Mohon tunggu...
Andika_SAM
Andika_SAM Mohon Tunggu... Insinyur - Mahasiswa S2 Rekayasa Energi Terbarukan

Kreatifitas dan Berpikir Kritis adalah dua dari tiga sisi mata uang. Satu sisinya lagi adalah Persepsi. Paham durian mana yang enak atau nggak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Carut Marut Pendidikan di Indonesia

8 Maret 2017   13:43 Diperbarui: 8 Maret 2017   13:51 2250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika masih SMA sebelum berangkat sekolah orang tua selalu berpesan agar penulis serius dan rajin belajar. Untuk ukuran anak SMP/SMA mungkin pesan itu kedengaran klise karena terlalu sering didengar. Namun sekarang sudah lebih dari situ, sudah saatnya berpikir apakah semua anak pelajar di Indonesia memiliki perasaan yang sama terhadap pendidikannya? Apakah semua orang tua mengerti betapa dibutuhkannya pendidikan yang berkualitas dan kuat demi masa depan bangsa yang dimulai dari masa depan anaknya sendiri? Sekarang sudah waktunya bangsa ini untuk lebih kritis lagi menganggapi perkembangan pendidikan Indonesia yang sesungguhnya sedang “pesakitan”. Mengapa?

            Berikut faktor – faktor yang mendukung degradasi pendidikan Indonesia.

            Pertama, sistem pendidikan di Indonesia kurang kreatif. Skema penyelenggaraan pendidikan yang dibangun selama masa sekolah sebenaranya tidak terlalu relevan dengan kebutuhan siswa. Setiap manusia dilahirkan dengan batu mulia masing – masing (bakat, karakter) yang berbeda – beda. Oleh karena itu, manusia perlu “menggosok batu mulianya” tersebut dengan cara yang  spesifik. Setidaknya terdapat tiga cara belajar manusia yang umum diketahui yakni Visual, Auditori, dan Kinestetik. Setiap tipe belajar memerlukan cara yang unik dan memerlukan perhatian khusus. Visual person adalah orang yang lebih mudah mengingat apa yang dibaca daripada didengar, Auditori personlebih mengutamakan cara mendengarkan, dan Kinestetik person lebih menyukai aktivitas fisik dan bersentuhan dengan alat peraga. Dapat dikatakan bahwa sistem pembelajaran selama ini yang cenderung searah dan monoton sungguh tidak efektif.

            Kedua, kurikulum yang tampak maksa.  Belajar di Indonesia, siswa SMA hanya memiliki libur 7 minggu dengan jadwal sekolah masuk pukul 06.30 keluar pukul 15.00. Dilengkapi sekitar 16 mata pelajaran untuk umum  yang setiap mata pelajarannya dibarengi tugas.  Di akhir semester atau caturwulan siswa dihadapkan kepada beragam ujian. Hari Senin sampai Selasa, rata – rata pelajar Indonesia (SMP dan SMA) menghabiskan waktu sekitar 6 – 7 jam di sekolah, sedangkan pada Jumat dan Sabtu sekitar 4 – 5 jam. Jika dikalkulasikan maka setiap anak per minggunya memerlukan 35 jam/minggu untuk 16 mata pelajaran. Jika 35 jam dibagi 16 berarti setiap mata pelajarannya dijatahi 2,18 jam. Setiap kali proses ajar-mengajar seyogyanya guru harus mengulas kembali materi yang lalu sebelum memberikan materi baru. Perlu dilakukan penelitian cermat untuk memperhitungkan efektifitas sistem belajar dengan beragam mata pelajaran ini.

Menyadari hal tersebut menuntut kita perlu membudidayakan pemikiran efektif seperti berikut. Apakah seorang atlet gulat profesional harus mempelajari struktur kimia kompleks agar sukses? Apakah seorang yang bermimpi menjadi enterpreneur harus mempelajari kebudayaan Mesir Kuno agar sukses? Beranjak dari hal ini, ternyata kedalaman pemahaman di suatu bidang jauh lebih dibutuhkan daripada keluasan pengetahuan. Sikap fokus pada satu atau beberapa ilmu pengetahuan yang berkaitan lebih dapat membuat pelajar Indonesia menemukan dan mengembangkan minatnya, minat siswa kemudian ditindaklanjuti oleh sekolah yang bertugas sebagai fasilitator untuk menyediakan sarana prasarana tepat guna.

Faktor ketiga adalah kurangnya kesiapan pihak sekolah dan tenaga ajar dalam mengejawantahkan kurikulum yang diamanatkan oleh Pemerintah. Meninjau kembali Kurikulum 2013 yang menuai berbagai keluhan dari guru di berbagai daerah. Retno Listyarti selaku Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada tahun 2016 mengatakan terdapat berbagai keluhan kurangnya pemahaman guru terhadap Kurikulum 2013. Kondisi ini menuntut adanya pelatihan guru yang berkelanjutan, terstruktur, dan sistematis.

Kondisi diatas ini diperparah dengan kurangnya sarana dan prasarana pendidikan. Mungkin bagi kita yang tinggal di perkotaan kondisi ini tidak begitu tampak, namun ketika beranjak pergi ke daerah pedesaan keadaan ini semakin kentara. Tak perlu langsung masuk ke tempat terpencil seperti yang dipertontonkan televisi, walau di pinggiran kota kita akan mulai susah menemukan sekolah negeri sarana lengkap seperti laboratorium lengkap atau lapangan olahraga. Bahkan atap dan kursi sekolah saja sudah mulai lapuk dan renta. Untuk kegiatan belajar saja sudah tak nyaman, buat apa jauh-jauh berkhayal ingin menciptakan insan pendidikan yang berkualitas. Oleh karena perbedaan prasarana tersebut, seorang siswa sekolah terpencil tentu harus berusaha jauh lebih besar dibandingkan siswa sekolah berfasilitas lengkap di kota untuk mencapai prestasi yang sama baiknya.

Back to the topic, mari kita angkat kembali garis – garis besar mengenai faktor yang menyebabkan carut marutnya dunia pendidikan negeri kita.

Keempat masalah tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan memberdayakan peran dari segenap elemen masyarakat termasuk pemerintah, orangtua dan guru.  Untuk masalah kurangnya kreativitas, pihak sekolah dapat bekerja sama dengan orangtua dengan konsep Win-Win Learning. Orangtua sebagai keluarga yang berinteraksi paling intensif dengan sang pelajar dapat me-monitor dan mengevaluasi kemajuan studi akademis anak. Sekolah kemudian menerima laporan dari orangtua kemudian sebagai tindak lanjutnya sekolah memberikan hak suara bagi siswa untuk memilih oknum guru mana yang lebih disukai untuk menjadi guru pembimbing. Dengan konsep seperti ini, guru pembimbing dan siswanya dapat mengalami suasana belajar yang efektif.

Untuk masalah kurikulum yang kurang sesuai diterapkan, dalam hal ini pemerintah dan sekolah harus aktif bekerjasama. Sekolah harus mengevaluasi sistem didik dan tenaga ajarnya apakah sudah siap atau tidak sebelum menerapkan kurikulum baru. Jika sudah siap, kurikulum dapat dilaksanakan. Jika dirasa tenaga ajar kurang siap secara keseluruhan, harus dilaksanakan pelatihan yang sistematis dan komprehensif. Harus dipastikan juga kesediaan sarana/prasarana yang mendukung kesuksesan kurikulum yang akan diimplementasikan.

Kekurangan sarana pendidikan dapat diatasi melalui kerjasama dengan pihak luar sekolah. Pemerintah dapat menyediakan Educentre Facility. Disini terdapat Laboratorium umum, lapangan umum, dan Perpustakaan Umum yang dapat digunakan oleh sekolah – sekolah berkekurangan disekitarnya, jadi sekolah tersebut dapat menggunakan Educentre facility bergantian dan terjadwal. Langkah ini dapat ditempuh bila membangun laboratorium baru per sekolah dirasa kurang efektif dan efisien.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun