Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengapa Dalam Kurikulum Merdeka Sistem Ranking Harus Dihapus?

30 Desember 2023   07:47 Diperbarui: 31 Desember 2023   12:25 3110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru memberi apresiasi kepada muridnya | Sumber: Dokpri

Di suatu pagi yang cerah saya mendapat pesan whatsapp dari salah seorang wali murid alumni. Anaknya sudah lulus dari SD dan sekarang tengah bersekolah di SMP kelas 7. Begini bunyi pesannya, "Assalamualaikum Wr Wb. Gimana kabarnya pak? Sehat Pak Hevi? Alhamdulillah atas doa dan dukungan dari bapak anak saya mendapat ranking 3. Saya sebagai orangtua bangga pak." 

Wali murid alumni tersebut merasa bahagia dan bangga karena anaknya yang sekarang tengah duduk di SMP kelas 7 mendapatkan peringkat 3 di kelasnya untuk semester 1 tahun pelajaran ini. Tentu pesan tersebut saya balas dengan ucapan bahagia serta tak lupa juga saya sematkan harapan dan doa agar anak tersebut semakin berprestasi di tingkat SMP.

Beberapa hari kemudian salah seorang rekan guru SD di kabupaten sebelah juga membuat postingan status di akun facebooknya dengan nada yang tidak jauh berbeda dengan wali murid tadi.

Begini kira-kira bunyi statusnya, " Di era Kurikulum Merdeka yang katanya tidak ada perankingan karena setiap individu itu istimewa, tetapi bagi saya pribadi memberi apresiasi bagi yang belajar lebih tekun, berusaha lebih keras dan aktif di berbagai kegiatan pembelajaran adalah hal yang sah-sah saja dengan tujuan motivasi dan refleksi. Ini potret 4 besar di kelas saya."

Begitulah bunyi status sahabat tersebut dilampiri dengan foto dirinya bersama anak murid yang tengah menerima hadiah karena mereka mendapatkan peringkat atau ranking 4 besar di kelasnya.

Mencoba membaca dan memahami konstruksi berpikir dua orang tersebut saya menjadi bertanya, mengapa sih perankingan itu harus dihapus dari kurikulum pendidikan kita sekarang? Bukankah wajar ya mereka yang berprestasi mendapatkan apresiasi lebih? sebagai bentuk penghargaan untuknya? 

Pemberian penghargaan bagi mereka yang berprestasi juga bukan berarti mendiskreditkan yang belum berprestasi. Justru jika dimaknai secara positif itu akan bisa memacu agar mereka bisa berusaha dan belajar dengan lebih giat lagi.

Ilustrasi guru memberi apresiasi kepada muridnya | Sumber: Dokpri
Ilustrasi guru memberi apresiasi kepada muridnya | Sumber: Dokpri

Setiap Anak Unik Dan Istimewa

Konon penghapusan perankingan di Kurikulum Merdeka didasarkan pada asumsi berpikir bahwa setiap anak itu unik dan istimewa serta punya kelebihannya masing-masing. 

Jadi tidak tepat jika anak dengan bakat, kemampuan dan potensi yang berbeda itu kemudian dibandingkan melalui sistem perankingan. Memang secara sunatullahnya sudah begitu. Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Tetapi dalam dunia pendidikan tentu ada rumusan konsep tujuan pembelajaran yang mesti dicapai dan dikuasai oleh si peserta didik. Inilah yang kemudian diukur dengan sejumlah instrumen dan teknik penilaian. 

Pada akhirnya dari situ bisa diketahui dan diukur kemampuan dari setiap anak didik. Kemampuan yang didasarkan pada ketercapaian tujuan pembelajarannya. Jadi tetap ada parameter dan ukuran yang jelas terkait keunikan dan keistimewaan yang dimaksud. Hasil konkritnya adalah nilai yang tercantum dalam daftar nilai dan berujung pada nilai rapor.

Sudah sewajarnya menjadi tugas guru sebagai pendidik dan pengajar untuk mendorong setiap bakat dan potensi yang dimiliki anak didik agar berkembang secara optimal. Kurikulum apapun dan dimanapun saya kira juga seperti itu. Itu sudah jadi sebuah keniscayaan karena tujuan pendidikan itu sendiri adalah untuk memanusiakan manusia. Mengembangkan potensi dan kemampuan anak didik agar menjadi manusia yang utuh dan paripurna.

Lalu mengapa dengan alasan keunikan dan keistimewaan tadi sistem ranking mesti dihapus? Manusia secara alami dan kodrati pada dasarnya adalah makhluk yang senang dengan kompetisi sebagai bentuk aktualisasi diri. Setidaknya ada tiga teori tentang hal ini.

Pertama, teori psikologi kepribadian Alfred Adler yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan rasa rendah diri dan berusaha untuk mengatasi kelemahan mereka dengan berkompetisi dengan orang lain.

Kedua, teori psikologi humanistik Abraham Maslow yang mengajukan konsep Hierarchy of Needs atau hierarki kebutuhan. 

Dalam teori ini Maslow mengatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum mencapai kebutuhan yang lebih tinggi, seperti penghargaan diri dan aktualisasi diri. Manusia berkompetisi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini dan mencapai potensi terbaik mereka.

Ketiga, teori sosiologi Aristoteles yang menyebutkan manusia sebagai Zoon Politicon atau makhluk sosial. Yang berarti manusia memiliki kecenderungan alami untuk hidup dalam masyarakat dan berpartisipasi dalam urusan publik. Manusia berkompetisi untuk memperoleh kekuasaan, kehormatan, dan keadilan dalam masyarakat.

Adanya sistem perankingan membuat anak didik lebih semangat untuk berkompetisi. Dalam artian positif agar dapat memaksimalkan potensi terbaiknya dalam menyerap segala ilmu pengetahuan, wawasan, keterampilan dan skill hidup yang diajarkan di sekolah. Tanpa perlu mengesampingkan kolaborasi dengan orang lain dan mengebiri keunikan-keunikan yang mereka punya.

Menilik Hasil PISA 2022

Pembaca pasti masih ingat tentang hasil PISA 2022 yang kemarin baru dirilis? Dimana dalam hasil PISA 2022 menunjukkan hasil belajar literasi Indonesia naik 5 sampai 6 posisi dibanding PISA 2018. Peningkatan ini merupakan capaian tertinggi sepanjang sejarah Indonesia mengikuti PISA.

PISA diselenggarakan setiap tiga tahun oleh OECD untuk mengukur literasi membaca, matematika, dan sains pada murid berusia 15 tahun. 

Pada 2022, PISA diikuti oleh 81 negara, yang terdiri dari 37 negara OECD dan 44 negara mitra. Selain menggunakan PISA, sejak 2021 Indonesia telah melaksanakan Asesmen Nasional (AN) untuk memetakan kualitas pendidikan di setiap sekolah dan daerah secara lebih komprehensif.

Artinya pendidikan kita sendiri secara nasional juga dibandingkan dengan negara lain dan kemudian diranking muncullah hasil PISA itu. 

Lalu mengapa dalam kurikulum kita perankingan mesti dihapus sedangkan pendidikan kita saja ikut diperbandingkan dalam PISA tadi? 

Yang sejatinya tingkat literasi dan numerasi anak didik kita juga diranking dengan negara-negara lain. Dan kita bangga karena ranking PISA kita kemarin naik. Sama bangganya dengan wali murid dan atau guru yang mengetahui anak dan muridnya mendapat peringkat bagus diantara teman-temannya yang lain.

Jadi saya tetap berkeyakinan bahwa semestinya sistem ranking tidak perlu dihapuskan dalam kurikulum kita. Biar saja sistem itu tetap ada sebagai pemacu anak-anak agar belajar dengan lebih giat lagi. Juga sebagai salah satu tolak ukur tingkat keberhasilan anak dalam belajarnya, sehingga menjadikan guru dan orangtua juga aware dengan perkembangan belajar anak-anak.

Dalam era globalisasi sekarang ini kompetisi dan prestasi menjadi hal yang dikejar oleh hampir semua negara. Negara-negara maju di dunia saling berkompetisi dalam berbagai bidang kehidupan untuk menuju sebuah kemajuan peradaban. Mereka berlomba-lomba untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologinya sehingga menjadi negara yang semakin maju, adil dan makmur.

Adanya sistem perankingan bukan berarti menafikkan keistimewaan dan keunikan masing-masing anak didik. Tetapi dengan adanya perankingan merupakan sebuah bentuk apresiasi dan penghargaan bagi prestasi yang telah diraih anak didik itu sendiri. 

Bagi yang belum berprestasi adalah menjadi tugas guru dan orangtua untuk bersama-sama peduli dan membimbing anak-anak agar bisa lebih baik lagi dalam proses belajarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun