Anak didik di situ akan sangat paham dan mengerti sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan agraris. Tetapi faktanya kadang justru yang diajarkan dalam pembelajaran di bangku sekolah berbeda dengan konteks yang dialami oleh anak didik. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan agraris dan di bangku sekolah ia mendapatkan pelajaran tentang kelautan, perindustrian dan seterusnya yang tidak sejalan dengan pengalamannya sehari-hari.Â
Tidak relevan dan tidak kontekstual. Akhirnya si anak didik tidak paham dan mengerti untuk apa itu semua ia pelajari di sekolah. Hanya untuk menumpuk pengetahuan yang tidak sesuai dengan konteks kehidupannya sehari hari. Menjadi kurang bermakna proses pembelajaran itu.
Ini yang disebut oleh Paulo Freire dengan konsep pendidikan bergaya bank (bangking concept of education). Dimana guru hanya menabung dan menumpuk deposit pengetahuan pada siswanya.Â
Sementara siswa sendiri kurang mengerti untuk apa ia belajar itu semua. Atas fenomena ini Paulo Freire menawarkan konsep pendidikan hadap masalah (posing problem education).Â
Sederhananya pendidikan hadap masalah merupakan proses pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru, tetapi juga melibatkan dialog antara guru dan murid. Guru memberikan ruang bagi siswa untuk berpendapat dan memahami realitas sosial secara kritis.Â
Dengan pengetahuan yang mendasar, diharapkan siswa dapat mencari solusi untuk memperbaiki dinamika masyarakat agar lebih berdaya. Memahami realitas sosialnya secara kritis. Pembelajaran yang dilakukan sesuai realitas sosial yang dihadapi anak didik. Kita menyebutnya hari ini dengan pembelajaran kontekstual.
Saya dan para pembaca semua mungkin merupakan hasil produk dari pendidikan bergaya bank tadi. Dimana saat kita bersekolah guru mengajarkan pengetahuan pada kita yang rasa-rasanya jauh dengan konteks yang kita alami sehari-hari. Tentu dalam hal ini guru tidak bisa disalahkan. Karena guru mengajar sesuai dengan kurikulum saat itu. Dan mungkin kurikulum saat itu memang mengamanatkan guru harus mengajarkan materi yang demikian adanya.
Nampaknya inilah yang ingin diubah oleh kurikulum merdeka. Dimana guru diberikan keleluasaan. Bukan hanya berperan sebagai pelaksana kurikulum tetapi lebih jauh guru dan sekolah memiliki peranan sebagai pengembang kurikulum. Maka juga dikenal adanya istilah Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP).Â
Kurikulum yang disusun secara operasional dengan memperhatikan potensi dan keunikan serta keberagaman pada masing-masing satuan pendidikan. Diharapkan agar kurikulum yang dikembangkan di sekolah tersebut memiliki nilai operasional yang relevan dengan konteks lingkungan kemasyarakatan dimana satuan pendidikan itu berada.
Tujuan akhirnya tentu agar anak didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Tahu, mengerti dan paham serta bisa mengoperasionalkan pengetahuan dan wawasan yang ia dapatkan di sekolah agar bermanfaat untuk keberlangsungan hidupnya sehari-hari. Hal ini juga diperkuat dengan konsep profil pelajar pancasila dalam kurikulum merdeka. Maksud dan tujuannya mengarah ke titik yang sama.