Mohon tunggu...
Yusuf L. Henuk
Yusuf L. Henuk Mohon Tunggu... Ilmuwan - GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 - Sumatera Utara, INDONESIA

GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 -- Sumatera Utara, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ekspedisi Sangga Ndolu Tahun 1729 ke Batavia di Pimpin Foeh Mbura

16 Juli 2015   15:56 Diperbarui: 26 September 2015   06:26 2494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita kematian Foeh Mbura sangat mengagetkan rakyat Rote pada umumnya dan rakyat Thi’e khususnya. Para raja dan rakyat dari kerajaan-kerajaan lainnya turut berkabung, terlebih rakyat Thi’e menyatatakan berkabung selama beberapa bulan. Mereka kehilangan seorang pemimpin yang tidak ada tandingannya di antara para pemimpin di Rote Ndao. Menurut tokoh-tokoh masyarakat sulit ditemukan figur pemimpin hebat seperti Foeh Mbura. Sukar didapat pemimpin yang sanggup mengemban misi ‘sangga ndolu sio ma tungga lela falu’ sesuai semboyan Foeh Mbura. Namun benar kata Alkitab: “Untuk segala sesuatu ada waktunya”: …ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal,…” (Pengkhotbah: 3: 2a).

Foeh Mbura telah dipanggil pulang oleh Tuhan Yesus setelah 66 tahun hidup di dunia. 17 tahun mengabdi pada bangsa dan negara (1729 – 1746) dan 14 tahun ikut Tuhan Yesus dan kembali ke ‘Rumah Bapa’ di surga melalui suatu peristiwa yang tragis pada tanggal 12 Oktober 1746 di Termanu. Ketika berita tentang “Peristiwa Meulenbeek” di Rote sampai di Batavia, Gubernur Jenderal mengirim sebuah tim dari sana ke Rote untuk mengusut kasus pembunuhan Foeh Mbura di Termanu. Raja-raja peserta sidang pada waktu itu terutama Raja Termanu dianggap sebagai yang bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Namun dalam pengusutan tersebut tidak ditemukan seorang raja pun yang bersalah, melainkan opperhoofd VOC Jan Anthony Meulenbeek yang menjadi pelaku utama meninggalnya Foeh Mbura.

Sepeninggal Foeh Mbura, stabilitas politik dan keamanan di Fiulain agak terganggu. Penggantinya yaitu keponakannya bernama Tou Kay Pah agak lemah. Namun untunglah telah siap banyak kader politik jebolan sekolah di Fiulain maupun beberapa orang jebolan Batavia dan Ambon tidak patah semangat. Mereka melanjutkan cita-cita dan karya Foeh Mbura terutama di bidang pendidikan dan agama. Solo Besi seorang putri Raja Besi Alu Pah (keponakan Foeh Mbura) kawin dengan Raja Termanu (Mudak Amalo) pada tahun 1790. Perkawinan ini mempererat hubungan antara Termanu dan Thi’e. Namun Raja Mudak Amalo sangat berseberangan dengan Belanda, sehingga ia dipecat oleh Heijmering. Penggantinya dibaptis oleh Heijmering pada tahun 1839 dan mengijinkan pembangunan gereja yang pertama di Termanu. Walaupun Foeh Mbura telah tiada dan pertikaian antar kerajaan belum juga teratasi hingga akhir hidupnya. Namun usahanya telah memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Rote Ndao. Nama Foeh Mbura tidak atau belum diukir di batu nisan atau monumen negara, tetapi tetap terukir kuat dalam sanubari setiap rakyat di Rote hingga kini.

1.5. Sejarah Masuknya Agama Kristen di Timor dan Rote Ndao

Sejarah masuknya agama Kristen di Pulau Rote khususnya dan NTT pada umumnya telah banyak tulis berdasarkan berbagai sumber dengan versi masing-masing. Namun kami berupaya untuk menyajikan sejarahnya dengan tidak mengurangi sejarah asli sesuai dengan cerita atau tuturan asli dari pada sejarah ini sendiri. Selain itu, untuk merampungkan buku ini, penulis pertama dengan giat untuk terjun langsung ke lokasi guna menggali dan mendapatkan berbagai situs, tuturan lisan yang mendukung penyelesaian penulisan buku ini. Pada umumnya, berkembangnya agama Kristen Protestan khususnya Jemaat GMIT di NTT pada masa VOC diawali dari dua titik, yaitu: titik utara, mulai dari Benteng Fort Concordia (Kupang), dan titik Selatan, mulai dari Fiulain (Rote). Dari titik utara (Kupang), penyebaran ajaran agama sudah dimulai sejak tahun 1614 dan lebih banyak ditangani oleh para pendeta namun penyebaran ajaran agama pada masa VOC itu sangat lambat. Hal ini disebabkan karena penyebaran ajaran agama kepada masyarakat umum belum mendapat perhatian yang serius. Penyebaran agama masih terbatas pada para pegawai VOC saja. Apalagi agama baru ini dibawa oleh orang asing serta selalu meninggalnya para pendeta. Sebaliknya, di titik Selatan (Fiulain/Rote) sejak tahun 1732, barulah Foeh Mbura memperkenalkan Injil secara massal kepada masyarakat umum di Fiulain, Dusun Danoheo, Desa Oebou, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao.

Sejarah mencatat bahwa Fiulain, periode nusak, pada era pemerintahan raja Foe Mbura adalah pusat pemerintahan kerajaan Thie. Sebagai pusat kerajaan kala itu, Fiulain sangat terkenal baik oleh nusak yang lainnya di Rote hingga oleh Belanda dikarenakan tempat ini pada tahun 1732 merupakan tempat pertama dimana Agama Kristen Protestan dan Pendidikan diperkenalkan di Rote. “Bibit” persemaian yang ditanam disinilah yang kemudian berhasil menyebar ke seluruh nusak yang ada di Rote baik itu dalam hal penyebaran Agama Kristen Protestan maupun penyebaran pendidikan persekolahan. Kemudian menyebar ke seluruh wilayah di NTT.

Pada awalnya, Foeh Mbura hanya membutuhkan waktu yang singkat saja berhasil membaptis 964 orang dan telah ada majelis jemaat di Fiulain. Hal ini didasarkan pada surat dari majelis jemaat di Batavia kepada majelis jemaat di Roterdam tertanggal 26 Februari 1740 yang melaporkan bahwa Rote membutuhkan seorang pendeta karena di sana sudah ada empat mata jemaat dan 964 orang Kristen serta 182 orang calon baptis, terlebih lagi karena Raja Lole bersama 700 orang/rakyatnya minta segera dibaptis. Jemaat di Fiulain merupakan jemaat yang pertama di Rote Ndao. Sedangkan, pendeta pertama untuk Rote bernama Ds. Hermanus Sanders Zijlsma dan ditempatkan di Fiulain pada tahun 1742. Ia bersama Foeh Mbura melaksanakan baptisan massal dan mereka berdua jugalah yang membaptis Raja Ba’a, Raja Lelain dan Raja Lole bersama beberapa rakyat mereka.

Semakin meningkatnya jumlah anggota jemaat dalam gereja-gereja suku di Indonesia bagian Timur (Ambon, Minahasa dan Timor), maka sidang Am Gereja Protestan Indonesia (Indische Kerk) menginstruksikan kepada gereja-gereja suku tersebut untuk berdiri sendiri. Dalam sidang Am Gereja Protestan Indonesia pada tahun 1933 telah diputuskan berdirinya: (1) Gereja Masehi Injili Manado (GMIM), (2) Gereja Protestan Maluku (GPM), dan (3) Gereja Timor. Khusus Gereja Timor, keputusan Am Indische Kerk baru terwujud pada tanggal 31 Oktober 1947, yaitu dengan nama Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang berada dalam lingkungan Gereja Protestan Indonesia. Sebagai Ketua Sinode GMIT yang pertama adalah Ds. Durkstra. Beliau juga merupakan predikant/prediker vorsitter terakhir dari Gereja Timor.

Dalam rangka memperingati Jubelium GMIT pada 31 Oktober 1997, maka Sinode GMIT telah mengadakan kebaktian pembukaan di Fiulain, Dusun Danoheo, Desa Oebou, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao. Fiulain dipilih dan ditetapkan sebagai tempat pembukaan perayaan ini, karena selain cikal bakal hadirnya pendidikan di Rote Ndao berawal dari Fiulain, tetapi terpenting “benih-benih GMIT” pada mulanya telah ditaburkan kepada masyarakat umum dari Fiulain. Dalam acara pembukaan itu ditandatangani sebuah prasasti yang bertuliskan: “di sini kami mengingat betapa indahnya tapak-tapak mereka yang membawa kabar baik” (Yesaya 57: 7 dan Roma 10: 15). Dalam prosesi ibadah ini, Panitia Jubelium mengikuti versi ‘tiga raja’ (Raja Thie, Raja Lole, Raja Ba’a) tanpa Raja Lelain yang diperankan oleh tiga orang dan disambut 19 raja bersama permaisuri yang diperankan oleh 19 pasang pria dan wanita dengan diiringi Tarian Te’o renda oleh enam gadis menuju altar kebaktian. Di pintu gerbang menuju altar, ketiga raja itu disambut dengan upacara adat pendinginan yang disebut ‘neke sufu’. 19 pendeta dengan memakai toga dan ti’i langga dipimpin Pendeta B. Manuain dari Gereja GMIT Efata, TTS.

Sudah tidak dipertanyakan bahwa banyak kemajuan telah dicapai oleh rakyat Rote Ndao baik sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdekaan RI hingga kini adalah berkat partisipasi semua pihak, namun Foeh Mbura bersama Ndi’i Hu’a, Tou Dengga Lilo dan Ndara Naong sangat berjasa sebagai perintis dan peletak dasar transformasi dan modernisasi di Kabupaten Rote Ndao. Bahkan Foeh Mbura alias Benyamin Mesah telah lama diakui oleh Belanda sebagai inovator yang pertama di Rote Ndao berdasarkan surat-surat dan dokumen-dokumen masa lalu. Sampai kini keempat tokoh ini, terutama Foeh Mbura tetap dikenang dan disanjung sebagai tokoh pembaharu (inovator), tokoh politik, tokoh pendidikan, tokoh agama, dan pelaut handal pertama asal Rote Ndao. Semua orang Rote bahkan mengatakan bahwa Foeh Mbura telah membawa ‘manggaledok ma manggadilak soa neu Nusa Lote’, artinya membawa terang dan gemerlapan bagi Pulau Rote. Para tokoh pendidikan maupun penyebar agama Indonesia, sejak abad ke-19 dan ke-20 barulah mereka berkontribusi bagi masyarakat dan mulai dikenal. Sebaliknya, figur maupun peranan Foeh Mbura kurang dikenal/diketahui, padahal sejak abad ke-18 ia telah melakukan banyak yang bermanfaat bagi masyarakat Rote Ndao. Tokoh in (Foeh Mbura) bisa dikategorikan setara dengan Tokoh Maritim, Tokoh Politik, Tokoh Agama, Tokoh Pendidikan Nasional lainnya di Indonesia. Sangatlah pantas bila dibuat/dibangun sebuah monumen sebagai kenang-kenangan kepadanya. Semoga kepeloporan Foeh Mbura menjadi inspirasi bagi generasi muda masa kini dan masa mendatang di Rote Ndao.

Kini bertepatan dengan Sidang Sinode GMIT ke-33 di Rote Ndao dari 22 September – 2 Oktober 2015 yang berlangsung di "AUDITORIUM TI'ILANGGA" di Kompleks Kantor Bupati Rote Ndao yang telah dibuka oleh MENKOPOLHUMKAM RI ("Lae LBP": http://regional.kompas.com/read/2015/09/20/23130521/Menko.Polhukam.MInta.Gereja.Jangan.Berpolitik.), benar sekali pernyataan Ketua Panitia Sidang Sinode ke-33, Drs. Ibrahim A. Medah ketika mengukuhkan panitia yang dipimpinya di GMIT Syaloom Mokdale pada tanggal 15 Desember 2013 bahwa penyebaran Injil atau Alkitab masuk di wilayah NTT berasal dari Rote Ndao pada tahun 1740 berdasarkan pada surat dari majelis jemaat di Batavia kepada majelis jemaat di Roterdam tertanggal 26 Februari 1740 dan dipelopori oleh tiga raja, yakni Raja Thi’e (Foeh Mbura), Raja Lole (Ndi’i Hu’a), dan Raja Ba’a (Tou Dengga Lilo) tanpa menyebut Raja Lelain (Ndara Naong). Dengan demikian, sudah 275 tahun Injil masuk di Rote Ndao lalu menyebar ke wilayah lain di Indonesia. Akibatnya, tidak salah juga semua peserta Sidang Sinode ke-33 memanfaatkan kesempatan selama berada di Rote Ndao untuk mengadakan semacam “wisata rohani” guna mengunjungi lokasi pusat penyebaran agama Kristen Prostetan dan pusat pendidikan pertama di Rote Ndao di Fiulain untuk melihat mimbar dari batu dan memakai topi Foeh Mbura di Gereja Fiulain (Galeri Foto 2). Galeri Foto 2. Kunjungan Prof. Yusuf L. Henuk ke Gereja Fiulain Prof. Yusuf L. Henuk dan Herman Hello, si ‘petunjuk jalan’ & juru potret di Gereja Fiulain Gereja Fiulain perlu direnovasi Prof. Yusuf L. Henuk memakai topi Foeh Mbura dan berdiri di mimbar batu dalam Gereja Fiulain Prof. Yusuf L. Henuk memakai topi Foeh Mbura dan membaca Alkitab di mimbar Foeh Mbura dalam Gereja Fiulain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun