Mohon tunggu...
Yusuf L. Henuk
Yusuf L. Henuk Mohon Tunggu... Ilmuwan - GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 - Sumatera Utara, INDONESIA

GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 -- Sumatera Utara, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ekspedisi Sangga Ndolu Tahun 1729 ke Batavia di Pimpin Foeh Mbura

16 Juli 2015   15:56 Diperbarui: 26 September 2015   06:26 2494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terjemahan: Mereka menaiki perahu mereka Mereka memanjat biduk mereka Yaitu perahu yang bernama Sangga Ndolu Lalu mereka memasang layar pada hulunya Dan memutar kemudi pada buritannya Mereka memasang layar dengan kencang Dan memutar kemudi dengan keras Lalu mereka membela ombak sampai di Tanah Jawa Dan menantang gelombang sampai Betawi Mereka pergi menjemput delapan kepintaran Mereka pergi mengambil sembilan hikmat Lalu mereka membawa dahan bakau koli Dan membawa ranting tui sina Lalu dimuat diatas perahu Dan diletakan di atas biduk Lalu dibawa sampai di Tanah Rote Dan dibawa tiba di air Kale Mereka menanam dahan bakau di danau Lalu daun bakau menjadi rimbun menaungi danau Dan menanam ranting tui di sungai Lalu akar tui menjorok sekeliling sungai Lalu menjadi harapan bagi udang danau Dan menjadi hidup bagi udang sungai

Makna dari syair: Orang Rote pergi ke Batavia untuk mencari sesuatu yang berguna bagi kehidupan masyarakat Rote Ndao, baik untuk kepentingan jasmaniah maupun rohaniah, lalu mereka kembali dengan membawa hasil yang memuaskan untuk dinikmati oleh rakyat Rote Ndao dengan penuh kebahagiaan (Paul A. Haning, 2013: 20 – 21).

Dalam upaya mewujudkan janji Foeh Mbura sebelum pergi ke Batavia bahwa bila kembali akan membuka sekolah dan gereja sesuai dengan visi dan misinya (sangga ndolu sio ma tungga lela falu), maka ia telah dibekali pengetahuan selama dua tahun mengikuti pendidikan di Batavia dan siap diterapkan kepada rakyatnya. Selain tongkat emas pemberian Gubernur Jenderal, ia diberi juga jubah dan topi kebesaran, perkakas pertukangan, dan alat-alat iptek lainnya serta sejumlah ikan air tawar. Beliau juga menerima fasilitas berhubungan dengan penyebaran ajaran agama Kristen, meliputi: lonceng gereja, sebuah Wasiat Lama, sebuah Wasiat Baru, sebuah Kitab Nyanyian Mazmur, sebuah buku nyanyian yang disebut Mazmur Batavia, buku-buku bacaan, alat-alat tulis-menulis. Barang-barang pemberitan itu semua sudah musnah, kecuali lonceng gereja masih dipakai di Gereja Tudameda dan Topi masih tersimpan diatas mimbar batu dalam Gereja Fiulain yang telah penulis pertama pakainya ketika mengunjungi tempat bersejarah ini pada tanggal 3 Juli 2015. Sedangkan, jenis ikan air tawar yang dibawa Foeh Mbura dari Batavia dilepas di Dano Tua, sehingga orang Thie menyebutnya “i’ak matabi’ (ikan Batavia).

Mula-mula disamping memerintah, Foeh Mbura memperkenalkan Injil (Kabar Baik) dan bertindak sebagai guru untuk mengajar, sehingga beliau mengemban “tri-fungsi”: Raja, Pendeta/Penginjil, dan Guru/Pendidik. Beliau dibantu oleh Mbate Moi (Johanis Moi). Mereka dengan tekun dan tabah mengajar anak-anak dan bahkan orang-orang dewasa mata ajaran meliputi: ajaran agama Kristen, membaca/menulis bahasa Melayu, mengajar aritmatika, cara memelihara ikan air tawar, cara menyublim sopi, cara bertukang dan lain-lain, kemungkinan termasuk cara membuat senjata api. Berhubung belum ada gedung sekolah, maka istana raja dipakai sebagai tempat pendidikan. Sedangkan, semua peserta didik tidak hanya berasal dari Thie saja, tetapi dari nusak lain juga seperti: Ba’a, Lelain, Lole, Oenale, Korbafo, Termanu, Landu, Oepao, Bilba, Talae dan Ringgou. Siswa-siswa yang menuntut ilmu di Fiulain yang berasal dari kerajaan lain, tinggal di rumah-rumah penduduk sekitar istana dan bahkan ada yang tinggal di istana. Mereka mendapat biaya/bantuan makanan dan kebutuhan lain-lainnya dari orang tua mereka masing-masing. Pada tahap ini semua pelajaran yang diberikan masih bersifat kursus.

Demi meringankan tugas dan mempercepat modernisasi, maka pada tahun 1733, Foeh Mbura meminta bantuan tenaga guru agama dan dikirim dari Kupang seorang Kristen bernama Johanis Senghaje. Pada tahun 1734 dibangun sebuah gedung sekolah dengan ukuran sekitar 7 x 28 m tidak jauh dari istana raja. Dari gedung inilah berawal adanya klasifikasi (tingkat/kelas), yaitu telah dibukanya Kelas I sampai Kelas III, selain gedung ini juga berfungsi sebagai gedung gereja disertai kantor/konsistori. Kehadiran gedung ini menyebabkan semakin bertambah banyak siswa tidak hanya dari Thi’e saja, tetapi dari kerajaan-kerajaan lainnya di Rote Ndao. Foeh Mbura mempunyai sebuah bendera sebagai lambang kerajaan. Setiap hari bendera tersebut dikibarkan di depan istana. Tiang bendera ditancapkan di atas sebuah batu karang yang tinggi di tepi laut berhadapan dengan istana. Sampai sekarang batu itu dikenal dengan nama “Batu Dedeo” (Batu Bendera). Dalam rangka memperingati Yubelium GMIT pada tahun 1997, pada puncak Batu Bendera dipancang sebuah salib dari besi oleh Pemuda-Pemudi Gereja Klasis Rote Barat Daya.

1.4. Foeh Mbura Terbunuh di Termanu

Foeh Mbura terbunuh dalam suatu pertemuan/sidang para raja Rote dengan para pembesar Kompeni di Desa Kotaleleuk di Termanu pada tanggal 12 Oktober 1746. Menurut Matheos Messaks dalam tulisannya yang terbit di media online pada tanggal 5 September 2012, berjudul: “Terbunuhnya Foeh Mbura di Termanu” (https://lakamola.wordpress.com/2012/09/05/terbunuhnya-foe-mbura/), dikisahkan bahwa sekitar bulan Oktober 1746 telah terjadi sebuah peristiwa di Namodale, Termanu yang dalam dokumen-dokumen VOC lebih dikenal dengan “Peristiwa Meulenbeek”. Peristiwa ini dikenang kemudian dalam tuturan lisan orang Rote sebagai perisitiwa terbunuhnya Raja nusak Thie, Foeh Mbura yang adalah Raja Rote yang dibaptiskan dengan nama Benjamin Messakh pada tahun 1732 di Batavia.

Pemicu dari peristiwa ini adalah tur rutin opperhoofd VOC Jan Anthony Meulenbeek di berbagai nusak di pulau itu pada bulan itu. Menurut Hans Hagerdaal, peristiwa ini layak diselidiki secara lebih mendetail karena dua hal: pertama, karena peristiwa ini masih dipelihara secara baik dalam tradisi lisan Rote dan itu menunjukkan bahwa garis-garis konflik tradisional dan Eropa bisa menjadi kabur. Meulenbeek yang baru bertugas pada tahun 1744 menggantikan opperhoofd Christiaan Fredrik Brandenburg (bertugas Oktober 1740-1744) ini kurang diplomatis dan popular jika dinilai dari dokumen-dokumen VOC pada waktu itu. Menggunakan tipuan ia menangkap tiga pemimpin pemberontak dari nusak Landu yang dianggap keras kepala, sehingga mereka ditangkap dan dikirim ke Termanu yang menjadi sekutu andalan Belanda untuk dijadikan budak karena dituduh bersahabat dengan Portugis Hitam (Sina Nggeok). Ketiga kepala suku itu ditahan, tetapi berhasil melarikan diri, sehingga Meulenbeek marah-marah dan mencambuk Raja Termanu, Fola Sinlae sambil memaki-maki para raja dan mengancam akan membakar ibu kota Termanu. Namun, para raja Rote mengusulkan agar ketiga oknum ini diganti dengan 100 orang hamba, tetapi Meulenbeek menolak. Meulenbeek bersama 36 orang Belanda dan Mardijkers memerintahkan para petugas artileri untuk mengambil meriam dari kapal dan membawanya ke dalam pagar batu VOC di Termanu. Meulenbeek terus berupaya untuk menangkap tiga pemimpin pemberontak itu. Ia kemudian masuk ke rumah seorang perempuan bangsawan, janda dari mantan manek, Ndaomanu, yang konon memiliki hiasan dada emas. Dia menelanjangi perempuan itu dan mempertontonkannya di depan orang banyak. Janda yang sangat dihormati ini lalu bertanya kepada orang-orang banyak apakah mereka masih mentolerir perilaku biadab ini. Lokasi Foeh Mbura Terbunuh Berhubung tuntutan disertai ancaman kepada raja-raja Rote serta perbuatan biadab yang telah dilakukan oleh Meulenbeek sudah dianggap penghinaan/melanggar adat Rote, maka Foeh Mbura menembak Meulenbeek dan pada saat itu pula beliau mendapat tembakan balasan dari opas/ajudan Jan Anthony Meulenbeek sehingga Foeh Mbura tewas.

Selanjutnya, terjadi kerusuhan tembak-menembak, bunuh-membunuh, sehingga turut terbunuh 12 orang Belanda dan 19 Mardykers. Sementara mayat Foeh Mbura tekapar di tanah, seorang ajudan Foeh Mbura bernama Rondo Dengga segera mengambil Tongkat Emas Foeh Mbura lalu dilarikan ke Thie. Ndi’i Hu’a juga ikut melarikan diri, tetapi dibunuh di sebuah rawa yang kemudian dikenal dengan nama ‘Ndi’ik lifun’ (rawa milik Ndi’i). Tuan Const, seorang bookhouder dapat meloloskan diri, sehingga melaporkan peristiwa tersebut ke Kupang pada tanggal 24 Oktober 1746.

Jenazah Foeh Mbura digotong kembali oleh Tou Dengga Lilo (Raja Ba’a), Ndara Naong (Raja Lelain) dan beberapa peserta rapat lainnya, tetapi karena mayatnya telah membusuk dan hancur, maka tidak dibawa sampai ke Fiulain, melainkan dikuburkan di Lekik, Kecamatan Lobalain. Penguburan jenazah Foeh Mbura di Ba’a disetujui oleh rakyat Thi’e, karena Tou Dengga Lilo adalah menantu Foeh Mbura.

Menurut tuturan lisan, sebagian potongan tubuhnya (Rote: Baa, secara literer berarti paru-paru) dibawa oleh Raja Baa Tou Dengga Lilo dikuburkan di Lekik. Pohon Asam di mana bagian tubuh Foeh Mbura digantung sebelum dikubur. Raja Ba’a, Tou Dengga Lilo menggantungkan bagian tubuh itu di Pohon Asam ini, namun malamnya ia bermimpi didatangi Foeh Mbura yang berkata kepadanya: ‘jika engkau hanya menggantungkan aku di sini, sekali kelak jika pohon itu mati, anak cucuku tak bisa menemukanku.’ keesokkan harinya bagian tubuh itu dikuburkan di tempat dekat Pohon Asam di Lekik yang sekarang dipercaya sebagai pusara Foeh Mbura di Ba’a.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun