Lalu bagaimana dengan guru? Apakah di era kurikulum merdeka ini guru sudah betul-betul merdeka? Seperti kaos yang sering dipakainya bertuliskan "Merdeka Belajar". Apakah jiwa dan raganya memang betul-betul sudah merdeka? Sudah selamat dan bahagia seperti yang diidealkan oleh Ki Hajar Dewantara?
Guru adalah model manusia intelektual. Maka kemerdekaan itu hendaknya tercermin dalam segala tindakan dan olah pikirnya. Guru merdeka tidak terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan pragmatis. Guru merdeka memiliki kebebasan untuk menentukan sikap dan pandangannya dalam setiap tindakan. Menyangkut keprofesiannya sebagai guru maupun menyangkut diri dan pribadinya sebagai manusia terdidik.
Mengucapkan pikiran melakukan tindakan sesuai hati nurani yang bertanggung jawab. Jika profesi guru disadari sepenuhnya sebagai sebuah panggilan jiwa maka separuh masalah pendidikan di negara ini sudah selesai.Â
Dikatakan selesai separuhnya karena dengan demikian guru sepenuhnya menyadari bahwa ia adalah manusia terpilih sekaligus manusia yang diberi tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya.Â
Lebih jauh ikut menentukan kemajuan peradaban bangsanya. Sikap sadar dengan sepenuh hati seperti inilah yang akan melahirkan dedikasi dan menumbuhkan militansi dalam melakoni profesi. Optimal dalam mendidik generasi penerus bangsa ini.
Guru merdeka sejatinya tidak perlu terbelenggu oleh masalah kesejahteraan atau masalah menumpuknya administrasi pembelajaran yang menyita waktu. Keluhan dan masalah semacam ini selalu timbul dan berulang dari waktu ke waktu. Siapapun presiden dan menteri pendidikan selalu masalah berkutat dalam hal itu. Ini menjadi indikasi bahwa guru belum sepenuhnya merdeka.Â
Belum sepenuhnya selamat dan bahagia. Karena faktanya juga masih banyak guru yang tersandung kasus hukum bahkan berujung mendekam di balik jeruji besi penjara. Banyak kekerasan yang dialami oleh guru. Dalam persoalan gaji kesejahteraan guru negara kita juga termasuk dalam kategori yang terendah di lingkup negara ASEAN.
Tugas pokok dan fungsi sebagai guru juga masih harus ditambah dengan beban tugas-tugas tambahan. Menjadi bendahara BOS, menjadi operator sekolah, menjadi petugas pengurus barang, bahkan menjadi penjaga sekolah, dan sebagainya. Oleh karena terbatasnya sumber daya yang ada di sekolah. Seorang guru harus memikul berbagai beban pekerjaan justru di luar tugas pokoknya.
Selalu dan selalu saya bertanya dalam hati, mengapa pemerintah tidak kunjung melakukan perekrutan untuk tenaga teknis tata usaha di sekolah-sekolah. Khususnya di sekolah dasar (SD) sudah menjadi rahasia umum banyak guru melakukan double job bahkan triple job.Â
Persoalan yang nyata ada di depan mata tetapi pemerintah terlihat lamban dalam penanganannya. Tugas tambahan semacam itu sejatinya akan mengganggu performa guru dalam mendidik muridnya.
Bagaimana mutu pembelajaran dan pendidikan secara umum akan meningkat jika guru terbelenggu oleh tugas-tugas tambahan di luar tugas pokok fungsinya? Yang notabene jika ditelisik lebih dalam tidak ada hubungannya dengan dunia pedagogik. Guru tidak akan fokus dan sulit mengembangkan diri karena energinya sudah habis terkuras untuk tugas-tugas tambahan tersebut.