Sesudah perahu diberi nama, suatu hari datanglah seorang wanita tua ke rumah raja bernama Bei Pi Tulle dari suku Tolaumbuk. Ia menyampaikan kepada raja bahwa kamu sudah memberi nama perahu itu, tetapi jangan sampai kamu tidak sampai ke tempat tujuan. Lalu raja bertanya, kenapa tidak sampai. Kemudian perempuan ini menjawab bahwa tidak ada yang menunjukkan jalan ke sana. Lalu raja berkata kalau memang demikian, maka kamulah yang menjadi penunjuk jalan. Kemudian Foeh Mbura memenggal kepala kepala perempuan ini dan ditanam didalam lumpur sebagai penunjuk arah perjalanan sekaligus sebagai penghalau gelombang, badai dan angin. Ketika Foeh Mbura bersama rombongan sudah diatas perahu dan hendak berangkat, Foeh Mbura meminta seekor ayam kepada pendeta (mane songgo) dari suku Le’e, tanpa memahami maksud Foeh Mbura bahwa kata ayam yang bukan benar-benar ayam, si maneleo suku ini pergi dan mengambil seekor ayam jantan dan diberikan kepada sang raja. Namun apa yang dimaksudkannya bukan ayam sebenarnya, melainkan manusia, maka ayam ini pun dibuang ke laut. Kemudian maneleo Le’e pergi ke rumahnya dan membawa satu-satunya anak perempuannya berambut panjang yang masih perawan bernama : “Pingga Ngga” dan matanya diikat dengan “lafa songge” (songket). Anak ini diantarkan ke Foeh Mbura yang sedang menunggu di perahu. Setelah anak gadis perawan diterima, lalu Foeh Mbura memenggal kepada anak perempuan ini dan ditancapkan di bagian kemudi perahu yang bertugas sebagai juru mudi.
1.2. Foeh Mbura dan Rombongan ke Batavia
Menurut ceritera turun-temurun di kalangan masyarakat Rote Ndao bahwa Tou Dengga Lilo (Raja Ba’a), Ndara Naong (Raja Lelain), dan Ndi’i Hu’a (Raja Lole) turut/bersama Foeh Mbura ke Batavia. Cerita rakyat di Rote Ndao ini memperkuat pernyataan penulis pertama di media massa bahwa: “Ruth Balint dalam bukunya: “Troubled Water: Borders, Boundaries and Possesion in the Timor Sea”, terbitan tahun 2005 telah mengisahkan sejarah pendaratan raja Rote ke Pulau Pasir pada tahun 1729. Awal mulanya, empat raja Rote dipimpin Foeh Mbura berlayar dari Rote dengan sebuah perahu besar ke arah Batavia (Jakarta), di Utara, namun perahu mereka terbawa angin ke Selatan sampai akhirnya mendarat di Pulau Pasir. Foeh Mbura kemudian mengambil sebuah tongkat dan mengukir namanya dan memancangkannya ke dalam pasir di pulau itu yang kemudian diidentifikasi dalam prasasti Belanda dengan menyebutnya sebagai Raja Thie yang terdampar di pulau itu pada 1729” (‘Pulau Pasir Milik Oran Rote’: Pos Kupang, Senin, 20 November 2006: 6).
Berbekal hanya air minum mentah dan ampas kelapa yang dicampur gula lontar (lepa), membuat sebagian pengikut ke-empat raja ini terserang muntaber dan diare, sehingga beberapa pengikut pun meninggal dunia dan dikuburkan di Pulau Pasir. Selain itu, mereka juga membawa buah kelapa sebagai bekal, karena lama dalam pelayaran, sebagian kelapa telah tumbuh dan ditanam juga di sana. Penulis pertama telah melaporkan bahwa kuburan orang Rote di Pulau Pasir hingga kini berjumlah 161 buah kubur dengan ada juga`pohon kelapa dan sumur milik orang Rote di Pulau Pasir. Setelah terdampar berhari-hari di Pulau Pasir, Foeh Mbura dan rombongan melanjutkan ekspedisi mereka dari Pulau Pasir menuju Batavia. Setelah tiba di Batavia, Foeh Mbura bersama rombongan menghadap Gubernur Jenderal Diderik Durven (1729 – 1732) lalu menyampaikan maksud kedatangan mereka. Dalam laporannya, Foeh Mbura mengatakan bahwa rakyat Rote hidup dalam kebodohan dan ketidaktenteraman, sehingga mereka datang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan agama guna kelak diterapkan pada rakyat mereka di Rote. Ia memohon juga agar kompeni memberikan keleluasaan kepada rakyat Rote untuk mengatur negeri mereka tanpa diganggu ketenteraman hidup mereka. Tim ekspedisi Sangga Ndolu yang dipimpin Foeh Mbura diterima Gubernur Jenderal Diderik Durven dengan senang hati dan berjanji akan memenuhi keinginan mereka. Selama mereka berada di Batavia, sebagian anggota rombongan yang lolos seleksi dididik selama dua tahun. Sebaliknya, sebagian rombongan yang tidak memenuhi syarat untuk mengikuti pendidikan selama dua tahun oleh kompeni di Batavia diperkenankan pulang lebih dahulu ke Rote.
Menurut cerita (legenda) mereka yang lebih dahulu kembali ke Rote, menangis meraung-raung di tepi pantai Batavia (Tanjung Periuk). Namun datang hewan-hewan laut, seperti buaya, ikan hiu dan ikan lada menanyai mereka dan mereka menceriterakan keluh kesah bahwa mereka dipulangkan ke Rote, karena tidak lolos seleksi mengikuti pendidikan oleh kompeni. Kemudian ketiga binatang laut ini bersedia menolong mereka dengan syarat mereka jangan membunuh ketiganya untuk dimakan. Mereka pun setuju dengan syarat yang diberikan, sehingga mereka dibawah pulang ke Rote Ndao menumpang binatang laut: (1) klen/rumpun Musuhu yang bernama Mina Mbaru menumpang buaya, (2) wakil klen/rumpun Kanaketu bernama Semu Lolo dan wakil klen/rumpun Su’a yang bernama Foi Soru, keduanya menumpang ikan hiu; dan wakil klen/rumpun Kolek yang bernama Landa Laifoi menumpang ikan lada. Mulai saat itu hingga kini keturunan mereka pantang atau pemali memakan ketiga jenis binatang laut tersebut. Sementara nenek moyang dari klen/rumpun Langgalodo yang bernama, Henu Helo, enggan pulang ke Rote Ndao dengan alasan bahwa tinggal di Tanah Jawa juga sama dengan tinggal di Rote Ndao, sehingga ia bersikukuh untuk tidak mau pulang ke Rote Ndao dan menetap di Batavia (Depok).
Mata pelajaran yang diberikan bagi mereka yang lolos seleksi untuk mengikuti pendidikan di Batavia meliputi membaca huruf Latin dalam bahasa Melayu, agama Kristen, pengetahuan eksakta (natural sains dan aritmatika), dan berbagai keterampilan khusus seperti pertukangan, pertanian, perikanan, cara menyublim sopi, membuat senjata api, cara membuat terasi, dan lain-lain. Foeh Mbura mendapat pendidikan yang lebih luas dan intensif termasuk diberi pelajaran tentang ilmu pemerintahan. Setelah selesai pendidikan selama dua tahun, lima orang di antara mereka minta dibaptis pada tahun 1732, yaitu pada awal Pemerintahan Gubernur Jenderal Diria van Cloon (1732 – 1735). Kelima orang yang dibaptis adalah: (1) Foeh Mbura dengan nama Benyamin Mesah, (2) Mbate Moi (wakil klen/rumpun Moianan) dengan nama Johanis Moi, (3) Tulle Fatu (wakil klen/rumpun Tolaumbuk) dengan nama Daniel Fatu, (4) Nafi Lon (wakil klen/rumpun Kona) dengan nama Natanel Lon, dan (5) Resi Boru (wakil klen/rumpun Bibimane) dengan nama Matias Boru. Sedangkan, anggota rombongan yang lain belum bersedia dibaptis. Foeh Mbura pun mendapat sebuah tongkat berkepala emas yang bertuliskan: “Benyamin Mesah Raja van Thie 1732”.
1.3. Foeh Mbura dan Rombongan Kembali dari Batavia
Foeh Mbura bersama rombongan kembali dari Batavia ke Rote Ndao pada tahun 1732. Dalam perjalanan pulang, tepatnya di belakang Pulau Landu, meriam berukuran kecil milik Foeh Mbura yang tidak terisi mesiu tiba-tiba meletus membuat Foeh Mbura teringat akan putra satu-satunya bernama Henu Foeh yang saat berangkat ke Batavia dalam keadaan sakit, sehingga ketika bertemu dengan pemakan meting yang sementara mencari ikan, Foeh Mbura menanyakan apa yang sedang terjadi di Daehenda, lalu dari pengakuan pemakan meting bahwa Henu Foeh telah meninggal dunia. Informasi meninggalnya Henu Foeh membuat sungkannya Foeh Mbura untuk melabuhkan perahu Sangga Ndolu ke Daehenda. Ia yang sedang berduka dan kepada Ndi’i Hu’a ia meminta sebuah tempat untuk menenangkan perasaannya, dan permintaannya dikabulkan oleh Ndi’i Hu’a dengan menunjuk pulau kosong yang saat ini bernama Nusa Lai untuk melabuhkan Perahu Sangga Ndolu. Tempat berlabuhnya Perahu Sangga Ndolu berlabuh hingga saat ini masih dikenal oleh baik masyarakat Lole maupun Thie dengan nama : “Namo Thi’e”. Pelabuhan ini terletak di bagian utara Nusa Lai, sementara di bagian Selatan Nusa Lai dikenal dengan nama : “Namo Lole”. Pada umumnya, masyarakat Thie yang sibuk berladang dan menyadap lontar, ketika mereka melihat Perahu Sangga Ndolu yang berlabuh di Nusa Lai membuat mereka bertanya-tanya, dan mereka pun akhirnya mengetahui bahwa Perahu Sangga Ndolu dilabuhkan ke Nusa Lai, karena Foeh Mbura sedang berduka atas meninggalnya Henu Foeh, sehingga semua maneleo dan tua-tua adat menaiki perahu ini untuk mendatangi Foeh Mbura guna menghiburnya dari kedukaan. Setelah semua bertemu Foeh Mbura, mereka berkata kepada Sang Raja demikian: “Henu Foeh sambu do lalo ena, te hu bei ela Sio Foeh ma Falu Foeh” (Henu Foeh telah hilang, tetapi masih sisa Sembilan Foeh dan Delapan Foeh), maksudnya meskipun Henu Foeh telah meninggal dunia, tetapi janda balu yatim piatu masih merindukan kehadiran Foeh Mbura. Kata-kata penghiburan dari para maneleo dan tua-tua adat membuat Foeh Mbura berubah pikiran dan ingin melabuhkan Perahu Sangga Ndolu di Daehenda (Namo Keka), terletak di Fiulain, Dusun Danoheo, Desa Oebou, Kecamatan Rote Barat Daya.
Melihat Perahu Sangga Ndolu sedang merapat ke Daehenda, beberapa orang yang memanggil masyarakat Thi’e untuk datang menjemput Foeh Mbura dengan meniup fiifiik (sejenis tumbuhan laut), namun karena alat ini tidak mengeluarkan bunyi yang keras dan ditiup diatas puncak, maka kemudian tempat ini dimanai: “Fiulain”. Mereka pun akhirnya mengganti fiifiik dengan meniup kulit kerang yang dinamai: “to’ik” yang bunyinya lebih keras untuk memanggil masyarakat Thi’e yang sedang berladang dan menyadap lontar untuk datang menyambut kedatangan Foeh Mbura dari Batavia. To’ik hingga kini masih tetap dipakai sebagai sarana memanggil jemaat selain lonceng gereja untuk datang beribadat di Rote Ndao. Dalam suasana ratap tangis yang memilukan Foeh Mbura disongsong dan diusung oleh rakyat menuju istana. Seluruh keluarga istana maupun masyarakat menyambut beliau dan rombongan bukan dengan tempik sorak kegembiraan, tetapi ia disambut dengan cucuran air mata kesedihan. Masa berkabung diakhiri dengan dua pesta berturut-turut, yaitu mula-mula pesta kematian lalu disusul pesta atau ucapan syukur ‘safe tasi oe’ (cuci air laut, adalah suatu upacara doa bila seseorang telah kembali dari seberang) yang dihadiri oleh rakyat Thie serta raja-raja dan tokoh-tokoh masyarakat, terutama dari Lole, Ba’a, dan Lelain. Pada kesempatan itu, Foeh Mbura mengumumkan keberhasilan yang telah diperoleh dari Ekspedisi Sangga Ndolu ke Batavia dan rencana yang akan dilaksanakan demi kesejahteraan dan ketenteraman rakyat. Sedangkan, Syair Kisah Perjalanan Keempat Raja Rote Menuju Batavia:
Syair Rote:
Ara sa’e rala tondan Ma hene rala balun Fo balun manade Sangga Ndolu De ara leko la neu langgan Ma pale uli neu iko Ara tuku la kukuru Ara pale uli titidi De ara lena ri losa Jabadiu daen Ma ara sida epo losa Matabi oen Fo reu tungga lela falu Ma reu sangga ndolu sio De tati reni bau koli Da senggi reni tui sina Da ara fuan neu balun lain Ma ara ndaen neu tondan ata De reni-sara losa Rote daen Ma reni-sara nduku Kale oen De ara sele bau neu dano Boe ma bau don nasengga dano Ma ara tande tui neu le Boe ma tui samun nandoro le De mboko danor ramahena Ma mboe ler rakabani