Mohon tunggu...
Priyono Mardisukismo
Priyono Mardisukismo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Redaktur www.fixen.id

Seorang kakek yang telah pensiun dari hiruk pikuk dunia, banyak menulis fiksi di FIXEN (https://fixen.id) Bantu saya dengan komentar dan penilaian atas tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Monolog: Amukan Banjir

16 Januari 2025   07:20 Diperbarui: 15 Januari 2025   21:02 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Suara gemuruh air terdengar. Cahaya lampu panggung berkilauan, menciptakan efek ombak. Seorang tokoh berperan sebagai banjir, dengan pakaian menyerupai aliran air yang liar. Ia berbicara dengan nada penuh amarah dan pembelaan.)

Aku adalah banjir!
Aku datang mengalir deras, menggenangi jalan-jalan,
merobohkan rumah, melumatkan harapan.
Kalian marah padaku?
Kalian menyalahkanku?

(Dia menatap tajam ke arah penonton, suaranya menggema.)

Jangan pura-pura suci di hadapanku.
Aku hanyalah air.
Air yang dulu kalian puja karena memberi kehidupan.
Aku hanyalah sungai,
yang dulu kalian datangi dengan tenang,
menimba kesejukan dari tubuhku.

Tapi lihat apa yang telah kalian lakukan!
Sungai yang dulu aku arungi dengan bangga,
kini penuh sampah dan racun.
Tanah yang dulu memelukku dengan hangat,
kini dilapisi beton,
membuatku terpental, kehilangan arah.

(Dia melangkah maju, gerakannya seperti aliran yang deras.)

Kalian potong pohon-pohon penopangku,
membiarkan air hujan yang lembut
menjadi aliran liar tanpa kendali.
Kalian bangun gedung-gedung di atas alurku,
menganggap aku tak punya hak untuk mengalir.

Dan sekarang?
Sekarang kalian menjerit,
menudingku sebagai biang kerok kehancuran.
Apa kalian lupa?
Aku hanya melakukan tugas alamku.
Aku mencari jalan,
karena kalian menutup semua jalan yang seharusnya menjadi milikku.

(Nada suaranya berubah, lebih tegas dan penuh kemarahan.)

Jangan salahkan aku!
Aku adalah hasil dari keserakahan kalian.
Kalian yang menolak untuk hidup berdampingan dengan alam.
Kalian yang memaksa bumi menanggung lebih dari yang mampu ia pikul.

(Dia mengangkat tangannya, seolah menunjukkan kehancuran yang telah terjadi.)

Lihatlah rumah-rumah yang tenggelam,
jalan-jalan yang luluh lantak.
Itu bukan dosa air,
itu dosa kalian sendiri!

(Dia menatap ke arah penonton, suaranya penuh peringatan.)

Aku tak ingin datang dengan amarah.
Aku tak ingin menjadi perusak.
Tapi selama kalian terus menggali jurang antara manusia dan alam,
aku akan terus datang,
menghancurkan apa yang kalian bangun,
mengajarkan bahwa alam tak bisa dilawan,
hanya bisa dihormati.

(Dia mundur perlahan, suaranya meredup namun penuh dengan peringatan.)

Ini bukan ancaman,
ini adalah kenyataan.
Jangan salahkan banjir.
Salahkan diri kalian.

(Lampu meredup, suara gemuruh air perlahan menghilang, meninggalkan panggung kosong yang sunyi.)

Bagaimana, Yono? Monolog ini cukup kuat untuk menggambarkan amukan sekaligus peringatan dari banjir?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun