Mohon tunggu...
Putri Rizky L.
Putri Rizky L. Mohon Tunggu... Lainnya - Joki Traktor di Tempat Magang

Penyuka random things. Doyan jalan-jalan meski belum jauh-jauh.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Cerita dari Sepiring Se'i Malam Ini

7 Oktober 2020   22:58 Diperbarui: 12 Oktober 2020   20:39 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepiring se'i sapi, tumis daun pepaya dan sambal lu'at (dokumen pribadi, 2020)

Malam hari ini, rupanya acara santap malam kami cukup berbeda dari biasanya. Kami kedatangan tamu yang mana beliau adalah partner saya selama 4,5 tahun belakangan, Bung Max Nggai. Tidak dinyana dan tanpa terencana, karena tidak ada pemberitahuan apapun sebelumnya. Hahaha. 

Sangat kebetulan, sore tadi Nenek menanak nasi dan merebus singkong. Bung Max yang berasal dari Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur ini penyuka singkong kelas berat, maka beliau menyarankan untuk membeli daging se'i sapi sebagai pelengkap santap malam yang cocok dengan singkong rebus.

Kebetulan, di dekat rumah saya ada resto se'i yang cukup terkenal dan baru buka. Jadilah kami membeli dan bungkus untuk santap bersama nenek di rumah.

Daging Se'i, Makanan Khas NTT yang Mulai Naik Daun

Daging se'i adalah daging asap khas Nusa Tenggara Timur yang diolah dengan proses yang unik. Daging segar dipotong memanjang seperti untaian, kemudian dibalur dengan garam, kemudian diikat dan digantung untuk menurunkan kadar air dari daging tersebut selama beberapa jam. 

Setelah digantung, daging mulai diasapi menggunakan kayu kosambi/kesambi (Schleichera oleosa). Daging ditata pada para-para di atas bara api yang membakar batang kosambi, lantas asap yang naik mematangkan daging. Bisa juga kumpulan daun kosambi ditutupkan pada bagian atas dan bawah daging. 

Hal ini dimaksudkan agar aroma khas semakin meresap pada daging, penyaring panas, dan mempertahankan warna daging. Proses ini juga memakan waktu cukup panjang. 

Setelah matang, daging se'i dipotong kecil-kecil sesuai selera dan dapat dimasak kembali bersama aneka saus atau hanya sebatas dihangatkan. 

Dewasa ini, daging se'i sudah berkembang mengikuti perkembangan zaman. Menurut keterangan Bung Max, daging yang biasanya diolah menjadi se'i adalah babi atau sapi, tetapi sekarang sudah dikembangkan juga se'i ayam dan ikan.

Saat menyantap se'i, hidangan pelengkapnya adalah tumis daun pepaya serta sambal lu'at. Sambal lu'at adalah sejenis sambal khas yang berisikan cabai, garam, bawang merah, irisan daun jeruk, dan perasan jeruk nipis yang segar. 

Kombinasi daging se'i asap yang wangi dan rasa yang khas, serta sedikit asin dari proses penggaraman, berpadu dengan tumis daun pepaya yang unik; sedikit pahit dan gurih, dengan tekstur daun pepaya yang renyah. Disertai dengan sensasi pedas asam segar dari sambal lu'at, jadi kenikmatan tersendiri ketika nasi hangat atau singkong rebus berkepul. 

Nikmat akan berlipat saat 4 kombinasi ini kita santap dengan tangan langsung. Saat ini, sangat mudah menjumpai restoran-restoran se'i di luar Nusa Tenggara Timur, terlebih di kota besar. Masing-masing mengembangkan menunya sesuai dengan target pasarnya. Se'i menjadi trend, karena memang cita rasanya yang khas menjadikannya otentik.

Menikmati se'i bersama nenek dan Bung Max (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Menikmati se'i bersama nenek dan Bung Max (Dokumentasi Pribadi, 2020)

Ceria Bercerita dengan Sepiring Se'i

Sepulang dari resto untuk take away, segera menuju kran air untuk cuci tangan dengan sabun adalah mutlak. Di meja kami gelar singkong rebus, nasi yang dimasak dengan potongan pandan, se'i sapi, tumis daun pepaya, sambal lu'at, saus lada hitam, dan beberapa perintilan pelengkap makan malam.

Irisan jeruk nipis yang diambil dari halaman rumah, tidak ketinggalan melengkapi. Malam ini kami santap malam bertiga, saya, Bung Max dan Nenek. 

Awalnya saya dan nenek bingung, bagaimana cara makannya. Ini kali pertama kami mencoba se'i. Bung Max tertawa renyah dan mencontohkan, makan pakai tangan, sambal, daging dan daun pepaya diaduk sedikit kemudian dijumput dengan nasi. Hahaha!

Sambil santap malam dengan santai, topik malam ini tidak jauh-jauh dari kampung kelahiran Bung Max, Ende. 

Budaya yang belum pernah kami dalami, salah satunya adalah mengenai perkara "Muku te'a ndore wara" yang bermakna seorang lelaki menikah dengan seorang perempuan dimana kakak dari perempuan tersebut belum menikah.

Dalam bahasa Ende-Lio, muku dapat diartikan dengan pisang, te'a ndore adalah masak mendahului, dan wara adalah sisir terbawah dan terbesar dalam tandan pisang. 

Wara di sini diumpamakan sebagai posisi kakak dari mempelai wanita yang didahului. Bila biasanya tandan pisang masak dari yang paling bawah, maka ini sisir yang di tengah atau di atas mendahului masaknya sisir yang berada di bawah.

Apabila terjadi kasus seperti ini, biasanya pihak kakak yang 'terlangkahi' ini mensyaratkan mahar tertentu sebagai 'kompensasi' atas hal tersebut. 

Tak terasa, hidangan malam kami tandas. Sepiring se'i mengantarkan kami merengkuh pengetahuan baru dari tanah Nusa Nipa. Keringat mengalir karena sajian hangat dan sambal pedas, serta decap nikmat beruntun bersama rasa syukur kami kepada Tuhan telah diperkenankan mencicipi sajian khas ini. 

Penyuka singkong kelas berat diraih oleh Bung Max Nggai dari Ende. (Dokumen Pribadi 2020)
Penyuka singkong kelas berat diraih oleh Bung Max Nggai dari Ende. (Dokumen Pribadi 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun