Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pergulatan Guru di Tengah Isu Dekadensi Moral Siswa

11 Februari 2024   15:12 Diperbarui: 22 Februari 2024   11:47 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasu guru dan siswa. (Sumber: Kompas.com/Sucipto)

Para pembaca sekalian pernah melihat siswa yang merokok? Juga pasti pernah melihat siswa di bawah umur mengendarai sepeda motor? Atau melihat sekelompok siswa bermain game sepulang sekolah dengan mengucapkan kata-kata toxic? 

Itulah fenomena pemandangan yang kerap kita temui dewasa ini. Yang membuat kita terkadang menjadi mengelus dada. Dan bertanya-tanya beginikah cerminan hasil dari pendidikan karakter?

Tentu saja tidak. Pendidikan karakter dalam setiap kurikulum apapun pasti mengusung nilai-nilai etis mulia. Yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. 

Ambil contoh dulu pada era kurikulum KTSP 2006 pernah dicanangkan konsep penanaman 18 karakter bangsa. Lalu pada era kurikulum 2013 juga dicanangkan program penumbuhan budi pekerti serta konsep Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).

Dan jangan lupa pada era Kurikulum Merdeka sekarang dengan konsep Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Tetapi bukan di situ masalahnya. Kini kita dihadapkan pada sebuah masa di mana terjadi disrupsi besar-besaran sebagai pengaruh perkembangan zaman dan arus deras kemajuan teknologi.

Kontradiksi sebagai Pengaruh Era Disrupsi

Era disrupsi adalah masa di mana perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan karena adanya inovasi yang begitu hebat sehingga mengubah sistem dan tatanan kehidupan masyarakat secara luas. Dan dewasa ini kita semua telah sampai pada masa itu.

Saya teringat pada sebuah rapat sekolah yang diselenggarakan beberapa waktu lalu. Salah seorang sahabat guru menyampaikan pendapatnya. Beliau merasakan kegundahan atas perilaku sopan-santun siswanya yang dirasa semakin memudar. 

Beberapa siswa kerap mengucapkan kata-kata kasar saat bercanda dengan teman, rasa percaya diri siswa yang menurun dalam pembelajaran, sampai pada kurangnya rasa menghargai terhadap guru.

Saya bersama kepala sekolah serta rekan-rekan guru lain mendengarkan dengan saksama keluhan sahabat saya ini. Hingga terjadi diskusi yang cukup hangat di antara kami semua. 

Saya merasa apa yang disampaikannya cukup mewakili perasaan saya dan mungkin juga perasaan kebanyakan guru dewasa ini. Terkait fenomena dekadensi moral siswa.

Sekolah manapun tentu mengajarkan budi pekerti dan akhlak mulia pada siswa-siswinya. Beragam cara dilakukan untuk membentuk karakter positif pada siswa. 

Melalui gerakan pembiasaan sebagai tindak lanjut penerapan disiplin positif di sekolah. Juga tak kurang dalam pembelajaran di kelas guru juga menanamkan nilai-nilai etis dengan beragam metodenya masing-masing. 

Lalu pastinya melalui konsep Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang tengah gencar-gencarnya dilakukan di era kurikulum Merdeka ini. Intinya setiap sekolah yang baik pasti sudah melakukan segala cara dan upaya untuk membina dan mendidik agar siswanya memiliki budi pekerti dan akhlak mulia.

Tetapi mesti diingat juga siswa bisa belajar dari siapapun dan dari manapun. Bukan hanya belajar dari guru saja. Karena siswa hidup di lingkungan yang luas. 

Menilik kembali teori tabula rasa yang dicetuskan oleh John Locke dan Thomas Hobbes. Bahwa siswa diibaratkan selembar kertas putih, kosong dan bersih. Kertas itu akan dicorat-coret oleh kesehariannya. Oleh siapapun yang dia temui dalam kehidupannya. Artinya bahwa siswa menyerap apa saja yang dia temui dalam kesehariannya.

Diakui atau tidak bahwa apapun yang ditemui siswa tidak selalu sejalan dengan apa yang diajarkan di sekolah. Tidak ada sekolah mengajarkan merokok. Tidak ada guru mengajarkan siswa di bawah umur untuk mengendarai sepeda motor. Juga tidak mungkin ada lembaga pendidikan manapun yang mengajarkan anak didiknya untuk berkata-kata kotor (toxic). 

Semua pasti mengajarkan hal yang baik. Tetapi di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari siswa tak jarang menemui kenyataan yang berbeda. Bercampur baur di tengah masyarakat segala nilai-nilai kehidupan. Yang positif maupun negatif. Terdapat kontradiksi di sana.

