Atau, hingga upacara keagamaan seperti pengajian, misa, dan lainnya, lantas bila orang Jawa bilang "lek-lek'an" atau tradisi melek-melek, tidak tidur hingga fajar di lokasi kedukaan untuk sekedar anjangsana atau memanjatkan doa, terlebih bila yang bersangkutan meninggal pada sore atau malam hari.Â
Intinya apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban dari tuan rumah yang berduka, hingga prosesi pemakaman berlangsung, dan pascakedukaan di mana bersih-bersih lingkungan termasuk melepas tenda dan merapikan kursi masih dilakukan secara bersama-sama.Â
Dalam kasus publik figur dalam pengantar di atas, saya tidak tahu pasti seperti apa. Namun yang jelas, keluarga pasti berkumpul untuk saling mendukung dan menguatkan.
Hal ini berlaku bagi kita yang berempati penuh pada keluarga yang ditinggalkan. Namun tidak bagi segelintir orang di luar sana yang mungkin menjadikan hal tersebut bahan obrolan. Dalam layatan, masih sering terdengar pertanyaan sana-sini yang ditutupi dengan imbuhan kalimat-kalimat manis yang seolah menguatkan.
Beberapa waktu yang lalu saya sempat melayat salah seorang suami kolega. Beberapa pertanyaan menyelip dalam pikiran, namun saya tepis jauh-jauh. Saya menyalami beliau dan menyampaikan bela sungkawa. Itu saja.Â
Lantas beliau menatap saya dengan pandangan yang teduh meski beberapa bulir bening air mata beliau menetes, kemudian memeluk saya dan mengucapkan terima kasih. Dari terima kasih tersebut saya merasakan rasa sakit ditinggalkan-- dan cukup, beliau tidak perlu sakit terlalu dalam.
Hal lumrah yang sering saya lihat di lingkungan dan barangkali banyak yang tidak sadar:
Tetiba mendekati orang yang berduka, memegang bahu seolah merangkul dan berkata:
"aduh.. aku turut berduka. kenapa to, gimana kejadiannya? saya kok nggak tau....."
atau
Menyalami, lantas duduk di sebelah dan berkata: