Perumusan delik santet dalam Pasal 293 Rancangan KUHP Baru, tidak dapat menjangkau konsep tentang “Suanggi”. Sulit merumuskan suatu konsep hukum rasional dan nyata, terhadap sisi alam gaib yang tidak nyata, irasional. Apabila delik santet perlu diatur, maka harus ada Perubahan atau Penambahan Perumusan Pasal 293 Rancangan KUHP, agar mencakup pula konsep tentang “suanggi”. Jika demikian, Sanksi bagi pelaku “suanggi” sebaiknya bukan sanksi berupa penjara tetapi kurungan pembinaan, mental dan kerohanian.
Singkatnya, suanggi atau dalam bahasa Lamaholot dialek Kawaliwu, Menaka. Melihat cara hidup dan ciri suanggi, Gereja pasti akan menolak. Bahkan Gereja akan mengutuk sikap dan pola hidup suanggi. Sikap Gereja yang demikian karena kehadiran suanggi sama dengan cara dan ciri setan. Kalau setan dan musuh paguyuban Gereja dan dunia, maka jelas suanggi pun demikian. Gereja sangat menyayangi umatnya yang selama ini hidup etis dan baik dalam kumpulan umat tetapi hatinya tersayat dan memiliki niat jahat. Kalau ditilik ke-12 rasul Yesus, Yudas lah yang menjadi penjual Yesus. Maka Yudas disebut pengkianat. Suanggi, sama dengan Yudas. Suanggi pengkianat Yesus, Gereja dan sesama umatnya. Bagi semua umat Kristiani, Firman Tuhan sudah jelas mengatakan, segala sesuatu yang berhubungan dengan iblis dilarang oleh Tuhan dan bagi yang melanggar akan masuk di bawah penghakiman ilahi dan hukuman mati (Imamat 19:31; Ulangan 18:10).***
Sumber Kutipan:
Y.L. Henuk. 2015. Rote Mengajar Punya Cerita. Penerbit Lembaga Penelitian, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H