Televisi telah menjadi pasar di mana berbagai ide, gagasan, dan nilai dalam skala lokal, nasional, dan global dikontestasikan sebagai ruang untuk memproduksi, mereproduksi, dan mendistribusikan citra. Termasuk citra suatu ideologi yang dikemas amat canggih untuk tujuan-tujuan politik tertentu.
Program televisi pun secara tidak sadar telah tumbuh mengikuti selera pasar. Program yang menduduki rating tertinggi menghasilkan nilai komersial yang tinggi pula. Strategi pun segera disusun tak peduli bila tayangan tersebut tidak mendidik masyarakat kita sekali pun. (Maria Hartiningsih, Kompas, 29/11/2009)
Media penyiaran sebagai salah satu medium ruang publik (public domain) telah bergeser menjadi commercial domain. Media penyiaran secara tidak sadar telah menetapkan bahwa program yang dibuat harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu menguntungkan (profitable), layak jual (saleable), dan mudah dipasarkan (marketable). Logika yang dianut adalah logika pasar karena tayangan sudah menjadi commercial domain.
Yang terjadi kemudian, terjadi pelencengan dari fungsi media semula. Fungsi hiburan menjadi bertambah (sangat) besar karena domain kapitalisme semu mengiming-iming televisi untuk meraup keuntungan. Akibatnya fungsi lainnya seperti fungsi pendidikan, informasi dan banyak peran ideal lainnya menjadi mengecil. Program televisi akhirnya terjebak untuk mengikuti selera pasar.
Inilah yang dikhawatirkan banyak pihak. Informasi yang disampaikannya tidak lagi bisa kredibel karena lebih pada pertimbangan keuntungan apa yang bisa diperoleh pemilik. Penguasaan frekuensi pun dikhawatirkan terjadi pelencengan. Publik tidak sepenuhnya mendapatkan keuntungan dari hak-hak yang dipunyainya, yaitu mendapatkan siaran yang bermanfaat. Program yang menduduki rating tertinggi dianggap akan menghasilkan nilai komersial yang tinggi. Bahkan, lama kelamaan feeling produser sendiri pun terasah, belajar bagaimana membuat acara berdasar rating dan laris dijual.
Banyak studi mengemukakan bahwa penyiaran swasta yang sifatnya profit oriented maka industri lembaga penyiaran swasta telah gagal dalam menyediakan informasi yang benar bagi masyarakat. Banyak lembaga swasta lebih mengeksploitasi keinginan daripada kebutuhan masyarakat. Analisi yang dikemukakan Douglas Kellner menunjukkan hal ini dalam sebuah kajian terhadap TV Amerika.
Kini, wajah industri penyiaran semakin nampak sebagai lembaga komersial daripada sebagai lembaga sosial dan budaya. Media melihat khalayak pemirsanya sebagai pasar dibandingkan sebagai publik atau warga negara. Media hanya akan menyediakan informasi dan hiburan yang “layak jual” meskipun program itu kontribusinya kecil bagi kemajuan berkehidupan warga negara.
Bukan Soal Pilihan
Bagaimanapun soal menonton atau tidak menonton adalah suatu pilihan. Hanya saja bagaimana kita bisa menonton tayangan yang aman dan tidak merugikan hak-hak publik untuk mendapatkan tayangan yang membangun. Terlebih dalam ranah publik, penontonnyalah yang memiliki hak agar frekuensi yang dipinjamkan ke stasiun digunakan sebaik-baiknya. Sudah selayaknya frekuensi dikembalikan dalam bentuk tayangan yang bermanfaat. Itulah esensinya!.
Anang sendiri nampak merasakan jengah.Apalagi banyak kontraversi terkait penayangan ini. Hal itu tercetus diucapkan Anang saat konferensi pers yang diadakan di RS Pondok Indah seusai bayinya dinyatakan lahir selamat.Dalam jumpa pers itu Anang menyilakan publik untuk mengganti saluran televisi jika tak berkenan menonton reality show tersebut.
"Aku terima banyak pihak yang enggak suka. Buat aku, ini dinamika. Buat yang senang, aku terima kasih sudah ikut doain. Dan, buat yang enggak suka, tinggal gantichannel," kata Anang. "Aku minta maaf jika ada pihak yang merasa enggak nyaman." (www.tempo.co, 16/12)
KPI keberatan atas pernyataan Anang ini. Menurut Lily Agatha Komisioner KPI, “Mungkin dia tidak paham kalau ini (reality show itu) memakai frekuensi milik publik. Nah, ranah publik itu tidak bisa dipakai suka-suka, publik pemilik mutlak frekuensi," papar Agatha sebagaimana dikutip Kompas.com. (17/12)
Bisa jadi secara pribadi Anang tak bersalah. Sebab, siaran itu bisa menjadi penyemangat untuk Anang dan keluarga besarnya saat menghadapi kegentingan proses Ashanty melahirkan. Namun, Anang semestinya mempertimbangkan opini publik yang bakal muncul setelah acara proses melahirkan istrinya disiarkan selama 4 jam.
Tak kurang Neil Postman (Postman, Neil, 1995), dalam bukunya berpendapat, salah satu karakter TV adalah tidak memberikan pemisah bagi para pemirsanya. Artinya, dari sisi penonton siapa saja dapat bebas menyaksikan siaran televisi. Termasuk di dalamya mematikan televisi saat tidak suka dengan acaranya.
Tayangan “Kelahiran anak Anang” atau “Perkawinan Raffi-Gigi” adalah tayangan yang berkehendak bebas bagi pemirsa. Namun penggunaan frekuensi publik untuk tayangan yang telah diatur dalam ketentuan penyiaran. Itulah yang seharusnya jadi pertimbangan stasiunnya.
Berdebat mempertentangkan kelayakan sebuah program televisi bagi khalayak tidak akan menyelesaikan persoalan. Persoalannya tentu bukan bagaimana soal kekuasaan penonton dalam menentukan atau menolak tayangan itu, melainkan ada pada hak dan kewajiban para pengelola televisi yang menggunakan spektrum frekuensi milik publik. Itulah sebabnya, diperlukan titik temu kesadaran dari banyak pihak agar pemirsa dan domain publik tidak jadi korban.
Sudah saatnya stasiun televisi berbenah orientasinya. Apalagi keseluruhan acaranya berjaya menggunakan public domain. Sudahkah televisi-televisi kita memberikan model perilaku yang baik? Adakah kebebasan yang dimiliki media sudah berorientasi pada kepentingan umum? Kesadaran kritis terhadap media memang harus terus digalakkan. Kecuali kita sudah punya televisi-televisi yang mampu menyajikan tayangan yang membangun pemirsanya.
Tak berlebihanlah bila KPI menurunkan “kartu kuning” untuk tayangan langsung kelahiran anak Anang-Ashanty termasuk Perkawinan Rafi-Gigi beserta variannya. Alasan yang dikemukakan KPI sendiri sangat kuat. KPI ingin menyelamatkan hak-hak publik untuk mendapatkan tayangan yang bermanfaat bagi khalayak.
Kasus ini menjadi pelajaran semua pihak. Baik pihak stasiun televisi, pihak iklan,dan juga pihak pelaku peristiwa, karena tidak bisa hanya berdasar pertimbangan alasan bisnis semata. Memang ukurannya adalah rating, share, tapi masyarakat kita sudah sangat cerdas.
Sebuah iklan promo muncul di lahyar televisi dalam 10 hari terakhir. “Saksikan, Rafii Ngunduh Mantu, 30 Desember 2014”. Acara yang tadinya akan disiarkan live dari pendopo Kota Bandung, dipindah ke alun-alun.Konon disiarkan secara tunda.Kita tunggu tayangannya. @ -- Priyo SM