Rote. Foeh Mbura kemudian menggantikan ayahnya. Raja Thi’e ini yang baru telah mencanangkan satu ide yang merupakan visinya dan terformulasi dalam suatu ungkapan yang bermakna (bahasa Rote), yaitu: ‘sangga ndolu sio ma tungga lela falu’. Sejarah mencatat, Foeh Mbura dan rombongannya pernah melakukan ekspedisi jarak jauh antara Rote lalu terdampar di Pulau Pasir dan akhirnya tiba Batavia (‘Olanda Matabi’) pada tahun 1729 untuk tujuan ‘sangga ndolu sio ma tungga lela falu’.

Adapun pengertian dari masing-masing kata dapat diuraikan demikian:

1. Sangga : Mencari

2. Ndolu `: (a) usaha untuk menciptakan damai; (b) damai; (c) orang yang diserahi tugas untuk membentuk atau membangun rumah (arsitek); dan (d) orang yang bijak

3. Sio : Sembilan

4. Ma : Dan

5. Lela: (a) wadah untuk menampung hasil pangan; (b) celah; dan (c) pintar atau kenal, tahu. Salah satu arti dari kata ‘lela’ ialah pintar. Kata lela diberi awalan ma dan akhiran k menjadi ‘malelak’ yang berarti kepintaran atau orang pintar. Sedangkan, kata ‘lela’ menjadi lela kapa adalah sebuah frase bertingkat. Makna denotasi dari lela kapa ialah celah kedua paha kerbau bagian belakang dimana melalui celah paha kerbau betina itulah anak kerbau menerima/mengisap air susu induknya. Kerbau dianggap salah satu lambang kemakmuran atau hewan serba guna bagi orang Rote. Buktinya diujung pangkal karpus rumah orang Rote dibuat dekorasi dari balok lontar atau kayu (bersilang) yang disebut “mataboa buluk”, walaupun bervariasi, namun pada prinsipnya bermakna tanduk kerbau.

6. Falu: Delapan. Angka 9 dan 8 adalah angka-angka puncak. Ndolu sio bermakna suatu sikap moral yang tinggi serta lela falu bermakna sifat murah hati yang besar. Orang yang memiliki sifat pendamai dan penyayang serta selalu menaruh belas kasihan dalam ungkapan orang Rote disebut ‘mana mahinda ndolu sio ma mana mambeda lela falu’. Arti mahinda atau mambeda adalah menaruh, menyimpan atau memelihara. Seseorang dapat dikategorikan sebagai orang yang ‘mana mahinda ndolu sio ma mana mambeda lela falu’, bila oknum tersebut mempunyai sikap moral yang tinggi atau mempunyai sifat pendamai, penyayang dan cerdas serta bermurah hati atau orang yang berpastisipasi tinggi dalam menciptakan kedamaian, kemakmuran, dan pengetahuan.

Misi yang diemban oleh Foeh Mbura bertujuan untuk mencari atau mengusahakan kedamaian, kesejahteraan, dan pengetahuan bagi rakyatnya, maka perahu yang dipergunakan diberi nama ‘Sangga Ndolu’, bermakna mencari sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan ‘mental spiritual’ dan tungga lela bermakna pergi mencari/mengambil sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan ‘fisik material’. Foeh Mbura sangat prihatin akan situasi keamanan, kesejahteraan, pengetahuan rakyatnya pada masa pemerintahannya masih tergolong miskin, bodoh dan selalu terjadi peperangan antara nusak yang satu dengan nusak lainnya (Paul A. Haning, 2013: 1 – 4).

Dua kata pertama, yaitu ‘Sangga Ndolu’ diabadikan untuk nama perahu yang dipergunakan dalam ekspedisi mereka menuju Batavia ketika ayahnya Mbura Mesah (1690 – 1729) meninggal pada tahun 1729 lalu ia dinobatkan menggantikan ayahnya dan Foeh Mbura merupakan Raja Thi’e ke-5 (1729 – 1746). Tujuan yang ingin dicapai oleh Foeh Mbura dan rombongannya dalam mempertaruhkan jiwa raga mereka mengarungi samudera untuk pergi ‘sangga ndolu sio ma tungga lela falu’ menandakan kecintaan besar mereka terhadap rakyat, rakyat Thie bahkan rakyat Rote Ndao. Sudah tidak dibantah lagi bahwa Foeh Mbura hebat, idealis, pelaut handal dan nasionalis. Dia patut dikenal dan dikenang sebagai salah satu pelaku sejarah lainnya di persada Tanah Air Indonesia. Oleh karena itu, tepat sekali Foeh Mbura dijuluki Raja, Pendidik, Perintis Agama Kristen pertama di Rote dan Pelaut andalan pertama asal Rote se-level Magelhaens dari Spanyol dari tahun 1519 – 1521.

Penulis pertama bahkan melakukan “Ekspedisi Sangga Mamanak” ke Batutua di Rote Barat Daya pada tanggal 3 Juli 2015 dan berhasil mewawancarai berbagai sumber dari berbagai tetua di sana dari suku Henula’e (Galeri Foto 1) dan diperoleh informasi tentang kisah “Ekspedisi Sangga Ndolu” ke Batavia yang bermula dari terjadinya pembantaian penduduk Kerajaan Ndana oleh salah seorang pemberani/panglima perang/meo, bernama Nale Tande yang berasal dari suku Kona di Nusak Thi’e pada tahun 1729. Beberapa penduduk Ndana yang tersisa rela bergabung dengan Kerajaan Thi’e dan dibawa ke Pulau Rote (Kerajaan Thi’e/Daehenda). Dari merekalah kemudian diperoleh informasi oleh Foeh Mbura bahwa di Pulau Ndana terdapat sebuah gua rahasia yang didalam tersimpan harta karun berupa emas, muti dan barang berharga lainnya. Namun untuk membuka gua tersebut harus melalui upacara ritual tertentu dimana harus pula dikorbankan salah satu kuping dari seorang pria perjaka. Dari kepercayaan mereka (masyarakat Ndana), gua tersebut bisa terbuka mana kala kuping tersebut setelah dipotong dan diletakkan di depan gua dengan menyanyikan syair-syair (helo) oleh penyair-penyair yang mengetahui cara menuturkannya.

Foeh Mbura yang berkeinginan memperoleh semua harta karun tersebut, lalu mengajak kolega-koleganya, yakni Raja Lole (Ndi’i Hu’a), Raja Ba’a (Tou Dengga Lilo), Raja Lelain (Ndara Nao) untuk mengunjungi Pulau Ndana dengan maksud mengambil semua harta karun itu. Ketiga raja ini memiliki hubungan keluarga dengan Raja Foeh Mbura. Foeh Mbura mempunyai seorang saudara perempuan bernama Ndoi Mbura kawin dengan Raja Lole (Ndi’i Hu’a). Selain itu, beliau mempunyai tiga anak gadis yang cantik pula, yaitu Doana Foeh, Huana Foeh, dan Sutaana Foeh. Banyak raja muda (bangsawan) dari kerajaan lain jatuh cinta kepada ketiga gadis cantik berdarah biru itu lalu berdatangan pinangan. Mula-mula dari Tou Dengga Lilo (Raja Muda Ba’a) meminang Doana Foeh. Kemudian dari Ndara Naong (Raja Muda Lelain) meminang Huana Foeh, sehingga akhirnya kedua raja muda tersebut menjadi menantu Foeh Mbura. Kemudian Sutaana Foeh kawin dengan So’u Lai, seorang panglima perang Nusak Lole.

Kemudian atas kesepakatan bersama, ke-empat raja lalu mengunjungi Pulau Ndana dengan menyiapkan kurban berupa sepotong telinga dari pada pengawal Raja Ndi’i Hu’a (nama pengawal ini tidak disebutkan dalam tuturan). Setelah mereka tiba di Ndana, upacara pun dilakukan di depan gua, ditengah berlangsungnya upacara ritual itu, pengawal Ndi’i Hu’a ketakutan lalu melarikan diri. Kemudian muncullah asap yang menyelimuti mereka dan ketika asap itu berlalu mereka membuka mata dan mereka terkejut, karena mereka telah tersesat dan berada dibibir pantai Pulau Ndana. Lalu mereka semua pun ketakutan mati mendadak, karena Pulau Ndana telah lama dikenal sebagai tempat paling keramat. Sekembali dari Pulau Ndana, terdengar kabar oleh mereka bahwa di Tanah Jawa (Olanda Matabi/Batavia), terdapat sebuah kepercayaan yang bisa menyelamatkan mereka dari kematian mendadak, sehingga mereka berkeinginan memperoleh kepercayaan itu dengan mengunjungi daerah tersebut. Namun untuk sampai ke sana harus melalui pelayaran laut, maka mereka pun bersepakat membuat sebuah perahu yang terbuat dari kayu kula’a/fula’a, karena mereka meyakini jenis kayu ini tergolong kuat untuk membuat perahu sehingga mereka pun membagi tugas bersama untuk mendapatkan jenis kayu ini. Khusus Raja Ba’a, diwajibkan mengumpulkan kayu kula’a untuk pembuatan gading perahu. Tempat pengumpulan gading perahu ini hingga sekarang diberi nama, Peda Nggadi di Desa Nauhadeon, Kecamatan Lobalain.

Penulis pertama pun berupaya menanyakan kekuatan kayu kula’a pada seorang pembuat perahu di Danoheo dalam perjalanannya menuju Gereja Fiulain pada tanggal 3 Juli 2015. Pembuat perahu itu bernama Fa’u Pah di Dusun Danoheo, Desa Oebou, Kecamantan Rote Barat Daya.

 

Setelah semua material terkumpul, lalu dibuatlah sebuah perahu. Namun atas kemauan Raja Foeh Mbura bahwa perahu ini harus diberi nama, maka dibuatlah sayembara bagi siapa yang memenangkan sayembara ini akan diikutkan dalam rombongan ke Batavia. Dalam sayembara ternyata tidak seorang pun yang dapat menamai nama perahu ini. Tetapi ketika seseorang yang hendak pulang dari tempat sayembara, bertemulah dia dengan seorang anak kecil yang sedang menggembala kambing bernama “Rondo Soru” dari suku Bibimane, dan si anak bertanya kepadanya sedang dari mana. Lalu orang itu bercerita kalau dia baru pulang dari tempat sayembara penamaan nama perahu dan menurutnya tidak seorangpun yang bisa menamainya. Lalu anak kecil berkata jika dia diundang raja untuk menamai nama perahu itu, maka ia akan menamainya: “Sangga Ndolu”. Kemudian orang itu menanyakan lagi artinya, si anak kecil menjawab “Sangga Ndolu”, artinya “Sangga Ndolu Sio ma Tungga Lela Falu” yang bermakna: “sangga susuek ma lalaik”, artinya “mencari kasih dan keselamatan dari atas”.

Sesudah perahu diberi nama, suatu hari datanglah seorang wanita tua ke rumah raja bernama Bei Pi Tulle dari suku Tolaumbuk. Ia menyampaikan kepada raja bahwa kamu sudah memberi nama perahu itu, tetapi jangan sampai kamu tidak sampai ke tempat tujuan. Lalu raja bertanya, kenapa tidak sampai. Kemudian perempuan ini menjawab bahwa tidak ada yang menunjukkan jalan ke sana. Lalu raja berkata kalau memang demikian, maka kamulah yang menjadi penunjuk jalan. Kemudian Foeh Mbura memenggal kepala kepala perempuan ini dan ditanam didalam lumpur sebagai penunjuk arah perjalanan sekaligus sebagai penghalau gelombang, badai dan angin. Ketika Foeh Mbura bersama rombongan sudah diatas perahu dan hendak berangkat, Foeh Mbura meminta seekor ayam kepada pendeta (mane songgo) dari suku Le’e, tanpa memahami maksud Foeh Mbura bahwa kata ayam yang bukan benar-benar ayam, si maneleo suku ini pergi dan mengambil seekor ayam jantan dan diberikan kepada sang raja. Namun apa yang dimaksudkannya bukan ayam sebenarnya, melainkan manusia, maka ayam ini pun dibuang ke laut. Kemudian maneleo Le’e pergi ke rumahnya dan membawa satu-satunya anak perempuannya berambut panjang yang masih perawan bernama : “Pingga Ngga” dan matanya diikat dengan “lafa songge” (songket). Anak ini diantarkan ke Foeh Mbura yang sedang menunggu di perahu. Setelah anak gadis perawan diterima, lalu Foeh Mbura memenggal kepada anak perempuan ini dan ditancapkan di bagian kemudi perahu yang bertugas sebagai juru mudi.

1.2. Foeh Mbura dan Rombongan ke Batavia

Menurut ceritera turun-temurun di kalangan masyarakat Rote Ndao bahwa Tou Dengga Lilo (Raja Ba’a), Ndara Naong (Raja Lelain), dan Ndi’i Hu’a (Raja Lole) turut/bersama Foeh Mbura ke Batavia. Cerita rakyat di Rote Ndao ini memperkuat pernyataan penulis pertama di media massa bahwa: “Ruth Balint dalam bukunya: “Troubled Water: Borders, Boundaries and Possesion in the Timor Sea”, terbitan tahun 2005 telah mengisahkan sejarah pendaratan raja Rote ke Pulau Pasir pada tahun 1729. Awal mulanya, empat raja Rote dipimpin Foeh Mbura berlayar dari Rote dengan sebuah perahu besar ke arah Batavia (Jakarta), di Utara, namun perahu mereka terbawa angin ke Selatan sampai akhirnya mendarat di Pulau Pasir. Foeh Mbura kemudian mengambil sebuah tongkat dan mengukir namanya dan memancangkannya ke dalam pasir di pulau itu yang kemudian diidentifikasi dalam prasasti Belanda dengan menyebutnya sebagai Raja Thie yang terdampar di pulau itu pada 1729” (‘Pulau Pasir Milik Oran Rote’: Pos Kupang, Senin, 20 November 2006: 6).

Berbekal hanya air minum mentah dan ampas kelapa yang dicampur gula lontar (lepa), membuat sebagian pengikut ke-empat raja ini terserang muntaber dan diare, sehingga beberapa pengikut pun meninggal dunia dan dikuburkan di Pulau Pasir. Selain itu, mereka juga membawa buah kelapa sebagai bekal, karena lama dalam pelayaran, sebagian kelapa telah tumbuh dan ditanam juga di sana. Penulis pertama telah melaporkan bahwa kuburan orang Rote di Pulau Pasir hingga kini berjumlah 161 buah kubur dengan ada juga`pohon kelapa dan sumur milik orang Rote di Pulau Pasir. Setelah terdampar berhari-hari di Pulau Pasir, Foeh Mbura dan rombongan melanjutkan ekspedisi mereka dari Pulau Pasir menuju Batavia. Setelah tiba di Batavia, Foeh Mbura bersama rombongan menghadap Gubernur Jenderal Diderik Durven (1729 – 1732) lalu menyampaikan maksud kedatangan mereka. Dalam laporannya, Foeh Mbura mengatakan bahwa rakyat Rote hidup dalam kebodohan dan ketidaktenteraman, sehingga mereka datang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan agama guna kelak diterapkan pada rakyat mereka di Rote. Ia memohon juga agar kompeni memberikan keleluasaan kepada rakyat Rote untuk mengatur negeri mereka tanpa diganggu ketenteraman hidup mereka. Tim ekspedisi Sangga Ndolu yang dipimpin Foeh Mbura diterima Gubernur Jenderal Diderik Durven dengan senang hati dan berjanji akan memenuhi keinginan mereka. Selama mereka berada di Batavia, sebagian anggota rombongan yang lolos seleksi dididik selama dua tahun. Sebaliknya, sebagian rombongan yang tidak memenuhi syarat untuk mengikuti pendidikan selama dua tahun oleh kompeni di Batavia diperkenankan pulang lebih dahulu ke Rote.

Menurut cerita (legenda) mereka yang lebih dahulu kembali ke Rote, menangis meraung-raung di tepi pantai Batavia (Tanjung Periuk). Namun datang hewan-hewan laut, seperti buaya, ikan hiu dan ikan lada menanyai mereka dan mereka menceriterakan keluh kesah bahwa mereka dipulangkan ke Rote, karena tidak lolos seleksi mengikuti pendidikan oleh kompeni. Kemudian ketiga binatang laut ini bersedia menolong mereka dengan syarat mereka jangan membunuh ketiganya untuk dimakan. Mereka pun setuju dengan syarat yang diberikan, sehingga mereka dibawah pulang ke Rote Ndao menumpang binatang laut: (1) klen/rumpun Musuhu yang bernama Mina Mbaru menumpang buaya, (2) wakil klen/rumpun Kanaketu bernama Semu Lolo dan wakil klen/rumpun Su’a yang bernama Foi Soru, keduanya menumpang ikan hiu; dan wakil klen/rumpun Kolek yang bernama Landa Laifoi menumpang ikan lada. Mulai saat itu hingga kini keturunan mereka pantang atau pemali memakan ketiga jenis binatang laut tersebut. Sementara nenek moyang dari klen/rumpun Langgalodo yang bernama, Henu Helo, enggan pulang ke Rote Ndao dengan alasan bahwa tinggal di Tanah Jawa juga sama dengan tinggal di Rote Ndao, sehingga ia bersikukuh untuk tidak mau pulang ke Rote Ndao dan menetap di Batavia (Depok).

Mata pelajaran yang diberikan bagi mereka yang lolos seleksi untuk mengikuti pendidikan di Batavia meliputi membaca huruf Latin dalam bahasa Melayu, agama Kristen, pengetahuan eksakta (natural sains dan aritmatika), dan berbagai keterampilan khusus seperti pertukangan, pertanian, perikanan, cara menyublim sopi, membuat senjata api, cara membuat terasi, dan lain-lain. Foeh Mbura mendapat pendidikan yang lebih luas dan intensif termasuk diberi pelajaran tentang ilmu pemerintahan. Setelah selesai pendidikan selama dua tahun, lima orang di antara mereka minta dibaptis pada tahun 1732, yaitu pada awal Pemerintahan Gubernur Jenderal Diria van Cloon (1732 – 1735). Kelima orang yang dibaptis adalah: (1) Foeh Mbura dengan nama Benyamin Mesah, (2) Mbate Moi (wakil klen/rumpun Moianan) dengan nama Johanis Moi, (3) Tulle Fatu (wakil klen/rumpun Tolaumbuk) dengan nama Daniel Fatu, (4) Nafi Lon (wakil klen/rumpun Kona) dengan nama Natanel Lon, dan (5) Resi Boru (wakil klen/rumpun Bibimane) dengan nama Matias Boru. Sedangkan, anggota rombongan yang lain belum bersedia dibaptis. Foeh Mbura pun mendapat sebuah tongkat berkepala emas yang bertuliskan: “Benyamin Mesah Raja van Thie 1732”.

1.3. Foeh Mbura dan Rombongan Kembali dari Batavia

Foeh Mbura bersama rombongan kembali dari Batavia ke Rote Ndao pada tahun 1732. Dalam perjalanan pulang, tepatnya di belakang Pulau Landu, meriam berukuran kecil milik Foeh Mbura yang tidak terisi mesiu tiba-tiba meletus membuat Foeh Mbura teringat akan putra satu-satunya bernama Henu Foeh yang saat berangkat ke Batavia dalam keadaan sakit, sehingga ketika bertemu dengan pemakan meting yang sementara mencari ikan, Foeh Mbura menanyakan apa yang sedang terjadi di Daehenda, lalu dari pengakuan pemakan meting bahwa Henu Foeh telah meninggal dunia. Informasi meninggalnya Henu Foeh membuat sungkannya Foeh Mbura untuk melabuhkan perahu Sangga Ndolu ke Daehenda. Ia yang sedang berduka dan kepada Ndi’i Hu’a ia meminta sebuah tempat untuk menenangkan perasaannya, dan permintaannya dikabulkan oleh Ndi’i Hu’a dengan menunjuk pulau kosong yang saat ini bernama Nusa Lai untuk melabuhkan Perahu Sangga Ndolu. Tempat berlabuhnya Perahu Sangga Ndolu berlabuh hingga saat ini masih dikenal oleh baik masyarakat Lole maupun Thie dengan nama : “Namo Thi’e”. Pelabuhan ini terletak di bagian utara Nusa Lai, sementara di bagian Selatan Nusa Lai dikenal dengan nama : “Namo Lole”. Pada umumnya, masyarakat Thie yang sibuk berladang dan menyadap lontar, ketika mereka melihat Perahu Sangga Ndolu yang berlabuh di Nusa Lai membuat mereka bertanya-tanya, dan mereka pun akhirnya mengetahui bahwa Perahu Sangga Ndolu dilabuhkan ke Nusa Lai, karena Foeh Mbura sedang berduka atas meninggalnya Henu Foeh, sehingga semua maneleo dan tua-tua adat menaiki perahu ini untuk mendatangi Foeh Mbura guna menghiburnya dari kedukaan. Setelah semua bertemu Foeh Mbura, mereka berkata kepada Sang Raja demikian: “Henu Foeh sambu do lalo ena, te hu bei ela Sio Foeh ma Falu Foeh” (Henu Foeh telah hilang, tetapi masih sisa Sembilan Foeh dan Delapan Foeh), maksudnya meskipun Henu Foeh telah meninggal dunia, tetapi janda balu yatim piatu masih merindukan kehadiran Foeh Mbura. Kata-kata penghiburan dari para maneleo dan tua-tua adat membuat Foeh Mbura berubah pikiran dan ingin melabuhkan Perahu Sangga Ndolu di Daehenda (Namo Keka), terletak di Fiulain, Dusun Danoheo, Desa Oebou, Kecamatan Rote Barat Daya.

Melihat Perahu Sangga Ndolu sedang merapat ke Daehenda, beberapa orang yang memanggil masyarakat Thi’e untuk datang menjemput Foeh Mbura dengan meniup fiifiik (sejenis tumbuhan laut), namun karena alat ini tidak mengeluarkan bunyi yang keras dan ditiup diatas puncak, maka kemudian tempat ini dimanai: “Fiulain”. Mereka pun akhirnya mengganti fiifiik dengan meniup kulit kerang yang dinamai: “to’ik” yang bunyinya lebih keras untuk memanggil masyarakat Thi’e yang sedang berladang dan menyadap lontar untuk datang menyambut kedatangan Foeh Mbura dari Batavia. To’ik hingga kini masih tetap dipakai sebagai sarana memanggil jemaat selain lonceng gereja untuk datang beribadat di Rote Ndao. Dalam suasana ratap tangis yang memilukan Foeh Mbura disongsong dan diusung oleh rakyat menuju istana. Seluruh keluarga istana maupun masyarakat menyambut beliau dan rombongan bukan dengan tempik sorak kegembiraan, tetapi ia disambut dengan cucuran air mata kesedihan. Masa berkabung diakhiri dengan dua pesta berturut-turut, yaitu mula-mula pesta kematian lalu disusul pesta atau ucapan syukur ‘safe tasi oe’ (cuci air laut, adalah suatu upacara doa bila seseorang telah kembali dari seberang) yang dihadiri oleh rakyat Thie serta raja-raja dan tokoh-tokoh masyarakat, terutama dari Lole, Ba’a, dan Lelain. Pada kesempatan itu, Foeh Mbura mengumumkan keberhasilan yang telah diperoleh dari Ekspedisi Sangga Ndolu ke Batavia dan rencana yang akan dilaksanakan demi kesejahteraan dan ketenteraman rakyat. Sedangkan, Syair Kisah Perjalanan Keempat Raja Rote Menuju Batavia:

Syair Rote:

Ara sa’e rala tondan Ma hene rala balun Fo balun manade Sangga Ndolu De ara leko la neu langgan Ma pale uli neu iko Ara tuku la kukuru Ara pale uli titidi De ara lena ri losa Jabadiu daen Ma ara sida epo losa Matabi oen Fo reu tungga lela falu Ma reu sangga ndolu sio De tati reni bau koli Da senggi reni tui sina Da ara fuan neu balun lain Ma ara ndaen neu tondan ata De reni-sara losa Rote daen Ma reni-sara nduku Kale oen De ara sele bau neu dano Boe ma bau don nasengga dano Ma ara tande tui neu le Boe ma tui samun nandoro le De mboko danor ramahena Ma mboe ler rakabani

Terjemahan: Mereka menaiki perahu mereka Mereka memanjat biduk mereka Yaitu perahu yang bernama Sangga Ndolu Lalu mereka memasang layar pada hulunya Dan memutar kemudi pada buritannya Mereka memasang layar dengan kencang Dan memutar kemudi dengan keras Lalu mereka membela ombak sampai di Tanah Jawa Dan menantang gelombang sampai Betawi Mereka pergi menjemput delapan kepintaran Mereka pergi mengambil sembilan hikmat Lalu mereka membawa dahan bakau koli Dan membawa ranting tui sina Lalu dimuat diatas perahu Dan diletakan di atas biduk Lalu dibawa sampai di Tanah Rote Dan dibawa tiba di air Kale Mereka menanam dahan bakau di danau Lalu daun bakau menjadi rimbun menaungi danau Dan menanam ranting tui di sungai Lalu akar tui menjorok sekeliling sungai Lalu menjadi harapan bagi udang danau Dan menjadi hidup bagi udang sungai

Makna dari syair: Orang Rote pergi ke Batavia untuk mencari sesuatu yang berguna bagi kehidupan masyarakat Rote Ndao, baik untuk kepentingan jasmaniah maupun rohaniah, lalu mereka kembali dengan membawa hasil yang memuaskan untuk dinikmati oleh rakyat Rote Ndao dengan penuh kebahagiaan (Paul A. Haning, 2013: 20 – 21).

Dalam upaya mewujudkan janji Foeh Mbura sebelum pergi ke Batavia bahwa bila kembali akan membuka sekolah dan gereja sesuai dengan visi dan misinya (sangga ndolu sio ma tungga lela falu), maka ia telah dibekali pengetahuan selama dua tahun mengikuti pendidikan di Batavia dan siap diterapkan kepada rakyatnya. Selain tongkat emas pemberian Gubernur Jenderal, ia diberi juga jubah dan topi kebesaran, perkakas pertukangan, dan alat-alat iptek lainnya serta sejumlah ikan air tawar. Beliau juga menerima fasilitas berhubungan dengan penyebaran ajaran agama Kristen, meliputi: lonceng gereja, sebuah Wasiat Lama, sebuah Wasiat Baru, sebuah Kitab Nyanyian Mazmur, sebuah buku nyanyian yang disebut Mazmur Batavia, buku-buku bacaan, alat-alat tulis-menulis. Barang-barang pemberitan itu semua sudah musnah, kecuali lonceng gereja masih dipakai di Gereja Tudameda dan Topi masih tersimpan diatas mimbar batu dalam Gereja Fiulain yang telah penulis pertama pakainya ketika mengunjungi tempat bersejarah ini pada tanggal 3 Juli 2015. Sedangkan, jenis ikan air tawar yang dibawa Foeh Mbura dari Batavia dilepas di Dano Tua, sehingga orang Thie menyebutnya “i’ak matabi’ (ikan Batavia).

Mula-mula disamping memerintah, Foeh Mbura memperkenalkan Injil (Kabar Baik) dan bertindak sebagai guru untuk mengajar, sehingga beliau mengemban “tri-fungsi”: Raja, Pendeta/Penginjil, dan Guru/Pendidik. Beliau dibantu oleh Mbate Moi (Johanis Moi). Mereka dengan tekun dan tabah mengajar anak-anak dan bahkan orang-orang dewasa mata ajaran meliputi: ajaran agama Kristen, membaca/menulis bahasa Melayu, mengajar aritmatika, cara memelihara ikan air tawar, cara menyublim sopi, cara bertukang dan lain-lain, kemungkinan termasuk cara membuat senjata api. Berhubung belum ada gedung sekolah, maka istana raja dipakai sebagai tempat pendidikan. Sedangkan, semua peserta didik tidak hanya berasal dari Thie saja, tetapi dari nusak lain juga seperti: Ba’a, Lelain, Lole, Oenale, Korbafo, Termanu, Landu, Oepao, Bilba, Talae dan Ringgou. Siswa-siswa yang menuntut ilmu di Fiulain yang berasal dari kerajaan lain, tinggal di rumah-rumah penduduk sekitar istana dan bahkan ada yang tinggal di istana. Mereka mendapat biaya/bantuan makanan dan kebutuhan lain-lainnya dari orang tua mereka masing-masing. Pada tahap ini semua pelajaran yang diberikan masih bersifat kursus.

Demi meringankan tugas dan mempercepat modernisasi, maka pada tahun 1733, Foeh Mbura meminta bantuan tenaga guru agama dan dikirim dari Kupang seorang Kristen bernama Johanis Senghaje. Pada tahun 1734 dibangun sebuah gedung sekolah dengan ukuran sekitar 7 x 28 m tidak jauh dari istana raja. Dari gedung inilah berawal adanya klasifikasi (tingkat/kelas), yaitu telah dibukanya Kelas I sampai Kelas III, selain gedung ini juga berfungsi sebagai gedung gereja disertai kantor/konsistori. Kehadiran gedung ini menyebabkan semakin bertambah banyak siswa tidak hanya dari Thi’e saja, tetapi dari kerajaan-kerajaan lainnya di Rote Ndao. Foeh Mbura mempunyai sebuah bendera sebagai lambang kerajaan. Setiap hari bendera tersebut dikibarkan di depan istana. Tiang bendera ditancapkan di atas sebuah batu karang yang tinggi di tepi laut berhadapan dengan istana. Sampai sekarang batu itu dikenal dengan nama “Batu Dedeo” (Batu Bendera). Dalam rangka memperingati Yubelium GMIT pada tahun 1997, pada puncak Batu Bendera dipancang sebuah salib dari besi oleh Pemuda-Pemudi Gereja Klasis Rote Barat Daya.

1.4. Foeh Mbura Terbunuh di Termanu

Foeh Mbura terbunuh dalam suatu pertemuan/sidang para raja Rote dengan para pembesar Kompeni di Desa Kotaleleuk di Termanu pada tanggal 12 Oktober 1746. Menurut Matheos Messaks dalam tulisannya yang terbit di media online pada tanggal 5 September 2012, berjudul: “Terbunuhnya Foeh Mbura di Termanu” (https://lakamola.wordpress.com/2012/09/05/terbunuhnya-foe-mbura/), dikisahkan bahwa sekitar bulan Oktober 1746 telah terjadi sebuah peristiwa di Namodale, Termanu yang dalam dokumen-dokumen VOC lebih dikenal dengan “Peristiwa Meulenbeek”. Peristiwa ini dikenang kemudian dalam tuturan lisan orang Rote sebagai perisitiwa terbunuhnya Raja nusak Thie, Foeh Mbura yang adalah Raja Rote yang dibaptiskan dengan nama Benjamin Messakh pada tahun 1732 di Batavia.

