Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Generasi Kasar: Merajalelanya Penggunaan Kata-Kata Kotor di Kalangan Pelajar

11 Agustus 2024   06:06 Diperbarui: 11 Agustus 2024   06:08 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penggunaan kata-kata kotor di kalangan pelajar | Sumber : Olahan pribadi

Tertegun saat mendengar beberapa orang siswa bercanda dengan asyik. Sesekali mengucapkan kata-kata kasar pada temannya disertai gelak tawa. Tidak heran namun ada perasaan kesal bercampur sedih dalam hati. Karena kata-kata yang semestinya tak patut diucapkan itu terlontar dengan mudahnya dari bibir anak-anak ini. Bahkan dianggap sepele dan mengasyikkan. Sebagai simbol keakraban yang menambah kehangatan dalam guyonan mereka.

Saya katakan tidak mengherankan sebab dewasa ini sudah banyak terjadi fenomena penggunaan kata-kata toxic ini di kalangan pelajar. Saat berkomunikasi dengan teman tak jarang dibumbui dengan kata-kata kotor. Entah mereka belajar dari mana? Pastinya tidak ada sekolah dan guru yang mengajarkan demikian pada siswanya. Setidaknya sekolah manapun pasti mengajarkan pada siswanya agar berperilaku baik. Bertutur kata sopan dan bertingkah laku sesuai dengan tata krama juga etika.

Seperti dikatakan Maria Motessori dalam bukunya "The Absorbent Mind" atau pikiran yang mudah menyerap. Bahwa seorang anak diibaratkan sebuah spons. Ia akan menyerap pengetahuan apapun dari lingkungannya. Tidak perduli itu baik ataupun buruk kecenderungan anak akan meniru perilaku orang-orang di sekelilingnya. Kita harus lebih jeli melihat fenomena ini. Apakah orangtua sudah menjadi teladan baik bagi anak dalam bertutur kata? Atau kadang orangtua sendiri kerap melontarkan kata kasar saat ada masalah dalam keluarga? Entah persoalan suami istri atau persoalan dengan anak itu sendiri? Kemudian apakah lingkup pergaulan anak juga terjaga?

Anak-anak yang masuk dalam circle pergaulan pengguna kata toxic juga pasti lambat laun akan terpapar juga. Celakanya justru sekarang dunia di sekitar anak penuh dengan paparan semacam ini. Lihat saja para game streamer dan youtuber game online yang kerap mengucapkan "kata-kata manis" itu di tengah aktifitas nge-game mereka. Hampir semua anak menyukai game. Kalau itu yang mereka tonton lalu mereka menirunya maka tidak heran jika sekarang penggunaan kata-kata toxic dianggap biasa bahkan keren di kalangan anak-anak. Bagaimana nasib bangsa ini ke depan jika generasi penerusnya gemar melontarkan kata-kata kotor dan kasar?

Ajining Diri Ana Ing Kedhaling Lathi

Ajining sarira ana ing busana, ajining diri ana ing kedhaling lathi. Demikian pitutur atau kata-kata bijak dalam bahasa jawa. Jika diartikan secara bebas harga diri dan kehormatan seseorang terletak pada busana dan ucapannya.

Ajining sarira ana ing busana menyiratkan bahwa penampilan atau cara berpakaian seseorang dapat mencerminkan kepribadian, status sosial, dan rasa hormat terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pakaian yang rapi dan sesuai dengan tempat akan memberikan kesan yang baik dan meningkatkan kepercayaan diri.

Sementara ajining diri ana ing kedhaling lathi menekankan pentingnya menjaga ucapan. Kata-kata yang keluar dari mulut seseorang dapat membangun atau merusak citra dirinya. Ucapan yang sopan, santun, dan bijaksana akan membuat seseorang dihormati dan dipercaya. Jelas disimpulkan bahwa cara berpakaian (berpenampilan) juga bertutur kata sangat penting untuk menjaga kehormatan dan wibawa diri dalam berinteraksi dengan orang lain.

Persoalan semacam ini terlihat sepele. Namun jika tidak diwaspadai bisa menjadi masalah serius. Bisa dibayangkan jika anak-anak terbiasa menggunakan kata toxic tanpa ada rasa menyesal atau bersalah maka ini bisa menjadi kepribadian melekat padanya. Terbawa sampai ia tumbuh besar dan dewasa. Dan jika sudah melekat menjadi karakter maka akan sulit untuk mengubahnya. Misalnya pada suatu ketika anak sedang merasa kesal dengan enteng dia mengumpat dengan kata-kata kasar. Atau sebaliknya dia sedang kaget dan merasa bahagia secara spontan mengucapkan kata-kata kasar. Menjadi spontanitas yang dianggap biasa dan wajar saja. Sungguh kondisi yang miris dan menyedihkan.

Bahkan lebih jauh saat si anak ini sudah dewasa lalu berumah tangga. Jika ada sebuah persoalan dengan pasangannya atau bahkan dengan orangtua dan anak-anaknya ia tidak segan melontarkan kalimat kasar. Dengan mengatakan ya sudahlah saya ya begini ini adanya. Dari dulu memang sudah begini. Naudzubillah min dzalik.

Karena bagaimanapun ucapan mencerminkan isi hati seseorang. Seseorang orang kerap mengucapkan kalimat kotor maka begitu pula isi hatinya. Ibarat sebuah teko menuangkan air putih dan bersih pertanda di dalam teko juga berisi air putih dan bersih. Demikian sebaliknya teko dituangkan keluar air hitam, pekat dan kotor artinya dari dalam teko itu sendiri sudah mengandung dan berisi air yang hitam, pekat, dan kotor. Sebuah analogi yang patut direnungkan.

Saatnya Berbenah dan Berupaya

Alangkah lebih baik menyalakan lilin daripada hanya sekedar mengutuk kegelapan. Artinya mestilah ada tindakan dan aksi nyata yang dilakukan orangtua, sekolah bahkan masyarakat itu sendiri sebagai upaya mengurangi perilaku anak yang gemar berkata kotor. Upaya tersebut mestilah melibatkan ketiga pihak. Tidak hanya dilakukan di sekolah saja. Oleh karena anak juga bertumbuh kembang di lingkungan keluarga juga masyarakat.

Di lingkungan keluarga orangtua sedini mungkin harus memantau lingkup pergaulan anak. Orangtua harus tahu anaknya bergaul dengan siapa saja. Mencermati apakah ada teman-teman atau circle pergaulan anaknya yang terbiasa menggunakan kalimat kotor dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Termasuk memantau grup-grup sosial media milik anaknya. Jika didapati grup sosial media atau grup whatsapp yang terbiasa menggunakan kata-kata kotor maka orangtua bisa mengingatkan anaknya untuk tidak terpengaruh. Bahkan jika perlu keluar dari grup tersebut. Demikian juga dalam berteman. Si anak harus diberi pengertian agar lebih memilih berteman dengan anak-anak yang berperilaku baik dan sopan.

Di lingkungan sekolah pihak dewan guru beserta seluruh jajaran sekolah bisa memulai sebuah upaya dengan membuat kesepakatan awal bersama orangtua saat proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berlangsung. Menjelaskan tentang tata aturan yang berlaku dan harus disepakati serta dijalankan bersama. Termasuk larangan untuk berkata-kata kotor. Dengan demikian akan muncul kesepahaman bersama antara sekolah dengan orangtua untuk menjaga anak-anak agar terhindar dari berkata kotor. Juga anak dan orangtua paham akan konsekwensi jika melanggar kesepakatan aturan.

Sekolah juga dapat melaksanakan sosialisasi rutin kepada anak didik. Misalnya dengan memasang media poster atau flyer di tempat yang mudah dilihat (di dalam kelas, kantin sekolah, di taman sekolah, dsb). Bisa juga melalui jaringan sosial media sekolah. Poster dan flyer berisi ajakan dan informasi untuk berkata-kata dan berperilaku santun sesuai dengan norma etika. Guru dan wali kelas juga harus rutin memberikan pengertian bahwa perilaku mengucapkan kata-kata kotor adalah sesuatu yang tercela. Sehingga akan terbentuk mindset dalam diri anak didik untuk tidak mengucapkan kata-kata kotor. Dengan demikian anak didik akan dapat secara mandiri mengendalikan dirinya untuk tidak berkata-kata kotor.

Peran masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam hal ini. Di dalam masyarakat anak bertemu dengan berbagai macam orang beserta karakternya. Masyarakat secara luas harus peduli akan isu ini. Tidak jarang anak-anak terpapar menjadi toxic justru karena pengaruh dari lingkungan masyarakatnya. Para streamer game online, Youtuber, dan konten-konten kreator game online kerap melontarkan kalimat toxic. Ini menjadi rawan untuk ditiru oleh anak-anak.

Saatnya menumbuhkan kesadaran bersama akan pentingnya berkata-kata yang baik. Seperti kata pepatah: berkata-katalah yang baik atau diam. Masyarakat juga harus peduli misalnya jika melihat atau mendengar anak-anak bercanda dengan mengucapkan kalimat kotor maka jangan segan untuk menegurnya.

Bahasa dan kalimat kotor hanyalah cerminan masyarakat yang tidak beradab. Apalagi jika ditarik dalam hukum agama jelas agama manapun melarang penganutnya untuk berkata-kata kotor. Masa depan bangsa ini ada di tangan generasi penerusnya. Sudah seharusnyalah kita mendidik anak dengan segala ajaran sopan santun dan tatakrama. Agar kelak anak kita dapat menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas, unggul, dan berakhlak mulia dalam kompetisi global yang semakin tidak mudah.

Jangan berharap di tahun 2045 bangsa kita akan melompat menuju Indonesia Emas jika perilaku-perilaku minor semacam ini masih merajalela di kalangan pelajar dan anak-anak. Diperlukan kesadaran dan kerjasama dari semua pihak. Karena jelas bahwa perilaku gemar berkata kotor dilihat dari sudut pandang apapun merupakan tindakan tercela. Dan menjadi kewajiban semua pihak untuk memeranginya. Tetap semangat. Salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun