Kebahagiaan Anang dan Ashanty mendapatkan anak, terusik karena teguran KPI. Lembaga ini menegur stasiun RCTI yang menayangkan siaran langsung kelahiran putri dua musisi terkenal ini. Siaran yang menghabiskan waktu sekitar 4jam ini dianggap merampas hak-hak publik.
BANYAK surat, email, dan SMS sampai ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Rata-rata pemirsa terganggu dengan siaran langsung RCTI pada Minggu, 14 Desember 2014. Tayangan live tersebut dianggap sudah di luar kewajaran. KPI pun akhirnya terpaksa menegur RCTI.
Dalam surat teguran itu KPI memberi penjelasan mengenai pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan ditayangkannya siaran reality show eksklusif proses persalinan Ashanty berjudul: ‘Anakku Buah Hati Anang & Ashanty' yang ditayangkan oleh stasiun RCTI pada tanggal 14 Desember 2014 mulai pukul 13.14 WIB.Program tersebut menayangkan prosesi persalinan Ashanty selama kurang lebih 4 (empat) jam.
KPI Pusat menilai siaran tersebut telah dimanfaatkan bukan untuk kepentingan publik. Program tersebut disiarkan dalam durasi waktu siar yang dinilai tidak wajar. Panjangnya durasi yang tidak wajar dianggap memaksa masyarakat untuk ikut menyaksikan tayangan tersebut.
Tayangan tersebut dianggap tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik utuh frekuensi. Ruang publik sendiri harus dijaga semua pihak. Oleh karena itu sudah sepantasnya agar lembaga penyiaran menggunakan frekuensi publik dengan bijaksana. Menurut KPI, acara seperti itu bisa saja disiarkan tapi ada azas kepantasan dan kewajarannya.
Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan kepentingan publik.Dalam surat teguran bernomor 2932/K/KPI/12/14 itu, KPI meminta RCTI untuk tidak menayangkan kembali serta tidak mengulangi kesalahan serupa untuk program sejenis lainnya di kemudian hari. Frekuensi adalah milik publik yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan masyarakat banyak. (www.KPI.go.id, 15/12; dan Tempo.co, Rabu, 17/12).
KPI Pusat memutuskan bahwa tindakan itu telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 11 ayat (1) serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 11 ayat (1). KPI Pusat memutuskan menjatuhkan sanksi administrasi berupa Teguran Tertulis.
KPI menyatakan bahwa peristiwa yang bersifat personal, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, merupakan acara yang tidak layak ditayangkan di televisi nasional dengan durasi berlebihan.
Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga memberikan teguran tertulis kepada Trans TV atas siaran eksklusif pernikahan presenter Raffi Ahmad dan Nagita Slavina pada tanggal 16 dan 17 Oktober 2014 (selama 2 hari). KPI menganggap program siaran "Janji Suci Raffi dan Nagita" tersebut juga telah dimanfaatkan bukan untuk kepentingan publik.
Dalam keterangan yang dimuat di situs web KPI, KPI menyoroti durasi siaran program selama dua hari berturut-turut. KPI menilai durasi itu tidak wajar serta tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik frekuensi. KPI menganggap hal itu sebagai pelanggaran atas perlindungan kepentingan publik.(Kompas.com, 17/10). Trans TV sudah pernah menampilkan segmen live eksklusif bertajuk "Menuju Janji Suci" di dua tayangan regulernya, Insert dan Show Imah, sepanjang 6-15 Oktober lalu.
RCTI yang ikut meramaikan resepsi perkawinan Raffi dan Gigi pun, mendapat teguran KPI yang sama. KPI mengeluarkan Teguran Tertulis untuk RCTI terkait penayangan Resepsi Pernikahan dalam program “Kamulah Takdirku” pada hari Minggu, 19 Oktober 2014, yang dimulai pukul 17.01 WIB.Program tersebut disiarkan dalam durasi waktu siar yang tidak wajar, hingga 7 jam. KPI menilai hal ini tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik frekuensi utuh. (www.kpi.go.id, 21/10).
RCTI sendiri memperoleh rating tinggi saat menyiarkan program resepsi pernikahan Raffi-Nagita, Minggu (19/10). RCTI memiliki beberapa program spesial jelang resepsi pernikahan seperti "DahSyatnya Pengantin Baru", "Kamulah Takdirku: Nagita dan Raffi" dan puncak acara yang tayang mulai pukul 17.02 hingga 00.10 WIB. Rangkaian program tersebut sukses membuat RCTI naik ke posisi 1 dengan share keseluruhan 29,5 (market ABC) dan 28,5 (market All).(www.wowkeren.com, 22/10).
RCTIsendiri tercatat meluncurkan tayangan bertajuk 'Jodohku' (20 Mei 2012), pada tahun 2012, saat resepsi pernikahan Anang Hermansyah dengan Ashanti selama tiga jam penuh.
Televisi sebagai Medium
Sebagai media informasi, televisi telah menjadi medium efektif dalam menjalankan fungsinya. Televisi, dari sebuah kotak sabun yang tadinya hanya menyajikan tayangan hitam putih, berangsur memberi manfaat banyak bagi khalayak. Tampil dengan sejuta warna dan fenomena. Meski banyak peran yang kemudian terusik karena kehadiran televisi.
Sebagai media informasi, televisi dipercaya sebagai media massa yang mampu menyebarluaskan berbagai informasi instan secara cepat. Kemampuannya dalam menampung informasi deras secara instan tak terkalahkan. Seperti informasi tentang peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia, bencana alam di Banjarnegara, gonjang-ganjing dunia politik, gemerlap dunia hiburan, sampai ke kemajuan teknologi. Bahkan sampai televisi yang berfungsi sebagai media jualan, Corporate Social Responsibility (CSR) dan promosi bagi perusahaan pun menyeruak. Semua nya tidak bisa tertandingi, televisi memang jagonya!.
Kalau kita menengok fungsi televisi sebagai media media massa, maka televisi telah menjalankan fungsi informatif, edukatif, dan rekreatif. Ia juga jadi sarana sosialisasi bagi nilai-nilai lama dan baru. Namun sejatinya, acara-acara televisi hanya berjalan pada fungsi rekreatif dan informatif. Apalagi, kedua fungsi ini nyata lebih mengejar rating dan lebih berorientasi pada profit. Demi perolehan kepemirsaan itulah, televisi telah menggadaikan idealisme dengan program-programnya.
Kita suka melupakan bahwa apa yang ditayangkan di televisi hanyalah gambar bergerak yang telah direkam oleh kamera dengan segala trik dan maknanya. Mungkin karena sifatnya yang bergerak sehingga dianggap sebagai realitas nyata. Padahal, pada dasarnya, TV itu tidak pernah menampilkan realitas tapi hanya sense of reality. Realitas buatan yang dikemas rapi sesuai keinginan pembuatnya.Jean Baudrillard menyebutnya sebagai hyper-reality, membesar-besarkan realitas hingga menjadi berbeda dengan realitas yang sesungguhnya.
Kekuatan televisi adalah dramatisasi dan sensasionalisasi. Realita yang diusungnya dianggap sebagai representasi dan realitas kehidupan secara menyeluruh. Pencitraan yang dilakukannya kadang dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sebuah realitas buatan yang dikemas rapi sesuai keinginan pembuatnya (reporter, produser, bahkan bisa jadi keinginan para pemilik TV).
Layar televisi mengubah persepsi kita tentang dimensi ruang dan waktu. Tak lagi sekadar sebentuk kotak sabun elektronik. Di dalam setiap detik visual yang ditayangkan merupakan hasil kreasi para profesionalnya. Gabungan dari berbagai profesi masuk di dalamnya. Kreasi mereka muncul dalam bentuk karya kreatif dalam layar televisi. Karya yang kerapkali menjadi sihir bagi pemirsanya.
Kekuatannya dalam mengkombinasikan gambar, suara, gerakan dan warna, telah mampu membius manusia. Sihir elektronik TV telah mempengaruhi pola sikap dan perilaku manusia. Bahkan tanpa sungkan masuk hingga ke ranah privat sekali pun. Sudah bukan rahasia lagi hal-hal yang tadinya tabu di televisi menjadi diumbar.
Media adalah juga agen konstruksi. Media mempunyai kekuatan untuk mengonstruksikan budaya dan menggiring masyarakat pada pemahaman tertentu. Oleh karenanya ia mampu membentuk identitas, citra, dan opini publik tertentu. Televisi akhirnya banyak dipilih sebagai media yang menawarkan pesona citra. Citra yang juga dicari-cari khalayak pemirsanya.
Televisi Domain Publik
Media sesungguhnya merupakan bagian dari ruang publik (public sphere) yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi, yang terkait dengan kepentingan orang banyak. Dalam konteks ruang publik, media selayaknya menjadi tempat penawaran berbagai gagasan. Ruang yang semestinya dijaga dari pengaruh dan kepentingan apapun.
Di Indonesia, regulasi terhadap media pada dasarnya dipilah menjadi 2 bagian besar, yaitu media yang tidak menggunakan ranah publik, dan media yang menggunakan ranah publik (public domain).(Yusuf, Iwan Awaluddin, https://bincangmedia.wordpress.com)
Media yang tidak menggunakan ranah publik contohnya seperti penerbitan buku, majalah, surat kabar, serta film. Regulasinya bersifat self regulatory. Khusus untuk pelanggaran jurnalistik berlaku UU Pers No 40 tahun 1999.Film yang dimaksud pun juga film-film lepas yang tidak disiarkan oleh televisi, karenanya film yang ditayangkan di televisi ada aturannya sendiri.
Sementara media yang menggunakan ranah publik, media ini dianggap menggunakan “barang milik publik” yaitu frekuensi. Televisi tidak bisa semena-mena memanfaatkan frekuensi untuk kepentingan sendiri. Ada ketentuan yang harus dipatuhinya. Di Indonesia, regulatornya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berhubungan dengan isi, dan Depkominfo berhubungan dengan penggunaan frekuensi dan izin penyiaran.
Penggunaan ranah publik (public domain) dalam dunia penyiaran regulasinya diatur sangat ketat (highly regulated). Hal ini karena selain media penyiaran menggunakan ranah publik (public domain), spektrum frekuensi yang tersedia pun juga terbatas (scarcity theory)
Prinsip scarcity (scarcity theory) menegaskan bahwa frekuensi nya sendiri berjumlah sangat terbatas. Frekuensi harus digunakan sebagaimana mestinya untuk kepentingan publik. Public domain juga bersifat menembus (pervasive presence theory), dapat leluasa memasuki ruang pribadi, meluas dan tersebar secara cepat ke ruang-ruang keluarga, tanpa harus diundang.
Begitu knop televisi on, maka semua yang dihasilkan media elektronik akan langsung menyeruak masuk ke dalam ranah privat. Televisi akhirnya terkesan memaksa pemirsanya untuk menerima apapun yang disiarkan. Tak ada dialog, meski tayangan berujud sampah sekalipun. Hal yang acapkali membuat profesional penyiaran tersandung kerikil.
Frekuensi adalah barang milik publik yang dipinjam sementara oleh lembaga penyiaran. Ia harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran publik yang luas. Ini jelas berarti frekuensi, digunakan untuk mendukung tayangan televisi, harus memenuhi hajat hidup orang banyak. Bukan untuk kepentingan perorangan atau kelompok.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan, ketika seseorang (dalam hal ini lembaga) telah diberikan frekuensi, maka sebenarnya ia telah diberikan hak monopoli oleh negara. Ia hanya bisa menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun tertentu. Kaitannya dengan bidang televisi, regulasinya berlaku ketentuan perundang-undangan di bidang penyiaran.
Lembaga Profit
Industri penyiaran kita semakin menampakkan watak komersialnya dengan perkembangan kepemilikan media. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan media televisi dimiliki beberapa korporasi perusahaan besar. Mereka tidak saja menguasai di ranah bisnis, tetapi juga masuk pada ranah politik. Beberapa diantaranya bahkan berada pada posisi puncak sejumlah partai politik.
Televisi telah menjadi pasar di mana berbagai ide, gagasan, dan nilai dalam skala lokal, nasional, dan global dikontestasikan sebagai ruang untuk memproduksi, mereproduksi, dan mendistribusikan citra. Termasuk citra suatu ideologi yang dikemas amat canggih untuk tujuan-tujuan politik tertentu.
Program televisi pun secara tidak sadar telah tumbuh mengikuti selera pasar. Program yang menduduki rating tertinggi menghasilkan nilai komersial yang tinggi pula. Strategi pun segera disusun tak peduli bila tayangan tersebut tidak mendidik masyarakat kita sekali pun. (Maria Hartiningsih, Kompas, 29/11/2009)
Media penyiaran sebagai salah satu medium ruang publik (public domain) telah bergeser menjadi commercial domain. Media penyiaran secara tidak sadar telah menetapkan bahwa program yang dibuat harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu menguntungkan (profitable), layak jual (saleable), dan mudah dipasarkan (marketable). Logika yang dianut adalah logika pasar karena tayangan sudah menjadi commercial domain.
Yang terjadi kemudian, terjadi pelencengan dari fungsi media semula. Fungsi hiburan menjadi bertambah (sangat) besar karena domain kapitalisme semu mengiming-iming televisi untuk meraup keuntungan. Akibatnya fungsi lainnya seperti fungsi pendidikan, informasi dan banyak peran ideal lainnya menjadi mengecil. Program televisi akhirnya terjebak untuk mengikuti selera pasar.
Inilah yang dikhawatirkan banyak pihak. Informasi yang disampaikannya tidak lagi bisa kredibel karena lebih pada pertimbangan keuntungan apa yang bisa diperoleh pemilik. Penguasaan frekuensi pun dikhawatirkan terjadi pelencengan. Publik tidak sepenuhnya mendapatkan keuntungan dari hak-hak yang dipunyainya, yaitu mendapatkan siaran yang bermanfaat. Program yang menduduki rating tertinggi dianggap akan menghasilkan nilai komersial yang tinggi. Bahkan, lama kelamaan feeling produser sendiri pun terasah, belajar bagaimana membuat acara berdasar rating dan laris dijual.
Banyak studi mengemukakan bahwa penyiaran swasta yang sifatnya profit oriented maka industri lembaga penyiaran swasta telah gagal dalam menyediakan informasi yang benar bagi masyarakat. Banyak lembaga swasta lebih mengeksploitasi keinginan daripada kebutuhan masyarakat. Analisi yang dikemukakan Douglas Kellner menunjukkan hal ini dalam sebuah kajian terhadap TV Amerika.
Kini, wajah industri penyiaran semakin nampak sebagai lembaga komersial daripada sebagai lembaga sosial dan budaya. Media melihat khalayak pemirsanya sebagai pasar dibandingkan sebagai publik atau warga negara. Media hanya akan menyediakan informasi dan hiburan yang “layak jual” meskipun program itu kontribusinya kecil bagi kemajuan berkehidupan warga negara.
Bukan Soal Pilihan
Bagaimanapun soal menonton atau tidak menonton adalah suatu pilihan. Hanya saja bagaimana kita bisa menonton tayangan yang aman dan tidak merugikan hak-hak publik untuk mendapatkan tayangan yang membangun. Terlebih dalam ranah publik, penontonnyalah yang memiliki hak agar frekuensi yang dipinjamkan ke stasiun digunakan sebaik-baiknya. Sudah selayaknya frekuensi dikembalikan dalam bentuk tayangan yang bermanfaat. Itulah esensinya!.
Anang sendiri nampak merasakan jengah.Apalagi banyak kontraversi terkait penayangan ini. Hal itu tercetus diucapkan Anang saat konferensi pers yang diadakan di RS Pondok Indah seusai bayinya dinyatakan lahir selamat.Dalam jumpa pers itu Anang menyilakan publik untuk mengganti saluran televisi jika tak berkenan menonton reality show tersebut.
"Aku terima banyak pihak yang enggak suka. Buat aku, ini dinamika. Buat yang senang, aku terima kasih sudah ikut doain. Dan, buat yang enggak suka, tinggal gantichannel," kata Anang. "Aku minta maaf jika ada pihak yang merasa enggak nyaman." (www.tempo.co, 16/12)
KPI keberatan atas pernyataan Anang ini. Menurut Lily Agatha Komisioner KPI, “Mungkin dia tidak paham kalau ini (reality show itu) memakai frekuensi milik publik. Nah, ranah publik itu tidak bisa dipakai suka-suka, publik pemilik mutlak frekuensi," papar Agatha sebagaimana dikutip Kompas.com. (17/12)
Bisa jadi secara pribadi Anang tak bersalah. Sebab, siaran itu bisa menjadi penyemangat untuk Anang dan keluarga besarnya saat menghadapi kegentingan proses Ashanty melahirkan. Namun, Anang semestinya mempertimbangkan opini publik yang bakal muncul setelah acara proses melahirkan istrinya disiarkan selama 4 jam.
Tak kurang Neil Postman (Postman, Neil, 1995), dalam bukunya berpendapat, salah satu karakter TV adalah tidak memberikan pemisah bagi para pemirsanya. Artinya, dari sisi penonton siapa saja dapat bebas menyaksikan siaran televisi. Termasuk di dalamya mematikan televisi saat tidak suka dengan acaranya.
Tayangan “Kelahiran anak Anang” atau “Perkawinan Raffi-Gigi” adalah tayangan yang berkehendak bebas bagi pemirsa. Namun penggunaan frekuensi publik untuk tayangan yang telah diatur dalam ketentuan penyiaran. Itulah yang seharusnya jadi pertimbangan stasiunnya.
Berdebat mempertentangkan kelayakan sebuah program televisi bagi khalayak tidak akan menyelesaikan persoalan. Persoalannya tentu bukan bagaimana soal kekuasaan penonton dalam menentukan atau menolak tayangan itu, melainkan ada pada hak dan kewajiban para pengelola televisi yang menggunakan spektrum frekuensi milik publik. Itulah sebabnya, diperlukan titik temu kesadaran dari banyak pihak agar pemirsa dan domain publik tidak jadi korban.
Sudah saatnya stasiun televisi berbenah orientasinya. Apalagi keseluruhan acaranya berjaya menggunakan public domain. Sudahkah televisi-televisi kita memberikan model perilaku yang baik? Adakah kebebasan yang dimiliki media sudah berorientasi pada kepentingan umum? Kesadaran kritis terhadap media memang harus terus digalakkan. Kecuali kita sudah punya televisi-televisi yang mampu menyajikan tayangan yang membangun pemirsanya.
Tak berlebihanlah bila KPI menurunkan “kartu kuning” untuk tayangan langsung kelahiran anak Anang-Ashanty termasuk Perkawinan Rafi-Gigi beserta variannya. Alasan yang dikemukakan KPI sendiri sangat kuat. KPI ingin menyelamatkan hak-hak publik untuk mendapatkan tayangan yang bermanfaat bagi khalayak.
Kasus ini menjadi pelajaran semua pihak. Baik pihak stasiun televisi, pihak iklan,dan juga pihak pelaku peristiwa, karena tidak bisa hanya berdasar pertimbangan alasan bisnis semata. Memang ukurannya adalah rating, share, tapi masyarakat kita sudah sangat cerdas.
Sebuah iklan promo muncul di lahyar televisi dalam 10 hari terakhir. “Saksikan, Rafii Ngunduh Mantu, 30 Desember 2014”. Acara yang tadinya akan disiarkan live dari pendopo Kota Bandung, dipindah ke alun-alun.Konon disiarkan secara tunda.Kita tunggu tayangannya. @ -- Priyo SM
*) Penulis adalah wartawan televisi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H