Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menilik Fenomena Siswa di Bawah Umur Mengendarai Sepeda Motor

27 Januari 2024   16:59 Diperbarui: 28 Januari 2024   06:33 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usia 17 tahun di Indonesia secara normal adalah usia siswa SMA sederajat. Kecuali bagi mereka yang sering tinggal kelas mungkin belum SMA tapi sudah 17 tahun.

Adanya batasan usia dalam mengendarai sepeda motor tentu bukan tanpa alasan. Anak-anak sekolah yang belum cukup umur berangkat sekolah dan kesana kemari menggunakan sepeda motor tentu sangat beresiko. Karena anak usia di bawah 17 tahun secara psikologis belum matang. Belum dewasa dalam bersikap dan bertindak. Sehingga dalam berkendara beresiko mengancam keselamatan. Baik keselamatan diri sendiri maupun keselamatan pengguna jalan yang lain.

Tapi agaknya pihak sekolah juga kualahan dalam mengatasi siswa-siswinya yang nyeleneh itu. Alih-alih siswa-siswi dilarang ke sekolah dengan membawa sepeda motor malah semakin hari semakin banyak saja terlihat di jalanan. Sangat terlihat saat jam berangkat dan jam pulang sekolah. Ini merupakan sebuah keprihatinan. Hal yang salah dan keliru tapi tidak bisa dicari solusi bagaimana cara mengatasinya. Karena jelas secara aturan siswa di bawah usia 17 tahun berkendara dengan sepeda motor itu salah.

Kenyataan ini diperparah dengan masyarakat yang agaknya permisif dan pragmatis. Justru banyak masyarakat yang menyediakan lahan parkir di depan rumahnya untuk memarkir sepeda motor para siswa ini dengan tarif yang cukup terjangkau. Jadilah simbiosis mutualisme, siswa berangkat ke sekolah dengan bersepeda motor, diparkir dengan aman di rumah warga masyarakat dan warga masyarakat mendapatkan cuan serta pemasukan dari uang sewa parkir. Sungguh kenyataan yang miris.

Sementara pihak sekolah kualahan untuk mendisiplinkan siswanya ini, justru tidak sedikit orangtua menganggap semua itu hal yang wajar. Tak jarang orangtua beranggapan dengan mengendarai sepeda motor sendiri dianggap membantu orangtua. Karena si anak dapat berangkat dan pulang sekolah sendiri. Dan orangtua tidak perlu repot mengantar dan menjemput anaknya bersekolah. Luar biasa!

Ada juga kelompok orangtua yang berusaha tidak mengijinkan serta melarang anaknya untuk berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor. Tetapi kualahan karena si anak bersih keras dan mengancam jika tidak diijinkan menggunakan sepeda motor ke sekolah maka si anak akan mogok bersekolah. Akhirnya orangtua berada dalam posisi serba salah dan berujung mengalah pada keinginan anaknya itu.

Maka jadilah fenomena ini seperti peribahasa dalam masyarakat Jawa, "Salah kaprah bener ora lumrah". Yang artinya kurang lebih kesalahan yang terjadi karena kebiasaan dengan sesuatu yang salah dan dibiarkan terus berjalan tanpa usaha perbaikan pemakainya. Sesuatu yang sebetulnya salah tetapi dianggap wajar karena dibiarkan begitu saja.

Perlunya Kesadaran Bersama

Padahal jika dipikir secara jernih berangkat ke sekolah tidak harus siswa mengendarai sepeda motor sendiri. Ada banyak ragam cara untuk siswa berangkat ke sekolah. Bisa berjalan kaki, naik sepeda onthel, naik angkutan umum atau diantar langsung oleh orangtuanya. 

Saya juga kerap mendapati beberapa anak yang berangkat sekolah dengan berjalan kaki untuk yang rumahnya dekat dengan sekolahnya. Atau dengan cara naik angkutan umum untuk yang rumahnya agak jauh. Semua dapat berjalan dengan baik tanpa harus melanggar peraturan lalu lintas.

Di jaman saya sendiri bersekolah era tahun 2000-an awal sangat jarang ditemui siswa di bawah umur yang berangkat sekolah dengan mengendarai sepeda motor. Karena saat itu harga sepeda motor tergolong mahal dan jarang warga masyarakat yang mampu membeli. Kalaupun mampu membeli, ya dipakai sendiri. Tidak diperuntukkan untuk anak-anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun