Sang pahlawan insan cendekia yang kerap dipuja dan dielu-elukan saat peringatan hari pendidikan nasional dan hari guru nasional kerap bersedih hati dan merasa pilu karena tersandung masalah hukum. Persoalan perlindungan hukum terhadap guru hanya satu poin masalah dari begitu banyak hal yang perlu dibereskan oleh menteri pendidikan kita yang baru.
Isu Kesejahteraan
Berawal dari pidato adik kandung presiden Prabowo, Hasyim Djojohadikusumo beberapa bulan lalu. Saat ramai-ramainya musim kampanye Pilpres, Hasyim Djojohadikusumo mengucapkan janji manis di hadapan para hadirin. Bahwa jika Probowo-Gibran terpilih menjadi pasangan presiden dan wakil presiden maka pemerintahan Prabowo-Gibran akan meningkatkan kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan tambahan penghasilan sebesar dua juta rupiah setiap bulan dihitung sejak bulan Oktober.
Luar biasa janji manis yang diucapkan dengan nada mengglegar, sontak disambut dengan riuh tepuk tangan para hadirin. Menjadi angin segar di tengah isu minimnya kesejahteraan guru di republik ini. Memang tidak dipungkiri guru di era sekarang sudah mendapatkan tambahan penghasilan berupa tunjangan profesi guru tetapi juga harap diingat bahwa guru di Indonesia beragam. Ada guru di sekolah negeri, ada pula guru di sekolah swasta. Ada guru ASN, ada pula guru honorer (non ASN). Tunjangan profesi guru belum mengkover semua lapisan guru itu. Belum lagi jika dibandingkan dengan gaji guru di negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia misalnya, agaknya kita masih dalam kategori jauh panggang dari api.
Sehingga isu peningkatan kesejahteraan guru yang diucapkan oleh Hasyim Djojohadikusumo itu menjadi sangat populis di kalangan guru dan pendidik. Sekarang Prabowo sudah menjadi presiden dan tengah menjalankan roda pemerintahan republik ini. Guru dan semua insan pendidikan menanti realisasi janji manis yang diucapkan oleh tim kampanyenya. Jangan sampai janji tinggal janji, hanya sebatas gula-gula untuk meraih simpati dan mengeruk suara semata.
Kita merindukan hari-hari dimana guru tidak hanya disanjung dan dipuja sebagai pahlawan dengan berbagai acara seremoni tahunan yang meriah itu. Tetapi lebih jauh kita menantikan saat-saat guru ditempatkan dalam posisi mulia sesuai dengan derajat dan harkat martabatnya sebagai kaum intelektual dan pencerdas bangsa. Hari-hari dimana guru merasa bahagia melaksanakan tugas keprofesiannya tanpa dibebani dengan masalah menumpuknya administrasi, riskannya tersandung kasus hukum, kesejahteraan yang belum tercukupi untuk menafkahi anak dan keluarganya serta masa-masa dimana guru fokus untuk melaksanakan tugas pokok mendidik dan mengajar tanpa harus nyambi atau merangkap tugas tambahan sebagai bendahara BOS atau operator sekolah. Tugas tambahan yang sebetulnya tidak ada urusannya dengan perihal mendidik dan mengajar siswa.
Guru yang bahagia juga akan menularkan energi kebahagiaannya pada siswa, pada sekolah dan masyarakat. Banyaknya kasus kekerasan dan demo terkait kejelasan nasib guru, serta keluhan-keluhan terkait administrasi dan double job di sosial media bisa menjadi indikasi bahwa guru di Indonesia belum mencapai taraf bahagia. Mencapai derajat merdeka seperti yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara dalam bukunya. Bahwa definisi merdeka adalah selamat raganya bahagia jiwanya. Memang jargon yang digaungkan pemerintah selama ini di era Nadiem Makarim adalah merdeka belajar, merdeka mengajar, kampus merdeka dan merdeka-merdeka yang lain itu. Tapi kembali perlu kita renungkan, betulkah guru sudah mencapai filosofi manusia merdeka seperti yang diucapkan Ki Hajar Dewantara berpuluh-puluh tahun lalu?
Semoga bisa menjadi renungan dan refleksi dalam peringatan Hari Guru Nasional tahun 2024. Selamat berbahagia bagi para guru semua. Tetap berjuang dan salam blogger persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H