Sangat tepat jika bulan November diidentikkan dengan bulan pahlawan. Di bulan ini terdapat peringatan hari besar nasional yang keduanya berhubungan dengan pahlawan. Pertama, tanggal 10 November diperingati sebagai hari pahlawan. Peringatan ini dilatarbelakangi oleh peristiwa heroik pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Kedua, tanggal 25 November yang diperingati sebagai hari guru nasional. Ini dilatarbelakangi dengan terbentuknya organisasi guru terbesar di Indonesia yaitu PGRI yang lahir pada tanggal 25 November 1945.
Kata pahlawan identik dengan perjuangan mulia, pengorbanan, dan kehormatan. Dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) kata pahlawan diartikan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero. Guru ada di dalamnya.
Peringatan hari guru nasional dari tahun ke tahun selalu dirayakan dengan hingar bingar. Berbagai macam kegiatan dilaksanakan mulai dari pemasangan bendera, kegiatan upacara, kegiatan perlombaan dan kegiatan-kegiatan lain seperti seminar atau kegiatan pemberian penghargaan atas prestasi guru. Di tengah begitu banyaknya isu terkait dunia keguruan dan pendidikan kita meriahnya kegiatan peringatan hari guru nasional memberikan pertanda bahwa minat dan ketertarikan orang untuk menjadi guru di Indonesia ternyata masih sangat tinggi.
Dewasa ini di sekolah-sekolah sudah mulai bermunculan guru dari generasi z (guru gen z). Generasi z adalah mereka yang lahir antara tahun 1997-2012. Para guru muda ini menjadi penerus para pendahulunya yang telah banyak memasuki masa pensiun alias purna tugas. Bukan hanya sang guru tetapi siswa juga banyak yang berasal dari kalangan generasi z. Dimana siswa dari kalangan gen z ini diidentikkan dengan mereka yang sedari lahir sudah akrab dengan teknologi, cenderung cepat bosan, dan bermental strawberry alias rapuh.
Tantangan para guru dalam mendidik generasi z dan generasi alpha sangatlah besar. Juga fenomena kekerasan dan penyimpangan perilaku dalam dunia pendidikan sudah menjadi konsumsi publik. Pembaca masih ingat peristiwa kasus yang menimpa ibu guru Supriyani? Begitu menyedot perhatian publik. Ibu guru Supriyani mengajar anak dari generasi alpha. Anak kelas satu sekolah dasar dengan usia sekitar 8 tahun.
Perlunya Rasa Aman
Saya membayangkan di momentum peringatan hari guru nasional tahun 2024 ini Supriyani pulang kembali ke rumah. Dan datang ke sekolah dengan disambut peluk mesra para muridnya dan jabat tangan rekan sejawat oleh karena rasa kasih sayang dan solidaritas yang kuat. Supriyani seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan merupakan guru honorer yang telah mengabdi selama 16 tahun. Di tengah kasus yang membelitnya dimana ia dituduh melakukan pemukulan kepada siswanya sendiri inisial (D) yang berusia 8 tahun itu, Supriyani kemarin Rabu (20/11) mengikuti tes online seleksi ASN PPPK untuk formasi guru SD.
Saat ini perkara yang menimpa Supriyani telah ditangani untuk diadili di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan, yang akan kembali dilaksanakan sidang putusan pada Senin 25 November 2024. Tepat bersamaan dengan peringatan hari guru nasional tahun 2024 dilaksanakan Supriyani kembali bersidang.
Perjuangan menjadi guru honorer selama 16 tahun bukanlah hal yang enteng. Tidak kalah heroik dengan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Ada begitu banyak suka duka, pahit getir, dan pengorbanan di dalamnya. Tentu Supriyani dan para guru lainnya di republik ini pantas menyandang gelar pahlawan. Bukan pahlawan tanpa tanda jasa tetapi pahlawan insan cendekia.
Tetapi para pahlawan dalam dunia pendidikan ini kini menghadapi berbagai macam persoalan dan tantangan serius. Meskipun kita semua sepakat bahwa kemajuan sebuah negara sangat dipengaruhi oleh kemajuan sistem pendidikannya tetapi fakta di lapangan sering berkata lain. Merdeka belajar dan program kebijakan merdeka yang lain-lain itu belum mampu memerdekakan guru dari rasa takut dan was-was akan keselamatan dan keamanannya dalam melaksanakan tugas. Supriyani adalah contoh nyata akan hal itu.
Sang pahlawan insan cendekia yang kerap dipuja dan dielu-elukan saat peringatan hari pendidikan nasional dan hari guru nasional kerap bersedih hati dan merasa pilu karena tersandung masalah hukum. Persoalan perlindungan hukum terhadap guru hanya satu poin masalah dari begitu banyak hal yang perlu dibereskan oleh menteri pendidikan kita yang baru.
Isu Kesejahteraan
Berawal dari pidato adik kandung presiden Prabowo, Hasyim Djojohadikusumo beberapa bulan lalu. Saat ramai-ramainya musim kampanye Pilpres, Hasyim Djojohadikusumo mengucapkan janji manis di hadapan para hadirin. Bahwa jika Probowo-Gibran terpilih menjadi pasangan presiden dan wakil presiden maka pemerintahan Prabowo-Gibran akan meningkatkan kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan tambahan penghasilan sebesar dua juta rupiah setiap bulan dihitung sejak bulan Oktober.
Luar biasa janji manis yang diucapkan dengan nada mengglegar, sontak disambut dengan riuh tepuk tangan para hadirin. Menjadi angin segar di tengah isu minimnya kesejahteraan guru di republik ini. Memang tidak dipungkiri guru di era sekarang sudah mendapatkan tambahan penghasilan berupa tunjangan profesi guru tetapi juga harap diingat bahwa guru di Indonesia beragam. Ada guru di sekolah negeri, ada pula guru di sekolah swasta. Ada guru ASN, ada pula guru honorer (non ASN). Tunjangan profesi guru belum mengkover semua lapisan guru itu. Belum lagi jika dibandingkan dengan gaji guru di negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia misalnya, agaknya kita masih dalam kategori jauh panggang dari api.
Sehingga isu peningkatan kesejahteraan guru yang diucapkan oleh Hasyim Djojohadikusumo itu menjadi sangat populis di kalangan guru dan pendidik. Sekarang Prabowo sudah menjadi presiden dan tengah menjalankan roda pemerintahan republik ini. Guru dan semua insan pendidikan menanti realisasi janji manis yang diucapkan oleh tim kampanyenya. Jangan sampai janji tinggal janji, hanya sebatas gula-gula untuk meraih simpati dan mengeruk suara semata.
Kita merindukan hari-hari dimana guru tidak hanya disanjung dan dipuja sebagai pahlawan dengan berbagai acara seremoni tahunan yang meriah itu. Tetapi lebih jauh kita menantikan saat-saat guru ditempatkan dalam posisi mulia sesuai dengan derajat dan harkat martabatnya sebagai kaum intelektual dan pencerdas bangsa. Hari-hari dimana guru merasa bahagia melaksanakan tugas keprofesiannya tanpa dibebani dengan masalah menumpuknya administrasi, riskannya tersandung kasus hukum, kesejahteraan yang belum tercukupi untuk menafkahi anak dan keluarganya serta masa-masa dimana guru fokus untuk melaksanakan tugas pokok mendidik dan mengajar tanpa harus nyambi atau merangkap tugas tambahan sebagai bendahara BOS atau operator sekolah. Tugas tambahan yang sebetulnya tidak ada urusannya dengan perihal mendidik dan mengajar siswa.
Guru yang bahagia juga akan menularkan energi kebahagiaannya pada siswa, pada sekolah dan masyarakat. Banyaknya kasus kekerasan dan demo terkait kejelasan nasib guru, serta keluhan-keluhan terkait administrasi dan double job di sosial media bisa menjadi indikasi bahwa guru di Indonesia belum mencapai taraf bahagia. Mencapai derajat merdeka seperti yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara dalam bukunya. Bahwa definisi merdeka adalah selamat raganya bahagia jiwanya. Memang jargon yang digaungkan pemerintah selama ini di era Nadiem Makarim adalah merdeka belajar, merdeka mengajar, kampus merdeka dan merdeka-merdeka yang lain itu. Tapi kembali perlu kita renungkan, betulkah guru sudah mencapai filosofi manusia merdeka seperti yang diucapkan Ki Hajar Dewantara berpuluh-puluh tahun lalu?
Semoga bisa menjadi renungan dan refleksi dalam peringatan Hari Guru Nasional tahun 2024. Selamat berbahagia bagi para guru semua. Tetap berjuang dan salam blogger persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H