Secara konsep merdeka belajar dan kurikulum merdeka sangat bagus. Karena memberikan keleluasaan pada seluruh stake holder di sekolah untuk berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi serta potensi yang dimilikinya. Tetapi tetap saja problem mendasar menyangkut penyelenggaraan sebuah proses pendidikan yang baik mesti dibenahi dulu sebagai prasyaratnya. Jika hal tersebut masih saja disepelekan rasanya akan jauh panggang dari api.
Penolakan Penghapusan Ujian Nasional (UN)
Pak JK berpendapat Ujian Nasional (UN) mestinya jangan dihapus. Tetap saja dilaksanakan. Karena siswa kita akan belajar jika ada ujian atau ulangan. Tapi pak JK agaknya lupa bahwa tidak sedikit juga temuan fakta di lapangan bahwa banyak siswa yang stress ketika menghadapi Ujian Nasional. Dan juga banyak ditemukan fakta bahwa Ujian Nasional yang dulu pernah diterapkan itu rawan kecurangan dan manipulasi.
Penanaman pemahaman akan pentingnya belajar memang harus dilakukan sedini mungkin. Siswa haruslah diajak berpikir kritis bahwa kegiatan belajar adalah keniscayaan bagi setiap manusia. Belajar bukanlah semata hanya karena persoalan akan ulangan atau ujian saja. Betul tidak dipungkiri masih banyak siswa kita yang berpikir demikian. Tetapi pola pikir yang semacam itu mestilah pelan-pelan diubah. Dari pemikiran yang bersifat pragmatis menuju pemikiran yang bersifat lebih esensial.
Alat ukur keberhasilan siswa di dalam proses belajarnya bukan hanya dengan ujian semata. Ujian Nasional hanya mengukur aspek kognitif (pengetahuan) dan itu pun juga menimbulkan banyak polemik. Ada satu kejadian siswa pandai dan menjadi "bintang kelas" tetapi saat mengikuti Ujian Nasional malah dinyatakan tidak lulus padahal ia sudah diterima di universitas dengan jalur nilai rapor atau ujian masuk sebelumnya. Fenomena ini kerap terjadi saat masih diberlakukannya UN dulu.
Persoalan lebih mendasar adalah bagaimana cara agar bisa membentuk sebuah sistem pendidikan yang menghasilkan lulusan bermutu. Sehingga nilai di atas kertas itu menjadi relevan dengan nilai dan mutu kualitas lulusan. Bukan semata bagus di atas kertas tapi tidak mencerminkan value sesungguhnya dari lulusan itu. Karena banyaknya praktek katrol nilai atau dongkrak nilai yang dilakukan oleh sekolah atau guru itu sendiri.
Persoalan-persoalan semacam ini dari dulu hingga sekarang masih saja membelit dunia pendidikan kita. Bagaimana menghadirkan dan melaksanakan sistem penilaian yang otentik nyatanya masih menjadi PR besar bagi guru dan sekolah-sekolah pada umumnya. Sehingga jangan heran jika akhir-akhir ini banyak ditemukan kejadian anak sudah SMP tapi belum lancar membaca. Atau anak sudah SMA tapi tidak lancar menggunakan konsep perkalian dan pembagian dasar. Tetapi faktanya mereka lulus dari jenjang sekolah sebelumnya. Sungguh sangat miris.
Kapasitas Personal Mendikbudristek Nadiem Makarim
Pak JK mengatakan bahwa Menteri Nadiem Makarim tidak memiliki pengalaman dalam mengelola bidang pendidikan. Dan faktanya memang demikian. Mas menteri tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pendidikan barat. Latar belakangnya juga bukan seorang guru, dosen atau akademisi. Tetapi beliau adalah seorang pengusaha start-up yang sukses. Sukses merintis dan mengelola Gojek hingga menjadi besar seperti sekarang.
Kritik pak JK terhadap kapasitas Nadiem Makarim sebetulnya sejalan dengan kekhawatiran banyak kalangan di awal pelantikannya sebagai Mendikbudristek. Banyak yang meragukan kemampuan Nadiem dalam mengelola kementerian pendidikan. Meskipun toh tidak menjadi jaminan ketika kementerian pendidikan dinahkodai oleh seorang dosen atau akademisi juga akan sesuai ekspektasi publik.
Apalagi cakupan kementerian yang dipimpin oleh mas menteri ini dianggap terlalu luas dan multi bidang. Meliputi bidang pendidikan, bidang kebudayaan, bidang riset (penelitian) sekaligus bidang teknologi. Dihimpun dalam satu naungan kementerian. Luar biasa!