"Iya. Wewe itu membawa anak-anak yang bermain terlalu lama atau kurang perhatian. Tapi tenang, masih bisa dipulangkan. Kalian harus menyiapkan sesajen."
"Apa yang harus kami siapkan, Mbah?" tanya Pak Sardi.
"Kembang tujuh rupa, bakmi godog, dan segelas kopi pahit. Letakkan di bawah pohon besar di ujung desa, tempat dia terakhir terlihat. Lakukan segera," perintahnya.
Setelah sesajen diletakkan sesuai arahan, mereka pulang. Malam itu terasa begitu panjang. Namun sekitar tengah malam, terdengar suara gaduh dari dapur.
"Pak! Ada suara di dapur!" jerit Bu Warti.
Pak Sardi bergegas menuju dapur dengan membawa lampu minyak. Betapa terkejutnya ia melihat Suroto sedang mematah-matahkan dinding gedhek dapur.
"Suroto! Kamu dari mana saja?" tanya Pak Sardi dengan nada campuran marah dan lega.
Namun, Suroto hanya menoleh dengan tatapan kosong. Bibirnya bergerak, tetapi tak ada suara yang keluar.
"To, jawab, Nak! Jangan bikin Ibu takut!" Bu Warti berlari memeluk anaknya, tapi Suroto tetap diam.
Baru keesokan paginya, Suroto mulai bisa bicara. Ia duduk di ruang tengah bersama kedua orang tuanya. Dengan suara pelan, ia menceritakan apa yang terjadi.
"Tadi malam, aku diajak seorang ibu. Rambutnya panjang, wajahnya seram, dan... dan buah dadanya besar sekali," kata Suroto sambil gemetar.