Mohon tunggu...
Yusuf L. Henuk
Yusuf L. Henuk Mohon Tunggu... Ilmuwan - GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 - Sumatera Utara, INDONESIA

GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 -- Sumatera Utara, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nenek Moyang Orang Rote Berasal Dari Bangsa Yahudi

1 Mei 2015   07:03 Diperbarui: 10 November 2015   09:33 11602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14304380591355287385
14304380591355287385

 


Yusuf L. Henuk*)


 


JUDUL tulisan mirip sekali dengan tulisan dari Mattula Ada yang telah diterbitkan di kompasiana.com pada 01 November 2011 dengan judul: “Ternyata Moyang Orang Maluku adalah Bangsa Yahudi”. Dalam tulisan ini terbaca jelas bahwa “Salah satu bukti kuat bahwa pada abad ke-1 M rempah-rempah dari Maluku pernah dijual di Yerusalem, adalah karena pada tahun 33 M, beberapa orang wanita Yahudi yaitu: Maria Magdalena dan teman-temannya membeli rempah-rempah di pasar Yerusalem untuk mengawetkan jenazah Yesus (Markus 16:1). Peluang lain orang Israel tiba di Maluku adalah pedagang-pedagang Israel datang sendiri ke Maluku setelah mengetahui jalan ke Maluku dari para pedagang bangsa China”. (http://media.kompasiana.com/buku/2011/10/31/ternyata-moyang-orang-maluku-adalah-bangsa-yahudi-406217.html).


Dua tahun kemudian, terbaca tulisan yang hampir sama yang ditulis oleh Abeytara pada tanggal 8 Juni 2013 dalam tulisannya berjudul kapital: “ASAL NAMA MALUKU DAN HUBUNGANNYA DENGAN KETURUNAN SUKU ISRAEL YANG HILANG”.


Penulis yang kini sedang fokus menyelesaikan tulisannya tentang “Asal Usul Orang Rote” untuk diterbitkan nanti dalam buku : “Rote Mengajar Punya Cerita” (ISBN: 978 – 979 – 24 – 6839 – 7) tepat HUT Rote Ndao ke-13 pada tanggal 2 Juli 2015, sempat kaget membaca pembukaan dari tulisan Abeytara tersebut di atas bahwa: “Orang Rote mengenal nenek moyang mereka berasal dari suku-suku Israel yang hilang yang datang ke Maluku” (

 

 

 

http://edukasi.kompasiana.com/2015/04/14/profylh-rote-mengajar-punya-cerita-712356.html).


Selanjutnya, terbaca juga dalam tulisan dari Abeytara bahwa orang-orang Yahudi Alfuros (dari suku Gad), sebagian menyebar ke bagian barat, menyinggahi pulau Rote dan menetap di Rote bagian timur di suatu daerah yang dinamai Beluba dan di bagian barat daya Thie. Menurut para tokoh adat di Rote, mereka selalu menyebut Pulau Seram dan Tidore sebagai tempat asal nenek moyang orang Rote. Para leluhur tersebut datang secara bergelombang. Kisah para leluhur orang Rote ini tidak terlepas dari kisah tiga bersaudara, yaitu Belu Mau, Sabu Mau, dan Ti Mau.


Belu Mau menetap di Belu setelah menyinggahi pulau Rote. Di Rote Timur, Belu Mau memberi nama daerah itu ‘Beluba’ sekarang bernama Bilba. Di Beluba (Bilba) pada jaman kolonial Belanda sudah pernah terbentuk satu Kerajaan kecil bernama Kerajaan Beluba dengan Rajanya berjulukan ‘Mane Kaiyoe” dari suku Kaiyoe. Belu Mau kemudian berlayar lagi ke pulau Timor dan dialah yang menjadi nenek moyang orang Belu saat ini. Si bungsu, Ti Mau berlayar ke barat dan menetap di Rote Barat Daya, daerah itu diberi nama Nusak Thie. Sedangkan Sabu Mau meneruskan perjalanannya dan menetap di Pulau Sawu. Para leluhur menyebut Pulau Rote sebagai Pulau Kale, dengan julukan Nusa Ne do Lino, artinya negeri tenang dan damai. (http://bheys.firmgraph.com/?p=936).


Bahkan asal-usul orang Rote yang tertulis dalam tulisan dari Abeytara tersebut di atas telah dipublikasi juga dalam buku: “Garut Kota Illuminati: Dari Pencarian Hitler Yang Berujung Di Indonesia, Emas Para Sultan Nusantara, Hingga Indikasi Bangsa Yahudi Keturunan Jawa”, ditulis oleh Ahmad Y. Samantho (2013: 92 – ISBN: 978-602-7689-47-3) – Diterbitkan oleh PT Ufuk Publishing House, Jakarta ((https://books.google.co.id/books?id=foCEBwAAQBAJ&pg=PA92&dq=orang+rote+asal+dari+seram&hl=id&sa=X&ei=py1CVePvIdGGuASXi4D4BQ&ved=0CBsQ6AEwAA#v=onepage&q=orang%20rote%20asal%20dari%20seram&f=false).


 


Pada kenyataannya, bagi kebanyakan orang Rote sudah diketahui dari penuturan nenek moyang mereka kepada mereka bahwa Kota E‘ahun adalah ibukota Kerajaan Ringgou di Pulau Rote yang merupakan kota bersejarah bagi orang Rote. “Ringgou merupakan suatu tempat yang bersejarah bagi kami orang Rote, karena ditempat inilah mula-mula orang menyebut pulau kami: Pulau Rote. Seperti orang-orang lain di Rote, akupun mempunyai nama vam yakni: Rotte, ayahku Rotte, nenekku Rotte, ayah nenekku juga Rotte“, kata Susi Johana Rotte.


“Beratus-ratus tahun yang lalu, pulau kami belum memiliki nama. Nenek moyangku berasal dari Seram. Pada waktu itu hanya dialah satu-satunya orang disini yang bernama Rotte. Dia tinggal di Kerajaan Ringgou ini. Pada suatu hari dia berjalan di tepi pantai dan ditengah laut tampaknya olehnya sebuah kapal yang berbendera kebangsaan Portugis. Nenek moyangku itu kemudian berhenti sebab kapal Portugis itu makin lama makin menepi dan mengarahkan haluannya ke arah nenek moyangku. Tidak lama kemudian jangkar kapal dibuang dan kapten kapal itu turun akan menemui moyangku. Nenek moyangku menanti kedatangan kapten kapal itu di tepi pantai. Kapten kapal itu membawa buku catatan kecil dan sebatang pensil. Setelah mendekat, kapten kapal itu menanyakan nama pulau yang dikunjunginya pada waktu itu belum memiliki nama. Dia bertanya kepada nenek moyangku dalam bahasa Portugis. Namun, sang kapten kapal dan nenek moyangku tidak memahami percapakan satu sama lain, karena masing-masing memiliki bahasa pengantar berbeda. Nenek moyangku berpikir sang kapten kapal itu menanyakan namanya, sehingga nenek moyangku dengan tegas menjawab pertanyaannya dengan menyebut nama saya: “Rote!“. Sebaliknya, sang kapten kapal itu menyangka nenek moyangku memahami pertanyaannya yang telah dijawab oleh nenek moyangku dengan benar. Akibatnya, sang kapten kapal itu mencatat dalam buku catatan kecil yang dipegangnya dan menulis: “Rotte“. Sejak saat itu, nama “Rotte“ dibawa kemana-mana dan nama “Rotte“ dinamai untuk pulau kami. Nama itu makin tersebar luas dan tetaplah nama pulau kami: “Rotte“. Orang-orang asli orang Rote merangkaikan kata itu dengan kata: “Kale“, sehingga nama pulau ini menjadi “Rote do Kale“. Namun lama-kelamaan disingkat orang menjadi “Rotte“. Orang menuliskanya sekarang dengan sebuah huruf T saja, yaitu: “Rote“. Malah di luar pulau ini ucapannya sudah berubah menjadi: “Roti“. Nenek moyangku kemudian menurunkan nama turunan-turunannya menggunakan nama van: “Rotte“ sampai kepada aku sendiri sekarang ini“. Demikianlah penuturan Susi Johana Rotte tentang asal usul nama Pulau Rote yang telah kami kunjunginya di Kota E‘ahum menggunakan mobil dari Kota Ba’a (Gyanto, 1958: 80 – 81).


Penulis juga telah menulis tentang asal usul orang Rote di kompasiana.com yang isinya hampir mirip pada tanggal 24 September 2014 (http://sejarah.kompasiana.com/2014/09/24/asal-usul-nama-rote-dan-orang-rote-serta-silsilah-suku-suku-dan-marga-family-name-dengka-di-rote-ndao-ntt-676204.html).


 


Selanjutnya, terkait penuturan Susi Johana Rotte bahwa orang Rote berasal dari Seram telah dibuktikan kebenarannya secara ilmiah dalam disertasi doktor dari Ferdinand J. Ormeling (1955: 72) bahwa “According to local myths the Rotinese, like certain groups in Belu, originally came from Seram via Flores and other by way of Timor“, artinya menurut penuturan penduduk asli Rote, orang Rote berasal dari Seram yang datang berkelompok ke Rote melalui Flores dan Timor.

 

Pada kenyataannya, penduduk asli suku Alifuru di Pulau Seram (http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Seram)

 

 


143045630632947588
143045630632947588

merupakan leluhur orang Rote (http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Rote;

http://suku-dunia.blogspot.com/2014/11/sejarah-suku-rote-nusa-tenggara-timur.html).


14304572621666237275
14304572621666237275

Sedangkan, Kapal Victoria berhasil lolos dari amukan badai gelombang di Selat Pukuafu dan sempat menyinggahi Kota E’ahun di Kerajaan Ringgou dan dapat dipastikan bahwa Antonio Pigafetta yang turun dari Kapal Victoria dan membawa “buku catatan kecil dan sebatang pensil“ untuk menemui si Rote sesuai penuturan Susi Johana Rotte tersebut di atas. Kemudian Kapal Victoria melanjutkan pelayaran menyinggahi Sabu, lalu meneruskan pelayaran ke Tanjung Pengharapan di Afrika untuk kembali ke Spanyol. (http://edukasi.kompasiana.com/2015/04/28/nama-selat-pukuafu-bukan-berasal-dari-bahasa-rote-tapi-bahasa-spanyol--714707.html).


 


Tulisan ini sekaligus meluruskan tulisan Drs. Simon Arnold Julian Jacob yang KELIRU di media online (“Rote Pintar”: sajjacob.blogspot.com) berjudul: “Pulau Rote/Roti Memperoleh Namanya Dari Pelaut Portugis, Antonio Pigafetta (1522)” dan menulis bahwa: Antonio Pigafetta, asal Portugis rombongan Magelhaens dengan kapalnya “Victory” berlabuh dan bertemu dengan seorang nelayan tradisional bernama “Rotte” pada tanggal 30-04-1522, berlayar dari Filipina, meneruskan pelayarannya menuju Tanjung Harapan di Afrika Selatan, balik ke Eropa. Pada tanggal 30 April 1522, Antonio Pigafetta tiba di Pelabuhan Papela, Rote Timur, NTT. Dari Papela di Rote Timur, kemudian “Antonio Pigafetta melanjutkan pelayaran menyinggahi Pulau Ndao” (http://sajjacob.blogspot.com/2015/02/pulau-roteroti-memperoleh-namanya-dari.html).


Pada kenyataannya, BENAR SEKALI Antonio Pigafetta yang bertemu si “Rotte” pada tahun 1522, tetapi TIDAK BENAR SAMA SEKALI tulisan dari Drs. Simon Arnold Julian Jacob:


(1). Nama Kapal “Victory”, dan yang nama kapal yang paling benar adalah “VICTORIA”;


(2). Tanggal 30 April 1522, tidak benar sama sekali, karena penulis telah menulis dalam bukunya yang akan diluncurkan pada 2 Juli 2015 bahwa Kapal Trinidad dan Kapal VICTORIA menyeberang Selat Pukuafu yang ganas dan dahsyat pada Februari 1522 tepat musim Barat yang biasanya berlangsung dari Desember – Februari, sehingga tentu benar sekali penamaan Selat Pukuafu dari bahasa Spanyol, artinya “muntah terus-menerus”, karena "MABUK LAUT" (SEA SICK) (http://edukasi.kompasiana.com/2015/04/28/nama-selat-pukuafu-bukan-berasal-dari-bahasa-rote-tapi-bahasa-spanyol--714707.html).

 

 


 



 

 

Pada umumnya, bulan-bulan Desember, Januari dan Pebruari, adalah musim di belahan bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagian selatan. Pada saat itu terjadilah pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari Asia menuju Australia, yang dikenal di Indonesia dengan Angin Musim Barat (West Monsoon).

 

 

 

Sebaliknya, pada bulan-bulan Juli hingga Agustus, terjadi pusat tekanan tinggi di atas daratan Australia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Asia hingga Indonesia berhembuslah Angin Musim Timur (East Monsoon). Dua kali dalam setahun angin berganti arah. Dalam bulan Maret, angin barat masih berhembus tetapi kecepatan dan kemantapannya berkurang. Dalam bulan April dan Mei arah angin tidak menentu dan periode ini dikenal sebagai musim peralihan atau pancaroba awal tahun. Demikian pula terjadi dalam bulan Oktober dan November arah angin tidak menentu dan periode ini dikenal dengan musim pancaroba akhir tahun Kekuatan angin umumnya lemah pada musim-musim pancaroba dan karena itu laut pun umumnya tenang (Nontji, 2007: 48).

 

 

 


 


1430456195128425468
1430456195128425468

(3). Antonio Pigafetta TIDAK TIBA di Papela, Rote Timur, tetapi TIBA di Kota E’ahun di Kerajaan Ringgou sesuai dengan penuturan Susi Johana Rotte yang didukung dengan fakta adanya vam Rotte dari Nusak Ringgou dibawah ini hingga kini.


Terkait keberadaan vam Rotte di Rote Ndao, Johanis F. Adoe (2013: 106-107) dan Paul A. Haning (2013: 68 – 69) telah melaporkan bahwa Nusak Ringgou yang orang Rote Timur sering menyebutnya: “Rikou“ hingga kini terbagi atas empat rumpun (suku besar): (I) E’ahun (Raja); (II) Dato (Fetor); (III) Naldai; dan yang termasuk vam Susi Johana Rotte, yaitu (IV) Rote, terdiri dari 5 (lima) leo besar, yaitu:


    1. ROTELAMALU: Laij, Sado, Palla, Lanu, Rotte, Pada, Kolifai, Ka, Leo, Manuk, Pa’u, Mandoi, Tetema, Dik, Nitan, Koe, For a;

 


    1. ROTEANABAKO: Dedeo, Poek (Poyek), Rissi, Rote, Rij, Pati, Bonan, Bulan, Doi, Tupu, Baluta, Sadoh, Bessi;

 


    1. ROTEANALASE: Tokoh, Laifoi, Loi, Babalu, Sjioen;

 


    1. ROTEANAKAI: Anakai, Hoan, Ranoh, Ballo, Nes, Rili, Mada;

 


    1. ROTETUTUDILA: Dekuana, Lau, Amaia, Bolak, Bakuama, Bafi, Mores, Lio, Poy, Lerek, Meno, Leli, Mean.

       

      Berdasarkan catatan sejarah, sekitar tahun 1941, Gubernur Belanda dari Makasar mengunjungi Rote dan mengumpulkan semua raja dan tua-tua di Rote. Kemudian mereka disuruh oleh Gubernur untuk mencari nama lain yang lebih baik dari nama “Rote“. Kemudian mereka mencari nama lain dengan didasarkan pada fakta sejarah bahwa ketika Belanda dan Portugis datang ke Pulau Rote tidak pernah terjadi peperangan, sehingga mereka putuskan tidak menggunakan nama “Rote“ lagi, tetapi menjadi “Ne do Lino“, artinya “Aman, teduh dan tidak ada perang“. Namun nama „“Rote“ atau “Rote do Kale“ tetap saja digunakan dalam pantun ketika mereka menyambut kedatangan sang Gubernur Belanda seperti terkutip di bawah ini:

      Nai fai kia dalen

      Do nai ledo kia tein

      Ana lena ri mai

      Ma ana susi nafa mai

       

      Ana losa Ne do Lino o’en

      Nduku Rote do Kale daen

      Mai dongge ana ma Kale

      Ma mai mete ina falu Rote

       

      Hu ndia dei de anama Rot‘e‘ rama hena

      Ma ina fatu Kale raka bani

      Ela leo bena Merah Putih dadi neu tui le

      Ma Merah Putih dadi neu bau dano

       

      Fo ela leo bena

      Tui le naslake na hele dano

      Ma bau dano na saengga na hele le

      Fo pee‘ le leo babi ma ni o’e leu tama

      Artinya:

      Pada saat ini

      Di hari ini

      Ia mengarungi lautan

      Menembusi ombak dan gelombang

       

      Ia telah tiba ditanah Ne do Lino

      Ia telah tiba di tanah Rote do Dale

      Datang menjengguk semua piatu di Kale

      Datang melihat semua janda di Rote

      Karena itu anak-anak piatu Rote

      Dan wanita-wanita balu Kale berharap

      Supaya Merah Putih menjadi pohon perlindungan

      Dan Merah Putih menjadi sandaran

      Agar supaya

      Pohon perlindungan itu tetap berdiri pada tempatnya

      Dan tiang sandaran itu tetap tegak pada tempatnya

      Supaya bala dan rakyat, balu dan piatu dapat berlindung

      Dan bernaung (Gyanto, 1958: 106-107).

      Singkatnya, suku Rote dan Sabu seasal dengan suku Belu berasal dari Pulau Seram, dan khusus bahasa dan kebudayaan suku Rote sama dengan suku Belu, hanya suku Rote mempunyai unsur bahasa Melayu yang lebih kuat daripada suku Belu (http://janssen-sayangku.blogspot.com/2012/05/asal-usul-suku-belu.html), sehingga semua bersama orang Maluku yang kini berkebangsaan Indonesia, tetapi memiliki nenek moyang sama, berasal dari bangsa Yahudi ***

      Sumber kutipan:

      Y.L. Henuk dan L. Haning (2015). Rote Mengajar Punya Cerita. Penerbit Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang.

      *) Guru Besar di Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT, INDONESIA.

       

       

       

      PAUL A. HANING MENANGGAPI : “http://paulahaning.blogspot.co.id/2015/07/nenek-moyang-orang-rote-adalah-orang.html

       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun