Berbagai macam penelitian juga sudah menjelaskan bahwa motivasi belajar anak-anak kita sekarang ini mengalami penurunan yang serius. Salah satu dipicu oleh banyaknya anak-anak yang kecanduan gadget dan sosial media. Khususnya menonton aplikasi video berdurasi pendek ternyata juga bisa memicu penurunan kemampuan kognitif otak. Kemampuan kognitif otak menurun berakibat motivasi belajar dan daya konsentrasi juga rendah. Selengkapnya di sini.
Jadi tidak mengherankan jika di era sekarang banyak keluhan dari guru atau orangtua terkait anaknya yang sulit untuk disuruh belajar. Sekedar mengerjakan tugas atau PR dari gurunya. Banyak siswa yang sulit fokus dalam pembelajaran. Atau siswa mengerjakan tugas dan PR tetapi tidak sampai selesai. Akibatnya tujuan pembelajaran yang diharapkan tidak tercapai secara optimal.
Lalu muncul sebuah tawaran solusi dengan konsep pembelajaran sosial emosional dan pembelajaran berdiferensiasi yang menyenangkan. Bahwa guru di dalam mengajar harus terlebih dahulu mengidentifikasi suasana kebatinan dan sosial emosional siswanya agar pembelajaran yang nantinya dilaksanakan bisa efektif dan menyenangkan. Tetapi akar persoalannya adalah bukan pada diri sang guru yang tidak bisa merancang pembelajaran dengan baik. Lebih pada persoalan dan permasalahan di luar pembelajaran yang solusinya juga di luar jangkauan si guru itu sendiri. Dan beragam hal yang kemudian membuat motivasi belajar siswa kita saat ini begitu rendah.
Lalu kembali ke pertanyaan awal, jika kondisinya demikian, apakah guru tetap tidak boleh memaksa siswanya untuk belajar? Padahal ilmu yang akan dipelajari siswa ini kan sangat bermanfaat bagi kehidupannya di kelak kemudian hari.
Sebuah Tawaran Gagasan
Saya pikir dengan kondisi sosial kemasyarakatan kita yang masih bergelut dalam berbagai ketimpangan hidup dalam dosis tertentu guru boleh saja memaksa siswanya untuk belajar. Dalam dosis tertentu. Artinya siswa yang malas dan tidak mengerti untuk apa ia belajar sesuatu, perlu di awal ada sedikit "pemaksaan". Terkesan agak doktriner demi kebaikan siswa itu sendiri.
Kembali pada kasus anak malas belajar calistung di awal tulisan ini. Anak usia 7 tahun atau kelas satu SD tentu belum bisa memahami dengan penalaran sepenuhnya untuk apa gunanya ia belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ia hanya mengerti kalau teman-temannya sudah bisa menulis misalnya ya ia harus bisa menulis juga. Supaya tidak ketinggalan dengan temannya. Menjadi masalah jika ditemui anak yang mogok tidak mau belajar calistung.
Maka guru dengan orangtua sedikit banyak harus "memaksa" si anak juga agar mau belajar calistung. Demi kebaikan dia sendiri. Kalau dibebaskan dan tidak boleh memaksanya bagaimana dampaknya nanti di kemudian hari? Fenomena banyaknya anak SMP dan SMA yang belum bisa calistung dengan lancar dewasa ini bisa jadi akibat dari kemerdekaan dan kebebasan yang salah dipahami. Atau ditelan mentah-mentah tanpa dicerna secara lebih kritis.
Sama seperti konsep belajar shalat dalam agama Islam. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, "Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan sholat saat mereka berumur 7 tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan sholat bila ia berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka". (HR. Abu Dawud 418).
Dari hadits tersebut terdapat pesan yang cukup penting terkait belajar shalat dan melaksanakan shalat. Anak harus melaksanakan shalat saat usia 7 tahun dan jika sudah berusia 10 tahun tetapi anak meninggalkan shalat maka orangtua boleh memukulnya. Tentu memukul disini dengan berbagai syarat dan ketentuan. Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan memberatkan. Serta tidak memukul di area wajah dan area lain yang mudah sakit.
Intinya ingin saya katakan dalam konteks belajar shalat dan melaksanakan shalat tersebut orangtua boleh memaksa bahkan boleh memukul dengan berbagai batasan tadi. Karena begitu pentingnya kedudukan shalat dalam agama Islam.