Memang perlu sekali pendidikan etika yang pas untuk anak-anak sekarang. Karena terdapat distorsi (pembiasan) baik perilaku, tren, maupun teladan yang dicontohkan dari lingkungan sekitarnya cukup mengerikan saat ini. Sebagai dampak dari terjadinya era disrupsi.

https://eduprima.id/2023
https://eduprima.id/2023

Posisi dan Peranan Guru

Dalam konteks pembentukan pendidikan karakter siswa dewasa ini, guru berada dalam posisi yang tidak mudah. Sebagaimana telah dijelaskan di atas kita mengerti dan menyadari akan fenomena dekadensi moral siswa sebagai pengaruh dari era disrupsi sekarang ini.

Idealnya memang perkembangan jaman yang begitu luar biasa ini harus diikuti dengan penanaman nilai-nilai etis dan pembentukan karakter yang kuat. Agar anak-anak tidak terseret arus negatif dari perkembangan jaman itu sendiri. Agar anak-anak tetap menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia.

Masih ingat kejadian-kejadian kekerasan di sekolah yang dilakukan baik oleh oknum guru maupun oknum siswa itu sendiri? Sekarang marak bukan kejadian menyimpang semacam itu? Guru dan sekolah harus bisa menempatkan diri dengan tepat dan presisi.

Saya yakin sampai kapanpun isu yang berkaitan dengan moralitas siswa kita tidak akan pernah redup untuk dibicarakan. Semakin majunya zaman maka isu ini juga akan semakin santer mendapat perhatian serius diantara kita semua.

Ki Hajar Dewantara dan Rabindranath Tagore menawarkan solusi sekolah asrama lewat pandangan kritisnya. Dengan asumsi berpikir bahwa di dalam sekolah asrama siswa hidup dalam miniatur kehidupan yang ideal. Di mana siswa secara intensif bertemu dan berinteraksi dengan siapapun dalam sebuah "rekayasa" lingkungan terbaik. 

Siswa belajar dan berinteraksi dari guru dan lingkungan yang sesuai dengan visi misi pembentukan karakter itu sendiri. Di dalam sekolah asrama siswa belajar banyak kebaikan dan minim pengaruh negatif dari yang datangnya dari luar. Ini dianggap cukup efektif untuk membentuk moral etika siswa menurut kedua tokoh pendidikan tadi.

Tapi kemudian timbul pertanyaan, "Bukankah tidak selamanya siswa hidup dan berinteraksi di dalam asrama? Karena toh kelak siswa juga kembali hidup di tengah-tengah masyarakat yang heterogen dengan segala percampuran nilai dan tradisi di dalamnya? Siapa yang menjamin siswa setelah lulus dan keluar dari asrama maka tidak akan terkontaminasi pengaruh-pengaruh negatif?" Artinya tawaran solusi ini pun juga terdapat plus minus di dalamnya.

Karena pada dasarnya guru tidak bisa bergerak sendirian. Dalam melawan fenomena dekadensi moral ini perlu kerja sama dan kebulatan tekad dari semua pihak. 

Guru dan sekolah tidak akan mampu menjadi superhero dalam mendidik karakter siswanya. Justru guru dan sekolah harus sangat berhati-hati dalam hal ini. 

Tidak sedikit kejadian guru dan sekolah ingin menegakkan aturan untuk mendisiplinkan siswanya justru malah berujung pada tuntutan hukum di muka pengadilan. Maksudnya baik tapi malah berujung menimbulkan masalah yang tidak baik bagi guru dan sekolah itu sendiri. Menjadi serba salah memang.

Konsep trilogi pendidikan milik Ki Hajar Dewantara memang sangat tepat. Karena di dalam konsep tersebut menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Bahkan menurut saya tanggung jawab tersebut harus disertai komitmen kuat di antara tiga elemen tadi. 

Tanpa komitmen yang kuat serta visi misi yang sejalan rasanya akan sulit mewujudkan keberhasilan pembentukan karakter. Salah-salah malah terjadi percekcokan dan saling menuntut antara keluarga, sekolah dan masyarakat.

Guru akan selalu ada dalam soal pergulatan pendidikan karakter dan fenomena dekadensi moral siswanya. Sejatinya yang bisa dilakukan guru hanyalah ikhtiyar semaksimal mungkin dengan segala metode dan pendekatan agar terbentuk karakter siswa yang baik. 

Mengutip kata-kata mutiara KH. Maimoen Zubair bahwa "Jadi guru tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak serahkan pada Allah. Didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah".

Bisa ditafsirkan pintar atau cerdas yang dimaksud bukan hanya sebatas cerdas intelektual semata. Tetapi lebih jauh termasuk cerdas emosional dan cerdas sosial. 

Semoga para guru tetap sabar dan istiqomah dalam mendidik generasi penerus bangsa ini. Dan tak henti mendoakan agar anak-anak didiknya selalu dalam hidayah dan lindungan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Amin Ya Robbal Alamin. Tetap semangat para guru Indonesia. Salam blogger persahabatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun