"I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots." -- Albert Einstein,1995
"Everyone is living for everyone else now. They're doing stuff so they can tell other people about it..." Â Â -- Karl Pilkington, 2014
Dari 2 kutipan di atas dapat kita lihat bahwa Albert Einstein sendiri telah memprediksikan apa yang akan terjadi di masa kini yang dimana masa ketika semua orang bergantung pada gadget dan media sosial yang mereka punya. Selain itu, Karl Pilking berkata bahwa kini semua orang hidup untuk orang lain dan mereka melakukan hal-hal untuk diberitahukan kepada yang lainnya.
Media sosial sudah menjamur dan menjadi candu bagi masyarakat terutama para remaja di zaman millenial ini.  Menurut Bapak Suharto,Kepala Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan, mengatakan berdasarkan data BPS, dari 143 juta jiwa anak muda terhitung 54 persen  sudah menggunakan internet yang dimana 90,61 persen dari anak muda tersebut memanfaatkan internet hanya untuk media sosial.
Para remaja secara tidak sadar dapat menghabiskan rata-rata 12 jam/hari untuk  membagikan, menyukai, menulis cuitan dan memperbaharui akun mereka. Lambat laun media sosial berubah menjadi kehidupan baru mereka dan menggantikan kehidupan nyata mereka. Kini para remaja menganggap kehidupan virtual atau maya adalah kehidupan utama dan penting bagi mereka.
Para remaja sekarang pun lebih mementingkan peran dan derajat mereka di dunia maya daripada di kehidupan nyata. Banyak dari mereka lebih memilih untuk 'terlihat' bahagia dan sukses di media sosial daripada apa yang benar-benar mereka rasakan di kehidupan nyata. Apakah 'terlihat' bahagia lebih penting daripada merasakan bahagia?
Bahagia? Apakah definisi bahagia sebenarnya? Menurut Aristoteles, bahagia berasal dari kata happy yang berati feeling good, having fun, having a good time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan. Sering kali kita terutama remaja lupa apa itu arti bahagia sebenarnya. Kita terlalu sibuk untuk terlihat seakan-akan bahagia di dunia maya agar sama seperti orang lain pada umumnya.
Banyak remaja takut untuk mengungkapkan diri mereka yang sebenarnya di dunia maya karena mereka berpikir bahwa jika mereka melakukan atau memiliki sesuatu yang berbeda adalah hal yang tabu. Karena ketakutan tersebutlah semakin banyak remaja yang memilih untuk 'terlihat' bahagia secara online namun belum tentu di kehidupan nyata ia benar-benar bahagia. Dengan berpura-pura seperti itu kesehatan mental mereka akan sangat terpengaruh.
Mereka secara tidak langsung akan selalu membandingkan diri mereka dengan teman-teman maya mereka yang mengakibatkan kepercayaan diri mereka turun sehingga mereka akan berusaha sekeras mungkin untuk menutupi hal tersebut dikalangan dunia maya. Dengan timbulnya ketakutan tersebut pula secara tidak sadar semakin banyak remaja yang lambat laun melekatkan diri mereka dengan gadget yang mereka punya untuk terus-menerus mengecek akun mereka agar mereka tidak ketinggalan hal baru tiap detiknya.
Hal tersebut sangat berpengaruh akan dunia interaksi sosial mereka yang sesungguhnya. Dunia interaksi sosial mereka di kehidupan nyata akan sangat berkurang jauh. Menurut survei yang dirilis oleh Deka Insight, sebanyak 77% pengguna gadget menggunakan gadget mereka saat acara keluarga, saat nongkrong bersama teman (66%), selfie (60%), serta acara khusus seperti pernikahan dan ulang tahun (47%).
Kebanyakan masyarakat terutama remaja terlalu sibuk mengunggah apa yang sedang mereka lakukan sehingga mereka melewatkan interaksi yang sesungguhnya terjadi. Sebagai contohnya sering kali kita melihat ada sekumpulan anak remaja yang sedang berkumpul bersama teman-temannya, tetapi bukannya mengobrol tatap muka dengan orang-orang disekitarnya melainkan kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk sibuk dengan 'dunia'nya. Banyak dari mereka lupa pentingnya interaksi sosial yang dimana sebenarnya interaksi sosial secara langsung dapat membuat seseorang lebih peka dan peduli terhadap lingkungan maupun orang-orang di sekitarnya.
Kita terutama para remaja perlu sejenak meninggalkan kesibukan kita akan dunia maya dan media sosial. Kita harus ingat bahwa kita juga perlu bahagia di kehidupan nyata. Hal tersebut lantaran banyak sekali manfaat yang bisa kita dapatkan jika kita berbahagia. Secara tidak langsung dengan kita benar-benar merasa bahagia, kita dapat meningkatkan sistem imun tubuh kita .
Bahkan tertawa selama lima menit akan secara signifikan meningkatkan sel darah putih yang berfungsi untuk membunuh sel penyakit. Selain itu, dengan kita merasakan bahagia berarti kita secara tidak sadar melupakan stress ataupun tekanan yang ada. Stress itu sendiri merupakan sumber penyakit, baik penyakit mental dan fisik. Sehingga kita sebagai manusia perlu menyeimbangkan antara stress dan bahagia.
Jadi apa yang harus kita pilih? Sebenarnya kita perlu keduanya, baik bahagia secara online maupun offline. Kita harus merasa bahagia di kehidupan nyata maupun di kehidupan maya. Kehidupan kita di dunia maya harus beriringan dengan kehidupan nyata kita sebab kita tidak dapat terus-menerus hidup di dunia maya dengan 'topeng' yang selalu kita pakai sebagai identitas di akun kita. Sekarang pilihannya ditangan kita, apa yang akan kita pilih? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H