Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hendra Brudy, Bendahara BOS, dan Lingkungan Toxic

26 Desember 2024   19:05 Diperbarui: 26 Desember 2024   19:05 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sekitar seminggu terakhir nama Hendra Brudy beserta konten-kontennya berseliweran di beranda sosial media saya. Saya mengenalnya sebagai sosok guru konten kreator cerdas, unik, dan inspiratif. Ia kerap mengunggah konten seputar dunia pendidikan, metode ice breaking, pembelajaran inovatif, serta review buku-buku pelajaran untuk guru dan orangtua. Oleh karena melihat salah satu video pendeknya di platform tiktok tentang review sebuah buku akhirnya saya tertarik membeli buku tersebut untuk kepentingan pembelajaran. Hendra sangat aktif di banyak platform sosial media terutama tiktok dan Instagram. Tercatat ia memiliki lebih dari 900 ribu follower di tiktok dan 600 ribu follower di Instagram.

Belakangan sosok Hendra Brudy menjadi sorotan dan ramai diperbincangkan di ruang publik karena keputusannya yang cukup berani: mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai guru PNS. Hendra merupakan sosok guru PNS di SD Negeri 49 Paria, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Ia alumni Universitas Negeri Makasar (UNM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Setelah menempuh kuliah selama 3 tahun 10 bulan Hendra lulus dengan predikat Cumlaude. Di tahun 2017 Hendra lulus dengan IPK 3,99. Nyaris sempurna dan luar biasa.

Dengan sederet pencapaian brilian guru muda berusia 29 tahun itu menjadi pertanyaan banyak pihak, mengapa ia sampai mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai guru PNS? Dimana banyak orang justru berlomba-lomba mendambakan pekerjaan tersebut? Apakah betul desas-desus selama ini bahwa lingkungan toxic dan tugas tambahan sebagai bendahara BOS adalah penyebab utamanya?

Lingkungan Toxic

Hendra memang tidak secara spesifik menjelaskan alasan pengunduran dirinya. Dalam unggahan di akun tiktok pun ia hanya menyampaikan bahwa lebih penting menyayangi diri sendiri baik secara mental dan fisik. Beberapa kali ia juga kerap mengunggah video dengan menyinggung persoalan guru SD merangkap tugas tambahan sebagai bendahara BOS. Dan dinilainya itu sebagai persoalan tersendiri yang sangat membebani. Dua poin penting terkait lingkungan toxic dan bendahara BOS menjadi menarik untuk dibahas.

Secara sederhana lingkungan toxic dapat diartikan sebuah lingkungan dengan pengaruh negatif yang sangat dominan dibandingkan dengan pengaruh positifnya. Lingkungan semacam ini mengakibatkan seseorang menjadi tidak aman, tidak nyaman, dan tertekan secara emosional. Lingkungan toxic ditandai dengan banyaknya interaksi negatif, perilaku tidak sehat, atau tekanan berlebihan. Ini bisa terjadi di berbagai tempat seperti di tempat kerja, sekolah, keluarga, atau lingkungan pertemanan.

Sekolah sejatinya merupakan lembaga pendidikan sekaligus tempat bekerja. Sekolah diisi oleh banyak orang dengan beragam sifat, karakter, dan pembawaan. Keberagaman itu menjadi sebuah keniscayaan oleh karena memang secara fitrah manusia diciptakan dengan berbeda-beda. Tidak ada manusia yang betul-betul sama sepenuhnya. Meskipun ia kembar identik pasti ada perbedaan. Rambut boleh sama hitamnya tetapi isi kepala bisa berbeda.

Perbedaan karakter semacam inilah jika tidak disikapi dengan bijak dan dewasa maka akan menjadi sebuah persoalan. Tetapi menjadi rumit karena kedewasaan dalam bersikap juga belum tentu dimiliki oleh setiap orang. Memang guru selayaknya sebagai manusia terdidik hendaknya sudah selesai dengan persoalan sikap kedewasaan. Tetapi manusia tetaplah manusia. Ia makhluk yang penuh dengan kekurangan dan kealpaan.

Pola hubungan sosial yang sehat perlu dikembangkan dimanapun dan kapanpun. Tidak terkecuali di lingkungan sekolah. Bagaimana menciptakan dominasi baik menjadi tugas utama seorang pimpinan di sekolah. Mendorong agar tercipta iklim sosial sejuk dan kondusif. Setidaknya dimulai dari teladan pemimpin terlebih dahulu. Agar kebaikan-kebaikan itu pada akhirnya menjalar dan menular pada seluruh komponen sekolah. Jika dominasi baik itu sudah tercipta kiranya budaya pada lingkungan toxic akan tereleminasi dengan sendirinya. Dengan terciptanya lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif produktivitas dalam bekerja akan meningkat.

Lalu apakah sekolah sebagai institusi pendidikan serta merta menjadi terbebas dari pola hubungan sosial toxic diantara para penghuninya? Ini patut kita renungkan kembali. Bukankah selama ini fenomena bullying, kekerasan, dan penyimpangan lain juga kerap terjadi di sekolah?

Ketimpangan status antara guru senior dan yunior, guru ASN dan guru nonASN, guru penggerak dan nonpenggerak dan beragam atribut kasta sosial lainnya nyata adanya di dunia keguruan kita. Diakui atau tidak itu semua menimbulkan gap, menimbulkan jarak dalam dunia kedinasan guru. Sehingga menjadi alarm waspada sebagai pertanda kerawanan untuk semua pihak di sekolah agar tidak terjerembab pada pola hubungan sosial toxic.

Bendahara BOS di SD

Hari-hari ini kita selalu bicara tentang gagasan besar menyangkut transformasi pendidikan menuju Indonesia emas tahun 2045. Semua pihak para pemangku kepentingan di berbagai level sibuk bicara dan merancang gagasan besar yang gilang gemilang itu. Tetapi jika melihat fakta di lapangan, menjadi tanda tanya besar apakah transformasi pendidikan yang digadang-gadang itu benar-benar akan berproses dengan baik pada situasi dan kondisi seperti sekarang ini?

Hendra Brudy adalah guru SD negeri berstatus PNS yang merangkap tugas tambahan sebagai bendahara BOS. Saya asumsikan ia merangkap tugas tambahan itu. Karena dalam beberapa postingan di akun tiktok ia kerap berbicara lantang terkait keluhan-keluhan seputar tugas tambahan sebagai bendahara BOS. Saya melihat dan membaca terkait apa yang disampaikan Hendra sedikit banyak ada benarnya.

Sejak dulu pun saya beranggapan bahwa tugas tambahan sebagai bendahara BOS juga operator sekolah tidak selayaknya dibebankan pada guru. Apalagi sudah menjadi rahasia umum jika jumlah guru di banyak SD negeri itu terbatas. Normalnya antara 10 sampai dengan 15 orang personil. Dari personil yang ada juga belum tentu semuanya mau dan mampu untuk memikul dua tugas tambahan tersebut. Ketidakmauan dan ketidakmampuan itu dilatarbelakangi oleh banyak penyebab. Bisa karena faktor usia, kurang kecakapan dalam hal teknisnya, atau karena memang para guru ini sudah paham dan mengerti bagaimana rumitnya dua pekerjaan tersebut. Sehingga mereka enggan untuk menjadi operator sekolah atau bendahara BOS.

Saya pribadi menganggap dua pekerjaan itu sejatinya bukanlah menjadi ranah dan urusan para guru. Karena guru tidak dipersiapkan untuk menjadi tenaga teknis pendataan apalagi tenaga teknis keuangan. Sejak duduk dibangku kuliah sebagai calon guru mereka dibekali dengan ilmu dan metode untuk mendidik dan mengajar anak. Bukan ilmu untuk mengerjakan laporan keuangan, pelaporan pajak sekolah, dan semacamnya.

Maka jika kembali pada gagasan besar tentang transformasi pendidikan yang kita idamkan bersama hendaknya persoalan semacam ini mesti pelan-pelan pemerintah benahi terlebih dahulu. Pendidikan secara nasional akan maju jika banyak sekolah yang maju dan bermutu. Pembenahan pada level sekolah menjadi kuncinya.

Sederhananya pemerintah harus berani mengambil kebijakan untuk merekrut tenaga teknis pendataan dan keuangan untuk diangkat menjadi seorang ASN dan ditempatkan di sekolah-sekolah negeri khususnya SD negeri. Agar para gurunya tidak lagi terbebani dengan tugas tambahan sebagai bendahara BOS dan operator sekolah karena memang itu bukanlah porsi seorang guru. Dua pekerjaan itu menjadi porsi tenaga tata usaha atau tenaga administrasi sekolah.

Saya yakin dan percaya di tengah kondisi sempitnya lapangan kerja dan sulitnya mencari pekerjaan di republik ini jika pemerintah membuka lowongan seleksi calon ASN untuk formasi tenaga teknis bendahara BOS dan operator sekolah maka akan mengundang antusiasme masyarakat. Tentukan saja segala persyaratannya dengan kualifikasi ijazah minimal sarjana administrasi perkantoran, sarjana keuangan, atau yang linier dengan itu. Pasti masyarakat yang memenuhi kualifikasi akan berbondong-bondong untuk mendaftar dan mengikuti seleksi tersebut.

Dalam obrolan santai dengan banyak rekan operator dan bendahara BOS SD kami sering berkelakar, bahwa menjadi guru SD bukanlah persoalan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mengajar dan mendidik anak yang berat. Tetapi tugas tambahan sebagai operator sekolah dan atau bendahara BOS itulah yang lebih membebani pikiran dan bikin stress. Seketika kami tertawa yang sebetulnya adalah menertawakan kekonyolan sendiri. Ya karena hanya bisa mengeluh saja tanpa bisa berbuat apa-apa.

Dari kisah Hendra Brudy kita bisa mengambil pelajaran bahwa ternyata memang banyak tenaga guru muda, potensial, dan kreatif serta inovatif terkadang justru menjadi terpojok di lingkungan sosialnya. Oleh karena memang tidak semua lingkungan sosial yang ada itu baik untuk tumbuh kembangnya kepribadian seorang guru. Dengan bahasa ekstrim Alfian Bahri seorang guru konten kreator kritis pernah berkata, dalam suatu ruangan yang isinya orang-orang gila justru orang yang waras akan dianggap gila. Pernyataan nylekit tapi cukup mewakili bagaimana bahayanya suatu lingkungan toxic.

Ending dongeng, pada menteri pendidikan yang baru terselip sebuah harapan agar melahirkan kebijakan yang mengena bagi para guru. Kebijakan yang fungsional dan bukan sensasional. Di era sebelumnya sering kita menggembar-gemborkan merdeka belajar bagi guru dan siswa tetapi gurunya terbelenggu dengan tugas-tugas tambahan yang membuatnya tidak merdeka di dalam mengajar.

Besar harapan agar nantinya di era kepemimpinan Prof. Abdul Mu'ti, M.Ed ini akan dibuka rekruitmen bagi tenaga teknis untuk di tempatkan di sekolah negeri khususnya SD negeri. Agar guru kembali pada khittah sebagai pendidik dan pengajar. Sebagai kaum intelektual pencerdas bangsa. Tetap semangat. Salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun