Pihak SMA mengambil kebijakan yang serupa dengan SMP saya dulu: memberlakukan jam tambahan. Bedanya pihak SMA tidak memberlakukan jam nol. Tapi jam tambahan siang untuk tiga mapel tersebut dengan durasi waktu yang lebih lama. Normalnya kegiatan belajar mengajar di SMA masa itu dimulai dari pukul 07.00 WIB dan berakhir pukul 14.00 WIB. Akan tetapi karena terdapat jam tambahan tadi kami para siswa harus pulang lebih sore yaitu pukul 15.30 WIB. Juga UN masih dilaksanakan dengan berbasis kertas LJK dengan ragam soal pilihan ganda. Belum menggunakan sistem komputerisasi seperti era belakangan.
Sebagai seorang siswa ada banyak perasaan yang berkecamuk dalam hati dan pikiran saat itu. Memang terasa ada tekanan lebih saat akan mengikuti UN baik di tingkat SMP maupun SMA. Orangtua dan guru juga berulangkali mewanti-wanti agar bisa lulus ujian dengan nilai baik. Karena dengan mendapat nilai ujian yang baik maka akan mempermudah di jenjang berikutnya.
Saya merasa beruntung bisa bersekolah di lembaga pendidikan yang cukup kredibel. Sehingga budaya belajar menjadi sebuah kewajiban dan bahkan tuntutan. Jika mendapatkan nilai jelek rasanya malu setengah mati. Malu dengan guru ataupun dengan sesama teman. Terjadi persaingan sehat diantara para siswa.
Relevansi UN di Era Sekarang
Pertanyaan lebih lanjut adalah masihkah Ujian Nasional (UN) relevan di masa sekarang? Situasi dan kondisi serta tantangan jaman sudah banyak berubah. Sejak menteri pendidikan yang baru mewacanakan kembali memberlakukan UN langsung mengundang reaksi pro kontra di tengah masyarakat. Beberapa pihak menilai kebijakan menghidupkan kembali UN adalah sebuah langkah mundur. Dan mengkritik jika menteri pendidikan sekarang memiliki pola pikir lama yang sudah usang. Beda dengan menteri pendidikan sebelumnya yang dianggap lebih visioner dengan kebijakan penghapusan UN.
Saya pribadi secara prinsip tidak setuju jika UN yang akan diberlakukan kembali pola dan teknisnya masih sama dengan UN semasa saya sekolah dulu : sebagai penentu kelulusan. Karena hal ini akan mengundang banyak kecurangan di lapangan. Kembali teringat semasa SMA dulu saat UN berlangsung pengawas ujian saat itu adalah guru dari SMA lain. Ia duduk di depan dan asyik ikut mengerjakan soal ujian bersama kami para siswa. Selama mengerjakan soal ia asyik mengetik handphone sambil sesekali tersenyum. Tampak ia sibuk sekali mengerjakan soal sembari mengetik di HP. Entah apa yang ia ketik. Saya melihat dan dalam hati berprasangka jika ia sedang mengirim jawaban untuk para siswanya sendiri di sekolah.
Artinya bahwa indikasi kecurangan dan penyimpangan semacam ini bukanlah isapan jempol belaka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebocoran soal dan kunci jawaban marak terjadi pada masa diberlakukannya UN dulu. Belum lagi bentuk kecurangan atau masalah lain.
Maka saya bertanya-tanya jika UN akan dihidupkan kembali dengan format baru yang seperti apa? Sebuah sistem evaluasi hendaknya dibangun dengan lebih sistematis dan komprehensif. Maka jika UN akan kembali diadakan sebagai instrumen penentu kelulusan relevansinya menjadi patut dipertanyakan. Mengingat dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma berpikir dalam melihat perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendekatan secara lebih holistik dan berfokus pada pengembangan kompetensi siswa merupakan arah yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sudut pandang semacam ini berimplikasi pada pemahaman bahwa penilaian terhadap siswa tidak hanya dilakukan melalui ujian tertulis saja, seperti UN. Tetapi juga melalui berbagai bentuk asesmen lainnya seperti proyek, portofolio, dan observasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa UN sebagai penentu kelulusan telah kehilangan relevansinya di Indonesia. Sistem pendidikan yang lebih baik adalah sistem yang mampu mengembangkan potensi setiap siswa secara optimal.
Tawaran Pemikiran UN Format Baru
Apapun itu menteri pendidikan dasar dan menengah sudah mewacanakan akan kembali menghidupkan UN di tahun pelajaran 2025/2026. Secara detail bagaimana format dan teknisnya akan dijelaskan belakangan. Beberapa hal berikut setidaknya bisa menjadi pertimbangan dan tawaran pemikiran jika kelak UN akan diberlakukan kembali :