(Suara gemuruh air terdengar. Cahaya lampu panggung berkilauan, menciptakan efek ombak. Seorang tokoh berperan sebagai banjir, dengan pakaian menyerupai aliran air yang liar. Ia berbicara dengan nada penuh amarah dan pembelaan.)
Aku adalah banjir!
Aku datang mengalir deras, menggenangi jalan-jalan,
merobohkan rumah, melumatkan harapan.
Kalian marah padaku?
Kalian menyalahkanku?
(Dia menatap tajam ke arah penonton, suaranya menggema.)
Jangan pura-pura suci di hadapanku.
Aku hanyalah air.
Air yang dulu kalian puja karena memberi kehidupan.
Aku hanyalah sungai,
yang dulu kalian datangi dengan tenang,
menimba kesejukan dari tubuhku.
Tapi lihat apa yang telah kalian lakukan!
Sungai yang dulu aku arungi dengan bangga,
kini penuh sampah dan racun.
Tanah yang dulu memelukku dengan hangat,
kini dilapisi beton,
membuatku terpental, kehilangan arah.
(Dia melangkah maju, gerakannya seperti aliran yang deras.)
Kalian potong pohon-pohon penopangku,
membiarkan air hujan yang lembut
menjadi aliran liar tanpa kendali.
Kalian bangun gedung-gedung di atas alurku,
menganggap aku tak punya hak untuk mengalir.
Dan sekarang?
Sekarang kalian menjerit,
menudingku sebagai biang kerok kehancuran.
Apa kalian lupa?
Aku hanya melakukan tugas alamku.
Aku mencari jalan,
karena kalian menutup semua jalan yang seharusnya menjadi milikku.
(Nada suaranya berubah, lebih tegas dan penuh kemarahan.)
Jangan salahkan aku!
Aku adalah hasil dari keserakahan kalian.
Kalian yang menolak untuk hidup berdampingan dengan alam.
Kalian yang memaksa bumi menanggung lebih dari yang mampu ia pikul.