Pemicu dari peristiwa ini adalah tur rutin opperhoofd VOC Jan Anthony Meulenbeek di berbagai nusak di pulau itu pada bulan itu. Menurut Hans Hagerdaal, peristiwa ini layak diselidiki secara lebih mendetail karena dua hal: pertama, karena peristiwa ini masih dipelihara secara baik dalam tradisi lisan Rote dan itu menunjukkan bahwa garis-garis konflik tradisional dan Eropa bisa menjadi kabur. Meulenbeek yang baru bertugas pada tahun 1744 menggantikan opperhoofd Christiaan Fredrik Brandenburg (bertugas Oktober 1740-1744) ini kurang diplomatis dan popular jika dinilai dari dokumen-dokumen VOC pada waktu itu. Menggunakan tipuan ia menangkap tiga pemimpin pemberontak dari nusak Landu yang dianggap keras kepala, sehingga mereka ditangkap dan dikirim ke Termanu yang menjadi sekutu andalan Belanda untuk dijadikan budak karena dituduh bersahabat dengan Portugis Hitam (Sina Nggeok). Ketiga kepala suku itu ditahan, tetapi berhasil melarikan diri, sehingga Meulenbeek marah-marah dan mencambuk Raja Termanu, Fola Sinlae sambil memaki-maki para raja dan mengancam akan membakar ibu kota Termanu. Namun, para raja Rote mengusulkan agar ketiga oknum ini diganti dengan 100 orang hamba, tetapi Meulenbeek menolak. Meulenbeek bersama 36 orang Belanda dan Mardijkers memerintahkan para petugas artileri untuk mengambil meriam dari kapal dan membawanya ke dalam pagar batu VOC di Termanu. Meulenbeek terus berupaya untuk menangkap tiga pemimpin pemberontak itu. Ia kemudian masuk ke rumah seorang perempuan bangsawan, janda dari mantan manek, Ndaomanu, yang konon memiliki hiasan dada emas. Dia menelanjangi perempuan itu dan mempertontonkannya di depan orang banyak. Janda yang sangat dihormati ini lalu bertanya kepada orang-orang banyak apakah mereka masih mentolerir perilaku biadab ini. Lokasi Foeh Mbura Terbunuh Berhubung tuntutan disertai ancaman kepada raja-raja Rote serta perbuatan biadab yang telah dilakukan oleh Meulenbeek sudah dianggap penghinaan/melanggar adat Rote, maka Foeh Mbura menembak Meulenbeek dan pada saat itu pula beliau mendapat tembakan balasan dari opas/ajudan Jan Anthony Meulenbeek sehingga Foeh Mbura tewas.

Selanjutnya, terjadi kerusuhan tembak-menembak, bunuh-membunuh, sehingga turut terbunuh 12 orang Belanda dan 19 Mardykers. Sementara mayat Foeh Mbura tekapar di tanah, seorang ajudan Foeh Mbura bernama Rondo Dengga segera mengambil Tongkat Emas Foeh Mbura lalu dilarikan ke Thie. Ndi’i Hu’a juga ikut melarikan diri, tetapi dibunuh di sebuah rawa yang kemudian dikenal dengan nama ‘Ndi’ik lifun’ (rawa milik Ndi’i). Tuan Const, seorang bookhouder dapat meloloskan diri, sehingga melaporkan peristiwa tersebut ke Kupang pada tanggal 24 Oktober 1746.

Jenazah Foeh Mbura digotong kembali oleh Tou Dengga Lilo (Raja Ba’a), Ndara Naong (Raja Lelain) dan beberapa peserta rapat lainnya, tetapi karena mayatnya telah membusuk dan hancur, maka tidak dibawa sampai ke Fiulain, melainkan dikuburkan di Lekik, Kecamatan Lobalain. Penguburan jenazah Foeh Mbura di Ba’a disetujui oleh rakyat Thi’e, karena Tou Dengga Lilo adalah menantu Foeh Mbura.

Menurut tuturan lisan, sebagian potongan tubuhnya (Rote: Baa, secara literer berarti paru-paru) dibawa oleh Raja Baa Tou Dengga Lilo dikuburkan di Lekik. Pohon Asam di mana bagian tubuh Foeh Mbura digantung sebelum dikubur. Raja Ba’a, Tou Dengga Lilo menggantungkan bagian tubuh itu di Pohon Asam ini, namun malamnya ia bermimpi didatangi Foeh Mbura yang berkata kepadanya: ‘jika engkau hanya menggantungkan aku di sini, sekali kelak jika pohon itu mati, anak cucuku tak bisa menemukanku.’ keesokkan harinya bagian tubuh itu dikuburkan di tempat dekat Pohon Asam di Lekik yang sekarang dipercaya sebagai pusara Foeh Mbura di Ba’a.

Berita kematian Foeh Mbura sangat mengagetkan rakyat Rote pada umumnya dan rakyat Thi’e khususnya. Para raja dan rakyat dari kerajaan-kerajaan lainnya turut berkabung, terlebih rakyat Thi’e menyatatakan berkabung selama beberapa bulan. Mereka kehilangan seorang pemimpin yang tidak ada tandingannya di antara para pemimpin di Rote Ndao. Menurut tokoh-tokoh masyarakat sulit ditemukan figur pemimpin hebat seperti Foeh Mbura. Sukar didapat pemimpin yang sanggup mengemban misi ‘sangga ndolu sio ma tungga lela falu’ sesuai semboyan Foeh Mbura. Namun benar kata Alkitab: “Untuk segala sesuatu ada waktunya”: …ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal,…” (Pengkhotbah: 3: 2a).

Foeh Mbura telah dipanggil pulang oleh Tuhan Yesus setelah 66 tahun hidup di dunia. 17 tahun mengabdi pada bangsa dan negara (1729 – 1746) dan 14 tahun ikut Tuhan Yesus dan kembali ke ‘Rumah Bapa’ di surga melalui suatu peristiwa yang tragis pada tanggal 12 Oktober 1746 di Termanu. Ketika berita tentang “Peristiwa Meulenbeek” di Rote sampai di Batavia, Gubernur Jenderal mengirim sebuah tim dari sana ke Rote untuk mengusut kasus pembunuhan Foeh Mbura di Termanu. Raja-raja peserta sidang pada waktu itu terutama Raja Termanu dianggap sebagai yang bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Namun dalam pengusutan tersebut tidak ditemukan seorang raja pun yang bersalah, melainkan opperhoofd VOC Jan Anthony Meulenbeek yang menjadi pelaku utama meninggalnya Foeh Mbura.

Sepeninggal Foeh Mbura, stabilitas politik dan keamanan di Fiulain agak terganggu. Penggantinya yaitu keponakannya bernama Tou Kay Pah agak lemah. Namun untunglah telah siap banyak kader politik jebolan sekolah di Fiulain maupun beberapa orang jebolan Batavia dan Ambon tidak patah semangat. Mereka melanjutkan cita-cita dan karya Foeh Mbura terutama di bidang pendidikan dan agama. Solo Besi seorang putri Raja Besi Alu Pah (keponakan Foeh Mbura) kawin dengan Raja Termanu (Mudak Amalo) pada tahun 1790. Perkawinan ini mempererat hubungan antara Termanu dan Thi’e. Namun Raja Mudak Amalo sangat berseberangan dengan Belanda, sehingga ia dipecat oleh Heijmering. Penggantinya dibaptis oleh Heijmering pada tahun 1839 dan mengijinkan pembangunan gereja yang pertama di Termanu. Walaupun Foeh Mbura telah tiada dan pertikaian antar kerajaan belum juga teratasi hingga akhir hidupnya. Namun usahanya telah memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Rote Ndao. Nama Foeh Mbura tidak atau belum diukir di batu nisan atau monumen negara, tetapi tetap terukir kuat dalam sanubari setiap rakyat di Rote hingga kini.

1.5. Sejarah Masuknya Agama Kristen di Timor dan Rote Ndao

Sejarah masuknya agama Kristen di Pulau Rote khususnya dan NTT pada umumnya telah banyak tulis berdasarkan berbagai sumber dengan versi masing-masing. Namun kami berupaya untuk menyajikan sejarahnya dengan tidak mengurangi sejarah asli sesuai dengan cerita atau tuturan asli dari pada sejarah ini sendiri. Selain itu, untuk merampungkan buku ini, penulis pertama dengan giat untuk terjun langsung ke lokasi guna menggali dan mendapatkan berbagai situs, tuturan lisan yang mendukung penyelesaian penulisan buku ini. Pada umumnya, berkembangnya agama Kristen Protestan khususnya Jemaat GMIT di NTT pada masa VOC diawali dari dua titik, yaitu: titik utara, mulai dari Benteng Fort Concordia (Kupang), dan titik Selatan, mulai dari Fiulain (Rote). Dari titik utara (Kupang), penyebaran ajaran agama sudah dimulai sejak tahun 1614 dan lebih banyak ditangani oleh para pendeta namun penyebaran ajaran agama pada masa VOC itu sangat lambat. Hal ini disebabkan karena penyebaran ajaran agama kepada masyarakat umum belum mendapat perhatian yang serius. Penyebaran agama masih terbatas pada para pegawai VOC saja. Apalagi agama baru ini dibawa oleh orang asing serta selalu meninggalnya para pendeta. Sebaliknya, di titik Selatan (Fiulain/Rote) sejak tahun 1732, barulah Foeh Mbura memperkenalkan Injil secara massal kepada masyarakat umum di Fiulain, Dusun Danoheo, Desa Oebou, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao.

Sejarah mencatat bahwa Fiulain, periode nusak, pada era pemerintahan raja Foe Mbura adalah pusat pemerintahan kerajaan Thie. Sebagai pusat kerajaan kala itu, Fiulain sangat terkenal baik oleh nusak yang lainnya di Rote hingga oleh Belanda dikarenakan tempat ini pada tahun 1732 merupakan tempat pertama dimana Agama Kristen Protestan dan Pendidikan diperkenalkan di Rote. “Bibit” persemaian yang ditanam disinilah yang kemudian berhasil menyebar ke seluruh nusak yang ada di Rote baik itu dalam hal penyebaran Agama Kristen Protestan maupun penyebaran pendidikan persekolahan. Kemudian menyebar ke seluruh wilayah di NTT.

Pada awalnya, Foeh Mbura hanya membutuhkan waktu yang singkat saja berhasil membaptis 964 orang dan telah ada majelis jemaat di Fiulain. Hal ini didasarkan pada surat dari majelis jemaat di Batavia kepada majelis jemaat di Roterdam tertanggal 26 Februari 1740 yang melaporkan bahwa Rote membutuhkan seorang pendeta karena di sana sudah ada empat mata jemaat dan 964 orang Kristen serta 182 orang calon baptis, terlebih lagi karena Raja Lole bersama 700 orang/rakyatnya minta segera dibaptis. Jemaat di Fiulain merupakan jemaat yang pertama di Rote Ndao. Sedangkan, pendeta pertama untuk Rote bernama Ds. Hermanus Sanders Zijlsma dan ditempatkan di Fiulain pada tahun 1742. Ia bersama Foeh Mbura melaksanakan baptisan massal dan mereka berdua jugalah yang membaptis Raja Ba’a, Raja Lelain dan Raja Lole bersama beberapa rakyat mereka.

Semakin meningkatnya jumlah anggota jemaat dalam gereja-gereja suku di Indonesia bagian Timur (Ambon, Minahasa dan Timor), maka sidang Am Gereja Protestan Indonesia (Indische Kerk) menginstruksikan kepada gereja-gereja suku tersebut untuk berdiri sendiri. Dalam sidang Am Gereja Protestan Indonesia pada tahun 1933 telah diputuskan berdirinya: (1) Gereja Masehi Injili Manado (GMIM), (2) Gereja Protestan Maluku (GPM), dan (3) Gereja Timor. Khusus Gereja Timor, keputusan Am Indische Kerk baru terwujud pada tanggal 31 Oktober 1947, yaitu dengan nama Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang berada dalam lingkungan Gereja Protestan Indonesia. Sebagai Ketua Sinode GMIT yang pertama adalah Ds. Durkstra. Beliau juga merupakan predikant/prediker vorsitter terakhir dari Gereja Timor.

Dalam rangka memperingati Jubelium GMIT pada 31 Oktober 1997, maka Sinode GMIT telah mengadakan kebaktian pembukaan di Fiulain, Dusun Danoheo, Desa Oebou, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao. Fiulain dipilih dan ditetapkan sebagai tempat pembukaan perayaan ini, karena selain cikal bakal hadirnya pendidikan di Rote Ndao berawal dari Fiulain, tetapi terpenting “benih-benih GMIT” pada mulanya telah ditaburkan kepada masyarakat umum dari Fiulain. Dalam acara pembukaan itu ditandatangani sebuah prasasti yang bertuliskan: “di sini kami mengingat betapa indahnya tapak-tapak mereka yang membawa kabar baik” (Yesaya 57: 7 dan Roma 10: 15). Dalam prosesi ibadah ini, Panitia Jubelium mengikuti versi ‘tiga raja’ (Raja Thie, Raja Lole, Raja Ba’a) tanpa Raja Lelain yang diperankan oleh tiga orang dan disambut 19 raja bersama permaisuri yang diperankan oleh 19 pasang pria dan wanita dengan diiringi Tarian Te’o renda oleh enam gadis menuju altar kebaktian. Di pintu gerbang menuju altar, ketiga raja itu disambut dengan upacara adat pendinginan yang disebut ‘neke sufu’. 19 pendeta dengan memakai toga dan ti’i langga dipimpin Pendeta B. Manuain dari Gereja GMIT Efata, TTS.

Sudah tidak dipertanyakan bahwa banyak kemajuan telah dicapai oleh rakyat Rote Ndao baik sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdekaan RI hingga kini adalah berkat partisipasi semua pihak, namun Foeh Mbura bersama Ndi’i Hu’a, Tou Dengga Lilo dan Ndara Naong sangat berjasa sebagai perintis dan peletak dasar transformasi dan modernisasi di Kabupaten Rote Ndao. Bahkan Foeh Mbura alias Benyamin Mesah telah lama diakui oleh Belanda sebagai inovator yang pertama di Rote Ndao berdasarkan surat-surat dan dokumen-dokumen masa lalu. Sampai kini keempat tokoh ini, terutama Foeh Mbura tetap dikenang dan disanjung sebagai tokoh pembaharu (inovator), tokoh politik, tokoh pendidikan, tokoh agama, dan pelaut handal pertama asal Rote Ndao. Semua orang Rote bahkan mengatakan bahwa Foeh Mbura telah membawa ‘manggaledok ma manggadilak soa neu Nusa Lote’, artinya membawa terang dan gemerlapan bagi Pulau Rote. Para tokoh pendidikan maupun penyebar agama Indonesia, sejak abad ke-19 dan ke-20 barulah mereka berkontribusi bagi masyarakat dan mulai dikenal. Sebaliknya, figur maupun peranan Foeh Mbura kurang dikenal/diketahui, padahal sejak abad ke-18 ia telah melakukan banyak yang bermanfaat bagi masyarakat Rote Ndao. Tokoh in (Foeh Mbura) bisa dikategorikan setara dengan Tokoh Maritim, Tokoh Politik, Tokoh Agama, Tokoh Pendidikan Nasional lainnya di Indonesia. Sangatlah pantas bila dibuat/dibangun sebuah monumen sebagai kenang-kenangan kepadanya. Semoga kepeloporan Foeh Mbura menjadi inspirasi bagi generasi muda masa kini dan masa mendatang di Rote Ndao.

Kini bertepatan dengan Sidang Sinode GMIT ke-33 di Rote Ndao dari 22 September – 2 Oktober 2015 yang berlangsung di "AUDITORIUM TI'ILANGGA" di Kompleks Kantor Bupati Rote Ndao yang telah dibuka oleh MENKOPOLHUMKAM RI ("Lae LBP": http://regional.kompas.com/read/2015/09/20/23130521/Menko.Polhukam.MInta.Gereja.Jangan.Berpolitik.), benar sekali pernyataan Ketua Panitia Sidang Sinode ke-33, Drs. Ibrahim A. Medah ketika mengukuhkan panitia yang dipimpinya di GMIT Syaloom Mokdale pada tanggal 15 Desember 2013 bahwa penyebaran Injil atau Alkitab masuk di wilayah NTT berasal dari Rote Ndao pada tahun 1740 berdasarkan pada surat dari majelis jemaat di Batavia kepada majelis jemaat di Roterdam tertanggal 26 Februari 1740 dan dipelopori oleh tiga raja, yakni Raja Thi’e (Foeh Mbura), Raja Lole (Ndi’i Hu’a), dan Raja Ba’a (Tou Dengga Lilo) tanpa menyebut Raja Lelain (Ndara Naong). Dengan demikian, sudah 275 tahun Injil masuk di Rote Ndao lalu menyebar ke wilayah lain di Indonesia. Akibatnya, tidak salah juga semua peserta Sidang Sinode ke-33 memanfaatkan kesempatan selama berada di Rote Ndao untuk mengadakan semacam “wisata rohani” guna mengunjungi lokasi pusat penyebaran agama Kristen Prostetan dan pusat pendidikan pertama di Rote Ndao di Fiulain untuk melihat mimbar dari batu dan memakai topi Foeh Mbura di Gereja Fiulain (Galeri Foto 2). Galeri Foto 2. Kunjungan Prof. Yusuf L. Henuk ke Gereja Fiulain Prof. Yusuf L. Henuk dan Herman Hello, si ‘petunjuk jalan’ & juru potret di Gereja Fiulain Gereja Fiulain perlu direnovasi Prof. Yusuf L. Henuk memakai topi Foeh Mbura dan berdiri di mimbar batu dalam Gereja Fiulain Prof. Yusuf L. Henuk memakai topi Foeh Mbura dan membaca Alkitab di mimbar Foeh Mbura dalam Gereja Fiulain.

 

1.6. MAKNA SIDANG SINODE GMIT KE-33 DI ROTE NDAO (20 SEPTEMBER - 2 OKTOBER 2015: http://kupang.tribunnews.com/2015/09/21/makna-sidang-sinode-gmit-di-rote).***

 

*) Penulis Buku: “Rote Mengajar Punya Cerita” (Henuk dan Haning, 2015 – ISBN: 978-979-24-6839-7).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun