Jadi tidak tepat jika anak dengan bakat, kemampuan dan potensi yang berbeda itu kemudian dibandingkan melalui sistem perankingan. Memang secara sunatullahnya sudah begitu. Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Tetapi dalam dunia pendidikan tentu ada rumusan konsep tujuan pembelajaran yang mesti dicapai dan dikuasai oleh si peserta didik. Inilah yang kemudian diukur dengan sejumlah instrumen dan teknik penilaian.Â
Pada akhirnya dari situ bisa diketahui dan diukur kemampuan dari setiap anak didik. Kemampuan yang didasarkan pada ketercapaian tujuan pembelajarannya. Jadi tetap ada parameter dan ukuran yang jelas terkait keunikan dan keistimewaan yang dimaksud. Hasil konkritnya adalah nilai yang tercantum dalam daftar nilai dan berujung pada nilai rapor.
Sudah sewajarnya menjadi tugas guru sebagai pendidik dan pengajar untuk mendorong setiap bakat dan potensi yang dimiliki anak didik agar berkembang secara optimal. Kurikulum apapun dan dimanapun saya kira juga seperti itu. Itu sudah jadi sebuah keniscayaan karena tujuan pendidikan itu sendiri adalah untuk memanusiakan manusia. Mengembangkan potensi dan kemampuan anak didik agar menjadi manusia yang utuh dan paripurna.
Lalu mengapa dengan alasan keunikan dan keistimewaan tadi sistem ranking mesti dihapus? Manusia secara alami dan kodrati pada dasarnya adalah makhluk yang senang dengan kompetisi sebagai bentuk aktualisasi diri. Setidaknya ada tiga teori tentang hal ini.
Pertama, teori psikologi kepribadian Alfred Adler yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan rasa rendah diri dan berusaha untuk mengatasi kelemahan mereka dengan berkompetisi dengan orang lain.
Kedua, teori psikologi humanistik Abraham Maslow yang mengajukan konsep Hierarchy of Needs atau hierarki kebutuhan.Â
Dalam teori ini Maslow mengatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum mencapai kebutuhan yang lebih tinggi, seperti penghargaan diri dan aktualisasi diri. Manusia berkompetisi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini dan mencapai potensi terbaik mereka.
Ketiga, teori sosiologi Aristoteles yang menyebutkan manusia sebagai Zoon Politicon atau makhluk sosial. Yang berarti manusia memiliki kecenderungan alami untuk hidup dalam masyarakat dan berpartisipasi dalam urusan publik. Manusia berkompetisi untuk memperoleh kekuasaan, kehormatan, dan keadilan dalam masyarakat.
Adanya sistem perankingan membuat anak didik lebih semangat untuk berkompetisi. Dalam artian positif agar dapat memaksimalkan potensi terbaiknya dalam menyerap segala ilmu pengetahuan, wawasan, keterampilan dan skill hidup yang diajarkan di sekolah. Tanpa perlu mengesampingkan kolaborasi dengan orang lain dan mengebiri keunikan-keunikan yang mereka punya.
Menilik Hasil PISA 2022