Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Tidak Boleh Memaksa Siswa untuk Belajar, Benarkah Demikian?

17 November 2024   15:12 Diperbarui: 17 November 2024   15:22 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beragam teori menjelaskan bahwa guru sebaiknya tidak memaksa siswanya untuk belajar. Hal ini didasarkan pada sebuah prinsip bahwa belajar seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan sehingga hasil dari proses belajar itu sendiri akan lebih membekas dan bermakna bagi pribadinya. Juga didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa keberhasilan sebuah proses belajar sangat bergantung pada motivasi belajar tiap individu.

Akan lebih baik jika motivasi belajar itu datang dari internal, dari dalam diri si pembelajar. Karena motivasi yang datang dari dalam diri akan mendorong niatan dan gairah untuk belajar dengan lebih langgeng. 

Niatan dan semangat itu akan lebih terjaga dalam durasi lama jika didasarkan pada sebuah motivasi intrinsik. Pun ketika dalam proses belajar si pembelajar mengalami hambatan dan kesulitan, diyakini dengan motivasi intrinsik itulah akan menumbuhkan jiwa pantang menyerah dan tekun dalam menghadapi dan mengatasi hambatan. Sehingga pada akhirnya si pembelajar ini berhasil mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Tetapi pertanyaan kemudian muncul. Apabila si pembelajar (dalam konteks sekolah : siswa) tidak mengerti alasan mengapa ia harus belajar, tidak mengerti tujuan ia belajar di sekolah, bahkan lebih jauh tidak memahami apa gunanya belajar suatu konsep keilmuan, tidakkah diperbolehkan guru memaksanya untuk tetap belajar?

Ambil satu contoh kejadian. Di Indonesia seperti dijelaskan dalam banyak literatur bahwa untuk mengajarkan konsep membaca, menulis, dan berhitung adalah dilakukan pada saat anak minimal berusia 7 tahun. Artinya saat anak masuk kelas satu SD di situlah anak mulai diperkenalkan dengan konsep membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

Persoalan kemudian muncul. Bagaimana jika anak usia 7 tahun atau kelas satu SD tetapi tidak mau diajarkan caranya membaca, menulis, dan berhitung dengan beragam alasan? Entah karena faktor semacam keterlambatan belajar, lemah pikiran, kemalasan atau faktor-faktor lainnya. Haruskah guru membiarkannya oleh karena guru tidak boleh memaksa siswanya untuk belajar? Padahal membaca, menulis, dan berhitung adalah keterampilan dasar yang harus dikuasai oleh setiap orang untuk mempelajari keilmuan lainnya. Dan kita sepakat bahwa tidak boleh ada satupun siswa yang buta aksara.

Kritisisme Dalam Melihat Suatu Konsep

Belajar adalah kewajiban setiap manusia. Bahkan lebih jauh belajar merupakan kebutuhan. Entah tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, semua orang wajib untuk belajar. Belajar apapun itu yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya. Maka muncullah konsep long life education atau konsep belajar sepanjang hayat. Bahwa manusia selama hidupnya haruslah memiliki jiwa gemar belajar.

Guru tidak boleh memaksa siswanya untuk belajar. Setuju! Tetapi dengan sedikit catatan (disclaimer) kalau siswa itu sudah menyadari dan mengerti arti pentingnya belajar. Mengerti bahwa mempelajari sesuatu itu memang bermanfaat untuk dirinya. Lalu dengan sendirinya ia belajar tanpa harus disuruh apalagi dipaksa. Ia bebas memilih dengan metode dan media apa ia akan belajar. Konsep diferensiasi sebagai bentuk kemerdekaan dalam belajar masuk di sana.

Permasalahan akan timbul jika siswa tidak mengerti tujuan ia belajar. Ingat siswa yang datang ke sekolah tidak serta merta memiliki motivasi murni semata ingin belajar. Banyak siswa yang datang ke sekolah dengan motivasi selain itu. Maka jadilah siswa di sekolah dengan berbagai macam perangainya. Kenakalan atau kebandelan seperti perundungan (bullying), perilaku membolos, kabur di tengah jam pelajaran, tawuran, balapan liar, atau perilaku-perilaku menyimpang yang lain patut kita duga karena tidak adanya motivasi untuk bersungguh-sungguh dalam belajar. Tidak ada motivasi untuk belajar dengan serius.

Berbagai macam penelitian juga sudah menjelaskan bahwa motivasi belajar anak-anak kita sekarang ini mengalami penurunan yang serius. Salah satu dipicu oleh banyaknya anak-anak yang kecanduan gadget dan sosial media. Khususnya menonton aplikasi video berdurasi pendek ternyata juga bisa memicu penurunan kemampuan kognitif otak. Kemampuan kognitif otak menurun berakibat motivasi belajar dan daya konsentrasi juga rendah. Selengkapnya di sini.

Jadi tidak mengherankan jika di era sekarang banyak keluhan dari guru atau orangtua terkait anaknya yang sulit untuk disuruh belajar. Sekedar mengerjakan tugas atau PR dari gurunya. Banyak siswa yang sulit fokus dalam pembelajaran. Atau siswa mengerjakan tugas dan PR tetapi tidak sampai selesai. Akibatnya tujuan pembelajaran yang diharapkan tidak tercapai secara optimal.

Lalu muncul sebuah tawaran solusi dengan konsep pembelajaran sosial emosional dan pembelajaran berdiferensiasi yang menyenangkan. Bahwa guru di dalam mengajar harus terlebih dahulu mengidentifikasi suasana kebatinan dan sosial emosional siswanya agar pembelajaran yang nantinya dilaksanakan bisa efektif dan menyenangkan. Tetapi akar persoalannya adalah bukan pada diri sang guru yang tidak bisa merancang pembelajaran dengan baik. Lebih pada persoalan dan permasalahan di luar pembelajaran yang solusinya juga di luar jangkauan si guru itu sendiri. Dan beragam hal yang kemudian membuat motivasi belajar siswa kita saat ini begitu rendah.

Lalu kembali ke pertanyaan awal, jika kondisinya demikian, apakah guru tetap tidak boleh memaksa siswanya untuk belajar? Padahal ilmu yang akan dipelajari siswa ini kan sangat bermanfaat bagi kehidupannya di kelak kemudian hari.

Sebuah Tawaran Gagasan

Saya pikir dengan kondisi sosial kemasyarakatan kita yang masih bergelut dalam berbagai ketimpangan hidup dalam dosis tertentu guru boleh saja memaksa siswanya untuk belajar. Dalam dosis tertentu. Artinya siswa yang malas dan tidak mengerti untuk apa ia belajar sesuatu, perlu di awal ada sedikit "pemaksaan". Terkesan agak doktriner demi kebaikan siswa itu sendiri.

Kembali pada kasus anak malas belajar calistung di awal tulisan ini. Anak usia 7 tahun atau kelas satu SD tentu belum bisa memahami dengan penalaran sepenuhnya untuk apa gunanya ia belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ia hanya mengerti kalau teman-temannya sudah bisa menulis misalnya ya ia harus bisa menulis juga. Supaya tidak ketinggalan dengan temannya. Menjadi masalah jika ditemui anak yang mogok tidak mau belajar calistung.

Maka guru dengan orangtua sedikit banyak harus "memaksa" si anak juga agar mau belajar calistung. Demi kebaikan dia sendiri. Kalau dibebaskan dan tidak boleh memaksanya bagaimana dampaknya nanti di kemudian hari? Fenomena banyaknya anak SMP dan SMA yang belum bisa calistung dengan lancar dewasa ini bisa jadi akibat dari kemerdekaan dan kebebasan yang salah dipahami. Atau ditelan mentah-mentah tanpa dicerna secara lebih kritis.

Sama seperti konsep belajar shalat dalam agama Islam. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, "Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan sholat saat mereka berumur 7 tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan sholat bila ia berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka". (HR. Abu Dawud 418).

Dari hadits tersebut terdapat pesan yang cukup penting terkait belajar shalat dan melaksanakan shalat. Anak harus melaksanakan shalat saat usia 7 tahun dan jika sudah berusia 10 tahun tetapi anak meninggalkan shalat maka orangtua boleh memukulnya. Tentu memukul disini dengan berbagai syarat dan ketentuan. Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan memberatkan. Serta tidak memukul di area wajah dan area lain yang mudah sakit.

Intinya ingin saya katakan dalam konteks belajar shalat dan melaksanakan shalat tersebut orangtua boleh memaksa bahkan boleh memukul dengan berbagai batasan tadi. Karena begitu pentingnya kedudukan shalat dalam agama Islam.

Analogi yang sama juga dipakai dalam konsep belajar di sekolah. Tentu tidak serta merta dengan memukul secara fisik. Tapi titik tekannya adalah jika memang belajar itu sesuatu yang baik bagi siswa tetapi siswa belum memahami urgensi dari belajar itu sendiri rasa-rasanya guru boleh saja "memaksa" demi kebaikan siswa itu sendiri. Dengan dosis tertentu pastinya.

Ibarat minum jamu, saat ini pahit memang, tidak enak memang, tapi dalam jangka panjang bisa menyehatkan. Belajar juga kadang seperti itu, terkadang pahit, dan membosankan tetapi sangat besar manfaatnya di kemudian hari. Tetap semangat. Salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun