Mohon tunggu...
Priscila Felicia Elu
Priscila Felicia Elu Mohon Tunggu... Mahasiswa semester IV -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menilik Museum Gondang Winangun dan Kekasihnya: Perjalanan Sejarah Pabrik Gula Gondang Baru

25 Januari 2016   15:07 Diperbarui: 25 Januari 2016   17:53 1391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="miniatur P.G Gondang Winangun"][/caption]Melihat beberapa foto anak muda di Instagram yang memanfaatkan jeda liburan semester kali ini benar-benar membuat saya iri. Pasalnya, foto yang diunggah rata-rata diambil dari suatu destinasi wisata alam yang indah dan tentunya memanjakan mata. Kebersamaan menjadi bumbu kegembiraan yang ditaburkan, dan hal itu terlihat jelas dalam sebuah foto yang mampu berbicara mengenai segalanya.

Hari Selasa pagi, tepatnya tanggal 19 Januari kemarin, saya teringat pada suatu destinasi wisata yang cukup terkenal, namun sayangnya tidak terlalu banyak orang yang berminat untuk berkunjung ke tempat tersebut. Bukan wisata alam memang, namun dengan berkunjung ke tempat tersebut, segala sesuatu mengenai gula dapat kita jumpai. Tempat ini merupakan salah satu peninggalan sejarah dari zaman Belanda yang terletak tak jauh dari Yogyakarta, tepatnya di sebelah timur Kota Klaten.

Mungkin beberapa orang akan sedikit mengernyitkan dahi apabila mendengar tentang Pabrik Gula Gondang Baru, karena rata-rata, orang mengetahuinya sebagai Museum Pabrik Gula Gondang Winangun. Perbedaan nama ini saya rasa tidak terlalu menjadi permasalahan, karena dalam satu kawasan memang terdapat pabrik gula beserta museumnya.

Dulunya, Pabrik Gula Gondang Baru dinamakan dengan Pabrik Gula Gondang Winangun yang didirikan pada tahun 1960 oleh NV Klatensche Cultuur Maatscahapic, barulah pada bulan Desember tahun 1957, pabrik gula ini berganti nama setelah mengalami situasi pasang-surut, seperti krisis ekonomi dan beberapa kali pengambilalihan kuasa. Di sebelah Barat Pabrik Gula Gondang Baru, terdapat sebuah museum yang dibangun sebagai sarana merepresentasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam produksi Gula pada zaman Belanda. Seluruh teknologi yang merupakan bagian dari potongan sejarah itu diambil dari Pabrik Gula Gondang Baru. Bangunan museum yang sebelumnya merupakan kantor dari Pabrik Gula Gondang Baru ini diprakarsai oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah, Bapak H.Soerpardjo Roestam dan diresmikan pada tanggal 1982.

Dari depan, bangunan museum tersebut terbagi menjadi tiga ruangan utama. Ruangan paling barat merupakan suatu wadah yang menyuguhkan miniatur pabrik secara lengkap beserta tradisi Cembengan yang diabadikan dalam beberapa foto. Tradisi Cembengan atau Cembrengan merupakan ritual maupun slametan yang dilaksanakan sebelum kegiatan penggilingan tebu dimulai. Kegiatan yang dilakukan dalam ritual ini antara lain mengawinkan beberapa jenis tebu agar hasil produksi menjadi maksimal. “Ada tebu yang besar, tapi airnya cuma sedikit. Ada tebu yang airnya banyak dan manis, tapi ukurannya kecil, makanya perlu dikawinkan atau disilangkan agar menghasilkan tebu yang berukuran besar dan mempunyai kandungan air yang banyak sekaligus memiliki rasa manis,” ujar mbak Arum, salah satu pemandu wisata yang mendampingi saya berkeliling museum. Tradisi Cembengan ini juga dilakukan dengan pemotongan kepala kerbau dan penyediaan sesaji serta menampilkan beragam kesenian yang melibatkan masyarakat sekitar.

Beralih dari ruangan paling barat, saya memasuki ruangan lain yang di dalamnya terdapat koleksi alat pertanian yang digunakan untuk bertanam tebu. Selain itu, terdapat juga contoh jenis-jenis tebu, lengkap dengan tanaman-tanaman pengganggunya.

Ruangan paling timur adalah ruang kerja yang di dalamnya terdapat meja dan kursi lawas, foto-foto pemrakarsa pabrik dari tahun ke tahun, hingga berbagai macam kalkulator lawas dan mesin ketik yang pernah digunakan untuk bekerja. Semua benda peninggalan tersebut disusun dengan rapi dan apik, sehingga menimbulkan kesan yang membawa kita pada puluhan tahun silam. Di sudut ruang kerja tersebut ada sebuah pintu yang akan membawa kita pada sebuah ruangan lain, di mana banyak alat tradisional yang dulunya digunakan untuk memproduksi tebu di Pabrik.

[caption cation="Perjalanan Sejarah Pabrik Gula Gondang Baru"]

[/caption]

[caption caption="ruang penyimpanan alat"]

[/caption]

Seluruh alat yang ada dalam museum tersebut terlihat masih utuh dan terawat. Pengkuhnya benda-benda tersebut merupakan salah satu kesan yang dapat saya rasakan ketika mendekatinya. Hanya saja, yang saya sayangkan adalah minimnya pencahayaan yang terdapat dalam museum tersebut. Dari empat buah lampu yang terpasang, hanya satu buah saja yang dapat menyala. Itu saja sudah sedikit redup. Awalnya ada perasaan takut, namun rasa penasaran yang saya miliki mengalahkan rasa takut saya ketika berada dalam ruangan.

Setelah puas mengunjungi museum Pabrik Gula Gondang Winangun, saya sangat beruntung karena berkesempatan menjelajahi pabrik gula Gondang Baru yang berada persis di sebelah Timurnya. Pabrik yang masih beroperasi hingga sekarang ini memiliki kurang lebih 500 pegawai tetap. Pengunjung yang ingin memasuki pabrik, wajib didampingi oleh pemandu wisata atau guide yang bertugas, jika tidak, pengunjung dilarang memasuki pabrik.

Mbak Arum, guide yang mendampingi saya menjelajahi pabrik tersebut kemudian mulai bercerita bahwa tradisi Cembengan yang sejak dulu telah ada, masih terus dibudayakan hingga saat ini sekalipun pabrik ini sempat berhenti beroperasi. Tradisi ini selalu dilakukan sebelum menggiling atau memproduksi tebu menjadi gula. “Biasanya baru mulai nggiling lagi sekitar 6-7 bulan dari waktu selesai giling sebelumnya,” pangkas Mbak Arum. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Pabrik Gula Gondang Baru ini akan memulai produksinya lagi sekitar bulan Mei atau Juni.

Proses Produksi Gula

Ketika memasuki pabrik, saya disuguhi alat-alat berukuran raksasa yang terpasang di dalam sebuah gedung yang begitu besar dan tinggi. Satu per satu, mbak Arum mulai menjelaskan proses awal penggilingan tebu, hingga menjadi gula kristal. Tebu yang akan digiling awalnya dimasukkan ke dalam mesin penggiling. Batang tebu harus melewati beberapa proses pemerasan agar air tebu dapat diperoleh secara maksimal dan ampasnya menjadi kering.

Ampas tebu yang telah kering ditinggalkan air tidak dibuang begitu saja, namun disalurkan ke ruang ketel untuk menjadi bahan bakar mesin-mesin uap. Ketika saya berkunjung, terlihat beberapa pekerja dengan sungguh-sungguh membersihkan ketel tersebut. Pembersihan tersebut dilakukan menggunakan suatu alat khusus, yang jika saya amati dari jauh, berbentuk seperti besi berukuran cukup panjang. Ketika mereka mengeluarkan alat tersebut dari lubang-lubang pembakaran, terlihat debu berwarna hitam pekat menyembur wajah para pekerja.

[caption caption="para pekerja bergotong royong membersihkan ketel"]

[/caption]

Selanjutnya, nira atau air tebu yang telah ditampung dan disalurkan ke stasiun penyaringan atau stasiun pemurnian untuk dibersihkan dari kotoran. Caranya dengan mencampurkan nira dengan susu kapur, yaitu campuran air kapur dari gamping dan gas belerang dioksida. Kotoran akan mengendap selama beberapa waktu karena adanya proses kimia yang terjadi dari kapur dan belerang ini.

[caption caption="Stasiun Permunian"]

[/caption]

Setelah air tebu bersih dari kotoran-kotorannya, air tebu ini kemudian dipanaskan agar dapat menguap, sehingga yang tertinggal adalah tetes tebu (molase) dan endapan gula. Tetes tebu ini kemudian dipisahkan dari endapan gula. Endapan gula lalu dijadikan kristal dengan cara diputar dengan menggunakan mesin sentrifugal.

Pernah membeli arum manis? Mesin sentrifugal ini bekerja seperti pembuat arum manis. Endapan gula diputar dengan kecepatan tinggi hingga terbentuklah kristal-krisatal gula. Kalo endapan gula tidak diproses dengan putaran, maka akan diperoleh gula kental. Gula Jawa atau Gula merah merupakan salah satu bentuk endapan gula yang sudah dingin apabila tidak diproses dengan putaran.

 [caption caption="Stasiun Puteran"]

[/caption]

Selama berada di pabrik, kehadiran saya selalu disambut dengan senyum oleh para pekerja yang berada di sana. Begitu ramah dan menyenangkan. Begitu juga ketika difoto, mereka sangat terlihat bergembira dan antusias.

 [caption caption="para pekerja yang selalu bersemangat"]

[/caption]

Tahap selanjutnya setelah kristal-kristal gula terbentuk adalah tahap pendinginan dan pengayakan. Kristal gula yang benar-benar memiliki rasa manis mempunyai warna kecoklatan. Apabila ingin mempunyai hasil gula yang lebih putih, kristal gula tersebut dapat diproses lagi. Namun, gula tersebut akan memiliki kadar kemanisan yang lebih rendah dari yang sebelumnya.

 [caption caption="Stasiun Masakan dan Stasiun Pendinginan"]

[/caption]

Setelah gula selesai diayak, gula pun dikemas ke dalam karung-karung dan dijahit. Setelah dikemas, gula disimpan di dalam gudang penyimpanan dan siap untuk didistribusikan.

[caption caption="pekerja memindahkan gula dari gudang penyimpanan"]

[/caption]

                             [caption caption="pendistribusian gula dilakukan menggunakan truck"]

[/caption]

Saya tidak pernah membayangkan hari itu saya akan mendapat pengetahuan yang begitu banyak tentang gula. Ya.. gula yang kita dapatkan dengan mudah serta yang kita konsumsi setiap hari itu ternyata mempunyai latar belakang yang luar biasa. Bayangkan saja, untuk setiap produksi gula, dibutuhkan 500 tenaga kerja tetap ditambah dengan 1.500 tenaga kerja musiman yang kebanyakan direkrut dari masyarakat sekitar.

Keluar dari pabrik, saya sedikit berbincang dengan beberapa kenalan seumuran saya yang rupanya juga merasakan hal yang sama. Kami dibuat sebegitu kagumnya ketika memasuki pabrik gula tersebut. Alat-alat raksasa, mesin uap, mesin penggiling hingga para pekerja yang begitu ramah menghiasi gedung tersebut. Namun, ketika kami keluar, yang ada hanyalah sepi. Sedikiiiiiittt sekali pengunjung yang datang hari itu. Benar-benar sunyi. Hanya ada satu rombongan yang berjumlah tiga sampai empat orang yang berkunjung ke situ. Menilik kembali museum kecil yang saya kunjungi tadi membuat hati saya pilu. Saya baru saja tersadar bahwa ada beberapa alat yang tergeletak di depan museum yang dibiarkan tak terawat hingga berkarat. Entah karena memang minimnya biaya perawatan atau bagaimana, saya juga tidak mengetahuinya dengan pasti.

Pada dasarnya, museum ini adalah tonggak sejarah di mana bangunan raksasa yang saya kunjungi itu dapat berdiri. Namun rupanya tak banyak orang yang berminat untuk datang ke sini. Seiring berjalannya waktu, Museum Gondang Winangun dan kekasihnya, Pabrik Gondang Winangun ini tergantikan oleh wisata-wisata lain yang dianggap lebih menarik. Padahal, begitu banyak kesenangan dan pegetahuan yang dapat kita ambil.

Jika dibandingkan dengan museum lain, memang museum Gondang Winangun ini tidak semegah dan semenarik museum-museum sepantarannya. Tidak ada teknologi canggih, tidak ada booklet, tidak ada alat peraga, tidak ber-AC atau semacamnya. Namun, ia mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, dukungan dari warga setempat merupakan hal yang sungguh berarti. Pabrik ini masih tetap ada dan masih tetap berproduksi aktif karena apresiasi dan dukungan kita. Baik terhadap sejarahnya, maupun terhadap keberadaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun