Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah dialog imajiner antara penjual bakso dengan pembelinya.
Pembeli        : "Mas, pesan baksonya 1 porsi. Yang pedas, dibungkus ya."
Penjual Bakso  : "Maaf Pak, saya mau tanya dulu, Bapak berasal dari daerah mana ya?"
Pembeli        : "Saya orang kampung sebelah. Memangnya kenapa Mas?"
Penjual Bakso  : "Memangnya di kampung Bapak nggak ada orang jualan bakso sehingga Bapak beli bakso ke saya?"
Pembeli        : "Ada sih, di perempatan dekat rumah saya."
Penjual Bakso  : "Terus mengapa Bapak beli bakso ke saya? Kan yang dekat rumah ada?"
Pembeli        : "Ya pengen saja Mas. Karena saya dengar bakso buatan Mas enak sehingga banyak pelanggannya."
Penjual Bakso  : "Sebelumnya mohon maaf Pak. Bukannya saya tidak mau melayani pesanan Bapak. Tetapi sekarang sudah berlaku aturan kawasan bakso."
Pembeli        : "Maksudnya gimana Mas?"
Penjual Bakso  : "Begini Pak. Bapak tidak boleh langsung membeli bakso ke tempat yang jauh kalau di dekat rumah tinggal Bapak ada penjual bakso."
Pembeli        : "Loh kok bisa begitu? Apa alasannya? Saya sebagai pembeli bebas dong mau beli bakso dimana saja. Uang juga uang saya."
Penjual Bakso : "Sekarang nggak bisa begitu Pak. Kongres Ikatan Penjual Bakso sudah memutuskan bahwa saat ini pembelian bakso menggunakan aturan kawasan."
Pembeli       : "Terus gimana nih? Mas mau melayani pesanan saya nggak?"
Penjual Bakso : "Maaf Pak. Silahkan Bapak hubungi tukang bakso terdekat."
Pembeli       : "Kalau baksonya tidak enak gimana?"
Penjual Bakso : "Suruh tukang baksonya meningkatkan mutu rasa baksonya supaya lebih enak."
Pembeli       : "Kalau pas saya ke sana baksonya sudah habis gimana?"
Penjual Bakso : "Bapak coba cari tukang bakso lain di sekitaran rumah tinggal Bapak yang jaraknya lebih dekat dibandingkan dengan jarak ke saya."
Pembeli       : "Kalau tidak ada lagi tukang bakso gimana?"
Penjual Bakso : "Bapak minta surat keterangan dari Ikatan Penjual Bakso yang menyatakan bahwa tukang bakso di dekat tempat tinggal bapak tidak bisa melayani Bapak, sehingga saya bisa melayani Bapak."
Pembeli       : "Mau beli bakso sebungkus saja ribet amat ya."
Penjual Bakso : "Memang begitu prosedurnya. Mohon maaf ya Pak."
Pembeli       : #&%*@!#&%*@!
Dialog imajiner di atas merupakan cerita anekdot yang menggambarkan suasana sosiologis dalam masyarakat terkait proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi di sekolah negeri. Betapa begitu semangatnya masyarakat mendaftarkan anak untuk bersekolah di sekolah yang menurutnya baik dan bermutu tetapi tertolak.Â
Tertolak karena rumah tinggal (domisili) masyarakat tersebut tidak termasuk dalam cakupan zonasi sekolah tujuan. Dan disarankan agar mendaftar di sekolah yang lebih dekat dengan domisilinya.
Persoalan semacam ini masih banyak ditemui di tengah masyarakat. Stigma dan labeling sekolah unggulan masih melekat kuat dalam benak masyarakat kita. Masyarakat siap menyekolahkan anak ke sekolah yang lebih jauh dari rumah tinggalnya karena menganggap sekolah tujuan itu lebih baik dan lebih bermutu dibandingkan dengan sekolah yang lebih dekat. Apalagi sudah terbukti jika alumni dari sekolah tujuan tersebut akhirnya menjadi orang sukses di kemudian hari.
Apakah naluri masyarakat yang ingin menyekolahkan anak pada sekolah yang bermutu baik adalah sebuah kesalahan? Lalu mengapa sistem zonasi yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2017 itu masih juga menuai polemik sampai sekarang?
Sekilas Tentang PPDB Sistem Zonasi
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 2017 di era Muhadjir Effendy menjabat sebagai menteri pendidikan kala itu. Dengan lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat maka sistem PPDB Zonasi di Indonesia resmi diterapkan untuk tingkat pendidikan usia dini, dasar dan menengah.
Pelaksana teknis dari sistem ini adalah pemerintah daerah. Yaitu pemerintah daerah kabupaten/kota untuk jenjang pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar (KB/TK/SD/SMP). Sementara pendidikan menengah ditangani oleh pemerintah daerah provinsi (SMA/SMK/SLB).
Ide besar dari kebijakan sistem zonasi ini sebetulnya bagus. Karena pemerintah ingin meningkatkan dan meratakan mutu pendidikan di semua sekolah. Sehingga tidak ada lagi sekolah unggulan dan sekolah pinggiran. Juga adanya semangat untuk mendekatkan akses pendidikan kepada masyarakat. Harapannya masyarakat tidak perlu menyekolahkan anaknya ke sekolah yang jauh dari rumahnya karena sekolah di dekat rumahnya pun memiliki mutu yang sama bagusnya.
Tetapi persoalan kemudian muncul karena ide besar itu tidak disertai dengan persiapan atribut-atribut pendukungnya. Memang jika dicermati PPDB sistem zonasi ini sudah banyak diterapkan di negara-negara maju seperti Australia dan Jepang. Mereka negara-negara maju sudah lama menerapkan sistem zonasi dan berhasil.
Di Indonesia setiap kali musim penerimaan siswa baru atau penerimaan peserta didik baru tidak luput dari polemik dan masalah. Masalahnya selalu berulang dari tahun ke tahun. Mulai dari masyarakat yang masih saja berbondong-bondong mendaftarkan anaknya ke "sekolah favorit", calon siswa yang tidak diterima di sekolah terdekat karena tergeser oleh siswa lain yang disinyalir melakukan akal-akalan di Kartu Keluarga (KK), sementara di satu sisi ada sekolah yang membludak peminatnya dalam PPDB di sisi lain sebaliknya terdapat sekolah yang minim peminat sehingga tidak memenuhi kuota penerimaan siswa baru yang sudah ditetapkan.
Sistem zonasi dilaksanakan dengan mengukur jarak udara melalui titik koordinat secara online dengan google maps dari sekolah ke rumah masyarakat berdasarkan Kartu Keluarga. Otomatis semakin dekat jarak rumah masyarakat dengan sekolah yang dituju maka semakin besar peluang diterima di sekolah itu.Â
Tetapi persoalan kemudian muncul misalnya terjadi mutasi data KK pada calon siswa dari KK keluarga inti dimutasi atau "dititipkan" kepada KK keluarga sanak saudara yang notabene jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah tujuan. Persoalan ini sebetulnya klasik tetapi masih saja terjadi sampai sekarang.
Yang terbaru adalah polemik yang terjadi di salah satu SMA negeri di kota Bogor. Calon siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah tujuan tergeser dengan calon siswa lain yang disinyalir menitipkan data KK nya kepada KK sanak saudara yang jarak rumahnya lebih dekat dengan SMA tujuan. Sehingga walimurid melakukan aksi protes ke sekolah tujuan dengan cara melakukan pengukuran manual menggunakan meteran kayu. Selengkapnya di sini.
Ide Besar Brilian Atribut Perlu Disiapkan
Saya pribadi menilai sejatinya kebijakan PPDB sistem zonasi ini baik adanya. Karena dilatarbelakangi dengan semangat pemerataan akses pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Juga didasari atas ide besar untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang sama baiknya. Tetapi untuk mewujudkan ide besar itu nampaknya bukan sesuatu yang gampang.Â
PPDB sistem zonasi memiliki konsekwensi logis bagi pemerintah daerah agar mempersiapkan atribut-atribut pendukungnya dengan baik. Sehingga sistem zonasi ini dapat berhasil dan tidak menimbulkan polemik yang berulang setiap tahun.
Tentu pemerintah mesti memiliki standar mutu yang baku bagi semua sekolah sehingga tidak ada lagi dikotomi sekolah unggulan dan sekolah pinggiran. Karena sejatinya semua sekolah harus dibentuk agar menjadi sekolah unggulan.Â
Pemerintah harus berupaya agar tidak terjadi ketimpangan antara satu sekolah dengan sekolah yang lain. Semacam menentukan standar kualitas yang sama bagi seluruh sekolah di wilayahnya. Sementara itu sejauh ini masalah ketimpangan mutu pendidikan dan persekolahan masih menjadi isu besar di negara kita secara umum.
Sekolah yang terletak di perkotaan tentu tidak sama situasi dan kondisinya dengan sekolah yang terletak di pelosok desa. Bahkan sekolah dalam satu kawasan zona yang sama pun memiliki perbedaan yang begitu signifikan. Ada sekolah yang gedungnya bagus dilengkapi dengan sarana prasarana yang mencukupi di sisi lain ada juga sekolah yang sebaliknya. Ada sekolah dengan jumlah tenaga pengajar yang cukup tetapi ada juga sekolah yang krisis tenaga pengajar.Â
Selama atribut-atribut pendukung semacam ini belum selesai dibenahi, selama itu pula akan selalu muncul polemik di seputar isu PPDB zonasi. Karena belum meratanya mutu pendidikan maka secara naluriah masyarakat juga akan berbondong-bodong mendaftar pada sekolah yang dianggap baik mutunya.
Kemudian persoalan akal-akalan data kependudukan di Kartu Keluarga (KK). Ini juga memerlukan ketegasan dari pemerintah daerah selaku pelaksana teknis yang bekerjasama dengan pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dindukcapil). Semisal pelarangan untuk mutasi hanya satu anggota keluarga, sehingga tidak terjadi eksodus domisili pada calon siswa yang menumpang pada keluarga sanak saudara hanya demi mengakali jarak supaya lebih dekat dengan sekolah tujuan.Â
Kalaupun terjadi mutasi haruslah satu keluarga penuh (pindah domisili satu keluarga) dan dalam waktu yang telah ditetapkan. Umpamanya mutasi satu KK dalam jangka waktu satu tahun sebelum pelaksanaan PPDB zonasi. Solusi seperti ini agaknya bisa meminimalkan potensi eksodus data kependudukan bagi calon siswa.
Zonasi akan maksimal dan optimal jika jumlah sekolah seimbang dengan jumlah muridnya di setiap sebaran peta konsep wilayah. Jika di wilayah tersebut tidak ada sekolah maka harus dipikirkan juga untuk membangun sekolah baru atau bekerjasama dengan sekolah swasta. Agar tidak ada blank spot sehingga semua anak bangsa dapat terpenuhi hak dasarnya yaitu pendidikan dan pengajaran yang baik.
Menata sistem pendidikan di negara sebesar dan seluas Indonesia dengan tingkat keberagaman dan ketimpangan yang tinggi memang tidaklah mudah. Membutuhkan komitmen serta peta jalan yang jelas agar tujuan yang diharapkan bisa dicapai di masa mendatang. Saya pribadi selalu percaya bahwa perubahan besar itu akan terjadi ketika kita fokus pada detail kekurangan dalam skala yang lebih kecil serta konsisten dan simultan untuk terus memperbaikinya.Â
Lambat laun ide dan gagasan besar itu akan terwujud dengan sendirinya ketika anasir atau atribut pendukungnya sudah beres. Hal ini juga berlaku pada isu seputar PPDB jalur zonasi.
Kelak persepsi masyarakat tentang dikotomi sekolah unggulan dan sekolah pinggiran juga akan memudar dengan sendirinya. Seiring dengan peningkatan mutu sekolah-sekolah yang ada. Zonasi juga akan memacu persaingan sehat diantara sekolah-sekolah dalam zona yang sama.Â
Sehingga diharapkan akan muncul semangat untuk selalu menjaga mutu pelayanan pendidikan dan prestasi agar sekolah semakin dipercaya dan dicintai oleh masyarakatnya. Apakah hal itu bisa terwujud? Bisa meskipun tidak mudah. Selamat berjuang. Tetap semangat. Maju terus pendidikan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H