Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof.Abdul Mu'ti, M.Ed mewacanakan akan memberlakukan kembali Ujian Nasional (UN) bagi siswa-siswi di tingkatan SD,SMP,SMA sederajat. Hal ini menjadi diskursus serius di kalangan pemerhati pendidikan dan masyarakat luas. Dalam beberapa kesempatan di hadapan awak media Prof. Mu'ti menyampaikan bahwa secara konsep Ujian Nasional sudah siap. Tetapi tidak akan diberlakukan di tahun 2025. Ujian Nasional akan mulai diberlakukan pada tahun pelajaran 2025/2026.
Beliau menegaskan bahwa Ujian Nasional tersebut nantinya akan berbeda format dengan yang selama ini dilaksanakan. Serta hanya sekolah-sekolah terakreditasi saja yang boleh melaksanakan Ujian Nasional. Saya secara pribadi sebagai seorang guru menjadi penasaran. Format baru yang dimaksud itu nantinya akan seperti apa?
Sudah banyak kajian dan temuan jika UN dimaksudkan sebagai standar penentu kelulusan maka hal itu akan mengundang banyak masalah. Fakta historis mengatakan demikian. Lalu akankah kita kembali pada situasi dan kondisi di masa lalu dimana dengan adanya UN justru menimbulkan begitu banyak polemik dan masalah di lingkup pendidikan kita?
Pengalaman UN Semasa SMP
Mengikuti perkembangan isu terkait kebangkitan Ujian Nasional membawa ingatan saya kembali pada dekade awal 2000-an. Dimana saat itu saya masih berstatus sebagai seorang pelajar SMP dan SMA negeri. Di tahun 2003 saya mengikuti Ujian Nasional di tingkat SMP. Masih membekas dalam ingatan bagaimana siswa kelas 3 SMP saat itu begitu sibuknya mempersiapkan diri untuk menghadapi UN. Saat sudah memasuki semester 2 kami para siswa mengikuti jam tambahan. Ada istilah jam ke nol dan les. Semuanya diselenggarakan oleh pihak sekolah.
Jam ke nol merupakan sebuah jam tambahan di luar KBM normal yaitu jam tambahan pelajaran yang dimulai lebih awal dari jam KBM normal. Di SMP saya saat itu KBM dimulai pukul 07.00 WIB dan selesai pukul 13.30 WIB. Pada saat mengikuti jam ke nol kami para siswa kelas 3 akan lebih awal menerima pelajaran yaitu dimulai pukul 06.30 WIB. Dan siang harinya dilanjutkan dengan jam tambahan lagi sampai pukul 14.30 WIB.
Jam tambahan semacam itu memang tidak dilaksanakan setiap hari dan tidak untuk seluruh mata pelajaran. Pelaksanaannya hanya tiga hari dalam seminggu dan berlaku untuk tiga mapel yang di-UN-kan : Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Uniknya saat itu kelulusan dipatok dengan nilai UN murni 3,00 untuk ketiga mata pelajaran tersebut. Jika ada salah satu dari ketiga mata pelajaran itu mendapat nilai di bawah passing grade 3,00 maka siswa dinyatakan tidak lulus.
Pada waktu itu masih berlaku kurikulum 1994 dengan berbagai suplemen (penyempurnaan). Para guru dan kepala sekolah sangat serius bahkan cenderung tegang dalam mempersiapkan UN tersebut. Berkali-kali para guru dan kepala sekolah menyampaikan bahwa sekolah kami harus bisa lulus 100% dengan nilai baik. Karena untuk menjaga nama baik sekolah mengingat SMP saya termasuk salah satu "SMP favorit" di lingkup kabupaten. Bentuk soal UN saat itu adalah pilihan ganda dikerjakan pada selembar kertas lembar jawab komputer (LJK) dengan menggunakan pensil 2B khusus untuk ujian.
Pengalaman UN Semasa SMA
Di tahun 2006 kembali saya mengikuti Ujian Nasional di tingkat SMA jurusan IPS. Saat itu masih berlaku kurikulum 1994 untuk terakhir kali. Adik angkatan saya sudah menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (Kurikulum 2006). Saya masih ingat untuk jurusan SMA IPS juga berlaku tiga mata pelajaran yang di-UN-kan yaitu Bahasa Indonesia, Ekonomi, dan Bahasa Inggris. Batas kelulusan dinaikkan dari 3,00 menjadi 3,50 berlaku pada nilai UN murni untuk tiga mapel tersebut.
Pihak SMA mengambil kebijakan yang serupa dengan SMP saya dulu: memberlakukan jam tambahan. Bedanya pihak SMA tidak memberlakukan jam nol. Tapi jam tambahan siang untuk tiga mapel tersebut dengan durasi waktu yang lebih lama. Normalnya kegiatan belajar mengajar di SMA masa itu dimulai dari pukul 07.00 WIB dan berakhir pukul 14.00 WIB. Akan tetapi karena terdapat jam tambahan tadi kami para siswa harus pulang lebih sore yaitu pukul 15.30 WIB. Juga UN masih dilaksanakan dengan berbasis kertas LJK dengan ragam soal pilihan ganda. Belum menggunakan sistem komputerisasi seperti era belakangan.
Sebagai seorang siswa ada banyak perasaan yang berkecamuk dalam hati dan pikiran saat itu. Memang terasa ada tekanan lebih saat akan mengikuti UN baik di tingkat SMP maupun SMA. Orangtua dan guru juga berulangkali mewanti-wanti agar bisa lulus ujian dengan nilai baik. Karena dengan mendapat nilai ujian yang baik maka akan mempermudah di jenjang berikutnya.
Saya merasa beruntung bisa bersekolah di lembaga pendidikan yang cukup kredibel. Sehingga budaya belajar menjadi sebuah kewajiban dan bahkan tuntutan. Jika mendapatkan nilai jelek rasanya malu setengah mati. Malu dengan guru ataupun dengan sesama teman. Terjadi persaingan sehat diantara para siswa.
Relevansi UN di Era Sekarang
Pertanyaan lebih lanjut adalah masihkah Ujian Nasional (UN) relevan di masa sekarang? Situasi dan kondisi serta tantangan jaman sudah banyak berubah. Sejak menteri pendidikan yang baru mewacanakan kembali memberlakukan UN langsung mengundang reaksi pro kontra di tengah masyarakat. Beberapa pihak menilai kebijakan menghidupkan kembali UN adalah sebuah langkah mundur. Dan mengkritik jika menteri pendidikan sekarang memiliki pola pikir lama yang sudah usang. Beda dengan menteri pendidikan sebelumnya yang dianggap lebih visioner dengan kebijakan penghapusan UN.
Saya pribadi secara prinsip tidak setuju jika UN yang akan diberlakukan kembali pola dan teknisnya masih sama dengan UN semasa saya sekolah dulu : sebagai penentu kelulusan. Karena hal ini akan mengundang banyak kecurangan di lapangan. Kembali teringat semasa SMA dulu saat UN berlangsung pengawas ujian saat itu adalah guru dari SMA lain. Ia duduk di depan dan asyik ikut mengerjakan soal ujian bersama kami para siswa. Selama mengerjakan soal ia asyik mengetik handphone sambil sesekali tersenyum. Tampak ia sibuk sekali mengerjakan soal sembari mengetik di HP. Entah apa yang ia ketik. Saya melihat dan dalam hati berprasangka jika ia sedang mengirim jawaban untuk para siswanya sendiri di sekolah.
Artinya bahwa indikasi kecurangan dan penyimpangan semacam ini bukanlah isapan jempol belaka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebocoran soal dan kunci jawaban marak terjadi pada masa diberlakukannya UN dulu. Belum lagi bentuk kecurangan atau masalah lain.
Maka saya bertanya-tanya jika UN akan dihidupkan kembali dengan format baru yang seperti apa? Sebuah sistem evaluasi hendaknya dibangun dengan lebih sistematis dan komprehensif. Maka jika UN akan kembali diadakan sebagai instrumen penentu kelulusan relevansinya menjadi patut dipertanyakan. Mengingat dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma berpikir dalam melihat perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendekatan secara lebih holistik dan berfokus pada pengembangan kompetensi siswa merupakan arah yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sudut pandang semacam ini berimplikasi pada pemahaman bahwa penilaian terhadap siswa tidak hanya dilakukan melalui ujian tertulis saja, seperti UN. Tetapi juga melalui berbagai bentuk asesmen lainnya seperti proyek, portofolio, dan observasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa UN sebagai penentu kelulusan telah kehilangan relevansinya di Indonesia. Sistem pendidikan yang lebih baik adalah sistem yang mampu mengembangkan potensi setiap siswa secara optimal.
Tawaran Pemikiran UN Format Baru
Apapun itu menteri pendidikan dasar dan menengah sudah mewacanakan akan kembali menghidupkan UN di tahun pelajaran 2025/2026. Secara detail bagaimana format dan teknisnya akan dijelaskan belakangan. Beberapa hal berikut setidaknya bisa menjadi pertimbangan dan tawaran pemikiran jika kelak UN akan diberlakukan kembali :
1. Tidak berfokus pada hafalan
Salah satu kritik terbesar terhadap UN selama ini adalah terlalu menekankan pada hafalan materi. Soal-soal seringkali menuntut siswa untuk mengingat fakta-fakta secara mendetail, tanpa menguji pemahaman konsep yang lebih dalam. Ke depan hendaknya soal-soal harus dirancang untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, analisis, dan pemecahan masalah.
2. Mengurangi tekanan psikologis siswa
UN seringkali menjadi sumber stres yang sangat besar bagi siswa, guru, dan orang tua. Persiapan yang intensif dan tekanan untuk meraih nilai tinggi dapat berdampak negatif pada kesehatan mental siswa. Perlu kiranya mengurangi bobot UN dalam penentuan kelulusan, serta memberikan dukungan psikologis yang memadai bagi siswa.
3. Penilaian yang lebih komprehensif
UN hanya mengukur sebagian kecil dari kemampuan siswa. Keterampilan seperti kreativitas, komunikasi, dan kerja sama tim yang sangat penting dalam dunia kerja, jarang sekali diuji dalam UN. Maka dalam merancang sistem evaluasi baru sebagai penentu kelulusan perlu kiranya menggabungkan UN dengan berbagai bentuk penilaian lain, seperti portofolio, presentasi, dan proyek kelompok. Tidak semata menjadikan nilai UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa dari satuan pendidikan.
4. Pemerataan akses pendidikan
Tidak semua siswa memiliki akses yang sama terhadap sumber belajar yang berkualitas. Kondisi sekolah yang berbeda-beda juga mempengaruhi kesiapan siswa dalam menghadapi UN. Maka menjadi tugas sekolah dan pemerintah untuk menyediakan sumber belajar yang merata dan melakukan program-program pemerataan pendidikan.
5. Persoalan biaya
Pelaksanaan UN membutuhkan biaya yang cukup besar, baik dari pemerintah maupun dari sekolah dan siswa. Hendaknya  dicari alternatif solusi yang lebih efisien dan hemat biaya, misalnya dengan memanfaatkan teknologi informasi. Dengan memanfaatkan teknologi informasi selain dapat menekan biaya juga sebagai alternatif solusi untuk menghindari kebocoran soal dan kunci jawaban. Integritas dan kejujuran dalam pelaksanaan UN juga patut untuk diperhatikan.
Jika UN kembali diadakan, penting untuk memastikan bahwa UN berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan, bukan sebagai sumber stres bagi siswa. Dengan perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang tepat, UN dapat menjadi instrumen yang bermanfaat bagi pengembangan pendidikan di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan perbaikan yang mendasar pada aspek-aspek yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian, UN dapat menjadi instrumen yang lebih relevan dan bermakna bagi siswa dan pendidikan di Indonesia. Kita tunggu bagaimana UN dengan paradigma baru nantinya akan dilaksanakan. Tetap semangat. Maju terus pendidikan Indonesia. Salam blogger persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H