Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Tengah. Ada salah satu momen menarik saat hari terakhir menjelang penutupan kegiatan diklat. Ketika salah seorang narasumber mengatakan bahwa untuk melihat mutu sebuah sekolah tidak perlu menggunakan teori dan penelitian yang ribet serta njelimet.
Kurang lebih setahun lalu saya mengikuti diklat penguatan literasi di Balai Besar Penjamin MutuTinggal melihat saja bagaimana kinerja sang pemimpin alias kepala sekolahnya. Jika pemimpinnya bekerja dengan baik maka kurang lebih seperti itu pula gambaran umum sekolah itu : baik.Â
Demikian pula sebaliknya. Seketika tepuk tangan disertai teriakan gemuruh terdengar dari seisi aula ruangan. Entah itu pertanda sebagai bentuk apresiasi atau malah sebagai ekspresi cibiran. Diklat tersebut dihadiri oleh ratusan kepala sekolah dasar (SD) beserta dewan gurunya di lingkup Provinsi Jawa Tengah.
Seketika saya terhenyak dan ikut bertepuk tangan lirih saat yang lain begitu gemuruh. Terhenyak karena memandang bahwa apa yang disampaikan narasumber tersebut adalah benar adanya. Setidaknya demikian dalam pandangan saya. Karena pada dasarnya kepala sekolah adalah teladan. Yang akan dicontoh oleh seluruh jajaran di sekolah. Pada akhirnya pemimpin jugalah yang akan membentuk wajah dan citra sebuah sekolah. Ia representasi utama dari sekolah yang dipimpinnya.
Tergerak, Bergerak, dan Menggerakkan
Tiga kata itu sering diucapkan dan menjadi populer saat Program Guru Penggerak (PGP) sedang digalakkan. Ruang-ruang sosial media juga menjadi ramai dan riuh dengan isu pro-kontra program unggulan di era Menteri Nadiem Makarim ini. Singkatnya tiga kata itu menjadi motto bagi para guru penggerak agar bisa menjadi pioneer sekaligus lokomotif kemajuan pendidikan Indonesia.
Jika diartikan secara bebas esensi tiga kata itu merujuk pada sebuah konsep keteladanan bagi mereka para guru yang mengikuti program pendidikan guru penggerak. Juga disebutkan dalam Permendikbud Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah bahwa para guru yang memiliki sertifikat guru penggerak berhak untuk menyandang jabatan sebagai kepala sekolah bahkan mendapat prioritas. Dan sekarang faktanya memang banyak pengangkatan kepala sekolah dari unsur guru penggerak.
Motto tergerak, bergerak, dan menggerakkan kembali menemukan ruangnya. Dimana keteladanan itu menjadi ruh bagi semua pemimpin. Termasuk guru dan kepala sekolah.
Karena sejatinya bukan hanya kepala sekolah, guru juga merupakan seorang pemimpin. Setidaknya pemimpin pembelajaran di kelasnya atau di bidang studinya masing-masing.
Saya termasuk orang yang sejak dulu saat program guru penggerak masih begitu gencarnya dicanangkan sangat enggan untuk menulis atau beropini dan terlibat dalam isu pro kontra seputar program guru penggerak. Karena bagi saya pada dasarnya setiap guru adalah motor penggerak perubahan bagi keberlangsungan pendidikan di bangsa ini.Â
Perubahan itu akan menuju ke arah kemajuan atau kemunduran salah satunya juga tergantung dari keteladanan para guru itu sendiri. Setiap guru memikul tanggung yang sama untuk tergerak, bergerak, menggerakkan lokomotif perubahan pendidikan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Maka terlalu naif dan cetek akal rasanya jika menyandarkan proses transformasi pendidikan itu hanya kepada sekelompok atau bahkan segelintir komunitas guru semata.
Mengingat Indonesia adalah negara besar dengan tingkat keberagaman dan ketimpangan yang juga tidak kalah besarnya. Setiap guru bisa berperan sekecil apapun dan berkiprah untuk kemajuan pendidikan bangsa sesuai dengan porsinya masing-masing. Dimulai dari lingkup yang terdekat dengannya sebelum kemudian meluas pada cakupan yang lebih besar.Â
Seperti kalimat yang sering diucapkan oleh KH. Abdullah Gymnastiar: Mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai sekarang juga. Beliau menyebutnya dengan prinsip 3M.
Masalah pendidikan dewasa ini ibarat benang kusut perlahan bisa diurai dengan komitmen kuat dan keteladanan dari para gurunya. Senada dengan kata pepatah guru kencing berdiri murid kencing berlari.Â
Kembali makna dari pepatah itu merujuk pada keteladanan guru yang akan selalu dicontoh muridnya. Dan seandainya pada akhirnya pun motto tergerak, bergerak, dan menggerakkan itu adalah menjadi milik guru penggerak semata maka semuanya akan ditagih.Â
Ditagih kembali saat sang calon guru penggerak tamat dari pelatihan. Berkiprah di sekolah untuk menjadi guru penggerak sepenuhnya atau bahkan mendapatkan tugas baru sebagai seorang kepala sekolah.
Visi Keteladanan dalam Pendidikan
Keteladanan adalah satu kata yang sering terdengar dan diucapkan namun tidak mudah untuk dilaksanakan. Padahal keteladanan merupakan salah satu kata kunci bagi kemajuan dalam bidang apapun, termasuk bidang pendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata "keteladanan" merujuk pada makna hal yang dapat ditiru atau dicontoh. Tentu keteladanan ini berkonotasi pada hal-hal positif.
Banyak keluhan bahwa siswa sekarang kurang adab minim sopan santun. Padahal Kurikulum Merdeka titik tekannya ada pada penanaman nilai budi pekerti juga pembentukan karakter. Bisa dilihat pada kegiatan projek profil (P5) yang diberi alokasi waktu cukup besar dalam struktur kurikulum merdeka.Â
Hanya kemudian timbul pertanyaan, sejauh mana kegiatan semacam itu dan kegiatan penanaman nilai karakter lainnya akan berhasil dan berdampak pada anak-anak kita? Di tengah distorsi budaya dan nilai-nilai hidup yang tidak selalu sejalan dengan moralitas manusia Indonesia.
Anak-anak adalah subjek hidup sekaligus subjek pembelajaran. Ia adalah pelaku pembelajaran. Ia akan belajar dari siapa pun dan dari mana pun. Artinya anak-anak akan mencari role model untuk membentuk karakternya sendiri. Dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pandangan masyarakat bahwa pendidikan itu identik dengan sekolah mesti diubah. Karena pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah saja. Proses pendidikan terjadi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Keteladanan juga idealnya ada di sana. Sehingga tidak semata urusan pendidikan seakan-akan hanya menjadi domain guru dan sekolah.
Banyaknya perilaku amoral di kalangan pelajar, menurunnya minat belajar, rendahnya tingkat kedisiplinan bisa jadi karena pengaruh lingkungannya. Maka menjadi teladan yang baik bagi anak-anak generasi penerus bangsa bukanlah hal yang mudah.Â
Sebagai ilustrasi misalnya di sekolah anak-anak pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila diajarkan tentang konsep antikorupsi sesuai dengan nilai Pancasila.Â
Tapi tiap hari di sosial media dan media elektronik berita penangkapan koruptor hampir selalu ada. Berseliweran kabarnya di handphone mereka. Lalu bagaimana sekolah dapat menanamkan nilai pendidikan budi pekerti dan pembentukan karakter jika apa yang diajarkan di sekolah kontradiktif dengan yang ditemui di tengah kehidupan masyarakat?
Kesimpulannya visi keteladanan menjadi inti keberhasilan penyelenggaraan proses pendidikan. Dengan melibatkan semua pihak agar bisa bersama-sama tergerak, bergerak, dan menggerakkan lokomotif perubahan pendidikan di negara kita ke arah yang lebih baik.Â
Bukan hanya guru penggerak saja yang memiliki peran tersebut tetapi semua pihak punya andil yang sama. Meskipun tidak mudah karena begitu kompleksnya masalah pendidikan bangsa ini.
Dan harapan baru akan selalu muncul menyertai momentum pergantian tampuk kekuasaan pemerintahan. Entah siapapun juga nantinya yang menjabat menteri pendidikan baru, semoga bisa menjadi teladan bagi semua insan pendidikan bangsa ini. Tetap semangat. Salam blogger persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H