Bulan Agustus tengah menapaki puncaknya sebagai bulan kemerdekaan. Umbul-umbul bendera ramai dipasang di mana-mana. Upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-79 pun sudah dilaksanakan.Â
Lomba-lomba diadakan dengan sangat meriah hampir di seluruh pelosok negeri. Tidak kalah ramai kegiatan karnaval juga begitu terlihat hingar bingarnya. Semua orang larut dalam gegap gempita perayaan agustusan ini.
Setiap orang kemudian memaknai kemerdekaan sesuai dengan persepsinya masing-masing. Secara umum kemerdekaan diartikan sebuah kebebasan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan KBBI mengartikan kata "merdeka" dalam tiga pengertian, yaitu:Â
Pertama, merdeka memiliki makna bebas dari belenggu ataupun penjajahan.Â
Kedua, merdeka artinya tidak terkena atau lepas dari berbagai tuntutan.Â
Ketiga, merdeka berarti tidak terikat, tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu dan leluasa. Jika dicermati dari tiga pengertian tersebut esensinya sama. Merdeka itu bebas dan tidak terbelenggu.
Kemerdekaan mestilah ada dan eksis dalam seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Juga termasuk dalam bidang pendidikan. Khusus dalam bidang pendidikan agaknya kita perlu merenung lebih dalam.Â
Apakah pendidikan kita sudah betul-betul merdeka sebagaimana nama kurikulumnya: kurikulum merdeka? Ataukah itu semua masih sebatas angan dan gula-gula saja yang manis untuk diucapkan tetapi hambar dalam kenyataan?
Benang Kusut
Jika kita menelaah lebih jauh pandangan Ki Hajar Dewantara tentang konsep merdeka dalam buku-bukunya maka selalu kita akan akrab dengan terminologi selamat dan bahagia. Selamat raganya bahagia jiwanya. Itu tujuan pendidikan menurut Ki Hajar.Â
Pendidikan mestilah membuat semua orang mencapai keselamatan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Jika setiap orang telah selamat dan bahagia barulah bisa dikatakan telah merdeka dalam artian sebenarnya.
Lalu jika dikaitkan dengan kondisi sekarang apakah dunia pendidikan kita sudah mencapai kata merdeka seperti yang diidealkan oleh Ki Hajar? Begitu banyak persoalan dan dinamika terjadi. Ribuan guru honorer hampir setiap tahun melakukan aksi demonstrasi menuntut kejelasan nasib.Â
Kekerasan dan perilaku menyimpang marak terjadi di lingkungan pendidikan. Biaya sekolah dan kuliah yang semakin tahun semakin mahal. Persoalan administrasi guru yang dirasa masih membelenggu. Juga rendahnya perlindungan hukum terhadap guru.
Serta masih banyak persoalan lainnya semacam tingkat literasi dan skor IQ nasional yang rendah, skor PISA juga yang masih belum terlalu menggembirakan, politisasi pendidikan, komersialisasi pendidikan, dst. Begitu banyak PR dalam bidang pendidikan yang mesti dibenahi oleh bangsa ini.
Kebijakan ganti menteri ganti kurikulum juga seakan menjadi sebuah keniscayaan setiap kali rezim baru berkuasa. Tetapi tawaran-tawaran solusi itu seakan belum menemukan titik cerahnya. Karena pendidikan juga tidak semata bicara soal kurikulum. Sebagai sebuah sistem pembentuk kebudayaan pendidikan memiliki begitu banyak unsur pembangunnya.
Gagasan besar melalui konsep merdeka belajar yang digaungkan oleh Mendikbudristek menghadapi tantangan yang tidak mudah. Karena perubahan besar itu selalu dimulai dari pembenahan pada cakupan detail yang lebih kecil.Â
Transformasi pendidikan yang dicita-citakan haruslah dimulai dari lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Pembenahan dan pemberdayaan sekolah sebagai satuan pendidikan perlu dioptimalkan. Juga penanaman kesadaran akan pentingnya pendidikan di lingkungan keluarga perlu lebih disosialisasi pada masyarakat.
Masyarakat yang sadar bahwa tanggung jawab mendidik bukan hanya ada dipundak guru dan sekolah akan mempercepat proses transformasi itu. Agar tidak terjadi misalnya saat mencuat kasus anak SMP belum lancar membaca seperti tempo hari malah seakan menjadi ajang untuk saling menyalahkan dan saling mencari kambing hitam antara orangtua dan sekolah (guru).Â
Semua itu hanya menunjukkan belum beres dan belum sinerginya sistem pendidikan yang ingin kita gagas. Konsep tripusat pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara seakan bagus untuk diucapkan tetapi sulit untuk diwujudkan. Karena belum terbentuknya nalar kesadaran bersama.
Guru Merdeka
Lalu bagaimana dengan guru? Apakah di era kurikulum merdeka ini guru sudah betul-betul merdeka? Seperti kaos yang sering dipakainya bertuliskan "Merdeka Belajar". Apakah jiwa dan raganya memang betul-betul sudah merdeka? Sudah selamat dan bahagia seperti yang diidealkan oleh Ki Hajar Dewantara?
Guru adalah model manusia intelektual. Maka kemerdekaan itu hendaknya tercermin dalam segala tindakan dan olah pikirnya. Guru merdeka tidak terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan pragmatis. Guru merdeka memiliki kebebasan untuk menentukan sikap dan pandangannya dalam setiap tindakan. Menyangkut keprofesiannya sebagai guru maupun menyangkut diri dan pribadinya sebagai manusia terdidik.
Mengucapkan pikiran melakukan tindakan sesuai hati nurani yang bertanggung jawab. Jika profesi guru disadari sepenuhnya sebagai sebuah panggilan jiwa maka separuh masalah pendidikan di negara ini sudah selesai.Â
Dikatakan selesai separuhnya karena dengan demikian guru sepenuhnya menyadari bahwa ia adalah manusia terpilih sekaligus manusia yang diberi tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya.Â
Lebih jauh ikut menentukan kemajuan peradaban bangsanya. Sikap sadar dengan sepenuh hati seperti inilah yang akan melahirkan dedikasi dan menumbuhkan militansi dalam melakoni profesi. Optimal dalam mendidik generasi penerus bangsa ini.
Guru merdeka sejatinya tidak perlu terbelenggu oleh masalah kesejahteraan atau masalah menumpuknya administrasi pembelajaran yang menyita waktu. Keluhan dan masalah semacam ini selalu timbul dan berulang dari waktu ke waktu. Siapapun presiden dan menteri pendidikan selalu masalah berkutat dalam hal itu. Ini menjadi indikasi bahwa guru belum sepenuhnya merdeka.Â
Belum sepenuhnya selamat dan bahagia. Karena faktanya juga masih banyak guru yang tersandung kasus hukum bahkan berujung mendekam di balik jeruji besi penjara. Banyak kekerasan yang dialami oleh guru. Dalam persoalan gaji kesejahteraan guru negara kita juga termasuk dalam kategori yang terendah di lingkup negara ASEAN.
Tugas pokok dan fungsi sebagai guru juga masih harus ditambah dengan beban tugas-tugas tambahan. Menjadi bendahara BOS, menjadi operator sekolah, menjadi petugas pengurus barang, bahkan menjadi penjaga sekolah, dan sebagainya. Oleh karena terbatasnya sumber daya yang ada di sekolah. Seorang guru harus memikul berbagai beban pekerjaan justru di luar tugas pokoknya.
Selalu dan selalu saya bertanya dalam hati, mengapa pemerintah tidak kunjung melakukan perekrutan untuk tenaga teknis tata usaha di sekolah-sekolah. Khususnya di sekolah dasar (SD) sudah menjadi rahasia umum banyak guru melakukan double job bahkan triple job.Â
Persoalan yang nyata ada di depan mata tetapi pemerintah terlihat lamban dalam penanganannya. Tugas tambahan semacam itu sejatinya akan mengganggu performa guru dalam mendidik muridnya.
Bagaimana mutu pembelajaran dan pendidikan secara umum akan meningkat jika guru terbelenggu oleh tugas-tugas tambahan di luar tugas pokok fungsinya? Yang notabene jika ditelisik lebih dalam tidak ada hubungannya dengan dunia pedagogik. Guru tidak akan fokus dan sulit mengembangkan diri karena energinya sudah habis terkuras untuk tugas-tugas tambahan tersebut.
Kemerdekaan semacam inilah yang akan terus ditagih oleh guru. Siapapun rezim dan menteri pendidikan yang menjabat tagihan-tagihan semacam ini akan selalu ada. Guru harus merdeka mengajar dalam artian sebenarnya. Bebas dan leluasa melaksanakan tugas keprofesiannya dengan selamat dan bahagia. Tanpa harus dihantui rasa takut dan tertekan oleh apapun itu.Â
Pemerintah bersama dengan menteri pendidikannya bisa berbuat banyak dalam hal ini. Merdeka mengajar, merdeka belajar dan merdeka-merdeka yang lain itu akan lebih indah dirasa jika sepenuhnya guru terayomi, terlindungi, nyaman dan leluasa dalam bertugas. Kembali lagi, sudahkah guru merdeka? Silahkan pembaca renungkan dalam benak masing-masing. Tetap semangat. Salam blogger persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H