Mengingat Indonesia adalah negara besar dengan tingkat keberagaman dan ketimpangan yang juga tidak kalah besarnya. Setiap guru bisa berperan sekecil apapun dan berkiprah untuk kemajuan pendidikan bangsa sesuai dengan porsinya masing-masing. Dimulai dari lingkup yang terdekat dengannya sebelum kemudian meluas pada cakupan yang lebih besar.Â
Seperti kalimat yang sering diucapkan oleh KH. Abdullah Gymnastiar: Mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai sekarang juga. Beliau menyebutnya dengan prinsip 3M.
Masalah pendidikan dewasa ini ibarat benang kusut perlahan bisa diurai dengan komitmen kuat dan keteladanan dari para gurunya. Senada dengan kata pepatah guru kencing berdiri murid kencing berlari.Â
Kembali makna dari pepatah itu merujuk pada keteladanan guru yang akan selalu dicontoh muridnya. Dan seandainya pada akhirnya pun motto tergerak, bergerak, dan menggerakkan itu adalah menjadi milik guru penggerak semata maka semuanya akan ditagih.Â
Ditagih kembali saat sang calon guru penggerak tamat dari pelatihan. Berkiprah di sekolah untuk menjadi guru penggerak sepenuhnya atau bahkan mendapatkan tugas baru sebagai seorang kepala sekolah.
Visi Keteladanan dalam Pendidikan
Keteladanan adalah satu kata yang sering terdengar dan diucapkan namun tidak mudah untuk dilaksanakan. Padahal keteladanan merupakan salah satu kata kunci bagi kemajuan dalam bidang apapun, termasuk bidang pendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata "keteladanan" merujuk pada makna hal yang dapat ditiru atau dicontoh. Tentu keteladanan ini berkonotasi pada hal-hal positif.
Banyak keluhan bahwa siswa sekarang kurang adab minim sopan santun. Padahal Kurikulum Merdeka titik tekannya ada pada penanaman nilai budi pekerti juga pembentukan karakter. Bisa dilihat pada kegiatan projek profil (P5) yang diberi alokasi waktu cukup besar dalam struktur kurikulum merdeka.Â
Hanya kemudian timbul pertanyaan, sejauh mana kegiatan semacam itu dan kegiatan penanaman nilai karakter lainnya akan berhasil dan berdampak pada anak-anak kita? Di tengah distorsi budaya dan nilai-nilai hidup yang tidak selalu sejalan dengan moralitas manusia Indonesia.
Anak-anak adalah subjek hidup sekaligus subjek pembelajaran. Ia adalah pelaku pembelajaran. Ia akan belajar dari siapa pun dan dari mana pun. Artinya anak-anak akan mencari role model untuk membentuk karakternya sendiri. Dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pandangan masyarakat bahwa pendidikan itu identik dengan sekolah mesti diubah. Karena pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah saja. Proses pendidikan terjadi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Keteladanan juga idealnya ada di sana. Sehingga tidak semata urusan pendidikan seakan-akan hanya menjadi domain guru dan sekolah.