Mohon tunggu...
Prisca Ryan
Prisca Ryan Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi membaca, mendengarkan cerita

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Bias Geder dalam Film Gadis Kretek

12 Januari 2024   00:17 Diperbarui: 12 Januari 2024   00:29 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bias gender merupakan istilah yang merujuk kepada kondisi yang memihak atau merugikan salah satu gender sehingga menimbulkan diskriminasi gender. Lebih singkatnya bias gender menempatkan Laki-laki dan Perempuan sebagai korban di tempat yang salah. Perilaku bias gender muncul karena terjadinya ketidak setaraan dan ketidak adilan gender akibat sistem dan struktur sosial yang menempatkan Laki-laki dan Perempuan pada posisi yang merugikan

seperti contoh yang terjadi dalam struktur sosial bahwa laki-laki dianggap superior, lebih mampu dan lebih kuat dibanding Perempuan yang dianggap lemah lembut dan tidak bisa mengerjakan yang biasa dikerjakan oleh laki-laki.

Fenomena tersebut juga terjadi dalam film series Gadis Kretek yang di mana salah satu tokoh Perempuan bernama Dasiyah yang merupakan anak dari pengusaha Kretek yang bernama Idrus Muria, Idrus Muria tidak mempunyai anak laki-laki sehingga dia mengandalkan pada anak perempuannya untuk membantu mengelola Perusahaan kreteknya.

Dasiyah mempunyai cita-cita membuat saus kretek terbaiknya untuk mengembangkan Perusahaan ayahnya. Meskipun Dasiyah diberi peran sebagai mandor di pabrik ayahnya, dasyiah mempunyai batasan-batasan dalam pekerjaannya. Salah satunya dasiyah tidak diperkenankan masuk ke dalam ruang yang dimana tempat untuk meracik saus kretek. Alasanya Dasiyah adalah seorang Perempuan yang tidak boleh ikut campur dalam meracik saus kretek, katanya jika ada campur tangan Perempuan maka kretek tersebut rasanya akan menjadi asam.

Di adegan lain Dasiyah menjadi korban dari lingkungannya kerap kali di gunjing oleh orang-orang kampung bahwa Dasyiah lebih baik menikah atau bukannya Perempuan diam di rumah saja tapi malah mengurus kretek. Hal tersebut yang membuat Dasiyah gigih melawan anggapan dan streotip bahwa Perempuan hanya bisa diam saja di rumah dan menikah.

Dasiyah juga menjadi korban kedua orang tuanya dia dijodohkan oleh kedua orang tuanya kepada seorang anak pengusaha kretek yang bernama Seno Aji, dengan tujuan menjalin hubungan antar Perusahaan maka Dasiyah lah yang menjadi korban ayahnya, dengan ketidak mampuan Dasiyah melawan kedua orang tuanya maka dengan hati yang bergejolak Dasiyah pasrah dengan keadaannya, walaupun hatinya untuk seseorang yang bernama Soraya.

contoh kasus yang sesuai dengan topik adalah " Dua Garis Biru" 

film ini membuka ruang untuk analisis mengenai bagaimana gender diangkat dalam konteks kehamilan remaja. Artikel ini akan mengeksplorasi dan menganalisis bagaimana "Dua Garis Biru" mencerminkan dan mungkin memperkuat bias gender, dengan merujuk pada teori feminisme dan interaksionalisme simbolik.

Sejak awal, karakter perempuan dalam film ini, yang dihadapkan pada kehamilan remaja, cenderung ditonjolkan sebagai satu-satunya penanggung jawab utama terhadap konsekuensi yang muncul. Film ini menghadirkan stereotip tradisional yang mengharuskan perempuan menanggung beban moral dan tanggung jawab dalam situasi sulit seperti ini.

Pencitraan Karakter dan Stereotip
Satu aspek yang mencolok dalam "Dua Garis Biru" adalah bagaimana film ini menangani peran dan tanggung jawab karakter perempuan dalam situasi kehamilan remaja. Dengan merujuk pada teori feminisme, kita dapat memahami bagaimana film ini dapat memperkuat stereotip tradisional. Menurut teori feminisme, peran perempuan dalam masyarakat sering kali terjebak dalam norma-norma yang mendefinisikan mereka sebagai penanggung jawab utama dalam situasi-situasi sulit.

Film ini memberikan penekanan yang kuat pada karakter perempuan sebagai sosok ibu remaja yang harus bertanggung jawab atas konsekuensi kehamilan. Dalam perspektif feminisme, ini menciptakan gambaran yang dapat memperkuat norma sosial yang memposisikan perempuan sebagai satu-satunya pihak yang harus menanggung beban moral dan tanggung jawab dalam konteks kehamilan.

Dalam beberapa adegan, karakter perempuan diposisikan sebagai individu yang harus menghadapi konflik internal dan memutuskan nasib kehamilannya tanpa memberikan cukup ruang untuk pengembangan karakter laki-laki yang terlibat dalam situasi ini. Hal ini menciptakan dinamika yang tidak seimbang dan mungkin memperkuat pandangan bahwa perempuan adalah satu-satunya pihak yang harus menanggung beban dalam keputusan kehamilan.

Perspektif Laki-laki dan Pengambilan Keputusan
Teori interaksionalisme simbolik menawarkan pandangan yang menarik tentang bagaimana "Dua Garis Biru" dapat diinterpretasikan dalam konteks keterlibatan laki-laki dalam keputusan terkait kehamilan. Film ini kurang menyoroti pertumbuhan karakter laki-laki terkait kehamilan remaja, sehingga menurut teori ini, memberikan gambaran yang tidak lengkap. Menurut teori interaksionalisme simbolik, individu mengembangkan pemahaman mereka tentang dunia melalui interaksi sosial dan simbol-simbol. Dalam hal ini, kurangnya pemberian perhatian pada perspektif laki-laki dalam film dapat menciptakan gambaran yang tidak lengkap tentang realitas kehidupan remaja yang dihadapkan pada kehamilan.

Penonjolan karakter perempuan dalam pengambilan keputusan kehamilan dan ketiadaan pengeksplorasian serius terhadap pengalaman laki-laki dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam pemahaman penonton mengenai peran masing-masing gender dalam konteks ini. Film seperti "Dua Garis Biru" yang kurang menggali sudut pandang laki-laki dalam kehamilan remaja dapat secara tidak langsung memperkuat norma sosial yang menyederhanakan peran laki-laki sebagai penonton pasif atau bahkan mengabaikan pertanggungjawaban mereka dalam situasi yang kompleks ini.

Tanpa memberikan ruang untuk pengembangan karakter laki-laki, film tersebut mungkin secara tidak disadari mempertahankan pandangan yang melekat pada peran gender tradisional, di mana tanggung jawab terkait kehamilan lebih diarahkan pada perempuan. Langkah-langkah untuk memberikan nuansa yang lebih kaya dan seimbang terhadap kedua jenis kelamin dalam situasi seperti kehamilan remaja dapat membantu mengatasi bias gender dan menciptakan naratif yang lebih inklusif serta relevan dengan kompleksitas kehidupan nyata.

Peluang Perubahan dalam Naratif
Teori feminisme postmodern menyoroti peran naratif dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap isu-isu gender. Dengan merubah perspektif dan menghindari stereotip gender, film dapat menjadi alat yang efektif untuk membuka wawasan masyarakat terhadap realitas yang lebih luas.

Menurut teori feminisme postmodern, naratif film dapat membentuk dan mereproduksi norma sosial. Dengan merubah perspektif dan menghindari stereotip gender, film dapat menjadi alat yang efektif untuk membuka wawasan masyarakat terhadap realitas yang lebih luas. Dengan mengembangkan karakter laki-laki secara lebih mendalam dan memberikan porsi cerita yang lebih adil kepada mereka, film ini bisa menjadi langkah positif menuju menciptakan naratif yang lebih inklusif dan beragam.

Pendekatan terhadap karakter laki-laki juga dapat menjadi pertimbangan. Film ini memberikan sedikit perhatian pada pengembangan karakter laki-laki yang terlibat dalam kehamilan remaja, mengabaikan potensi kompleksitas dan pertumbuhan karakter yang dapat mewakili perspektif laki-laki. Dalam kerangka interaksionalisme simbolik, kurangnya pengeksplorasian ini dapat menciptakan gambaran yang tidak lengkap dan membatasi pemahaman kita terhadap keterlibatan laki-laki dalam keputusan terkait kehamilan.

Dalam pandangan teori feminisme, "Dua Garis Biru" memberikan gambaran yang dapat memperkuat stereotip tradisional tentang perempuan sebagai penanggung jawab utama dalam situasi sulit. Di sisi lain, teori interaksionalisme simbolik membawa pemahaman bahwa kurangnya perhatian pada perspektif laki-laki dapat menciptakan gambaran yang tidak lengkap dan membatasi pemahaman kita terhadap keterlibatan mereka dalam keputusan terkait kehamilan.

Dengan menggabungkan teori feminisme dan interaksionalisme simbolik, kita dapat membuka wawasan lebih mendalam tentang bagaimana film ini memengaruhi persepsi masyarakat terhadap isu-isu gender dan kehamilan remaja. Diskusi ini, diharapkan, akan membuka pintu untuk perubahan positif dalam cara industri film mengangkat dan memperlakukan isu-isu yang sensitif ini ke depannya.

Mengatasi bias gender dalam film memerlukan langkah-langkah konkret untuk merangkul keragaman dan kompleksitas pengalaman gender. Dalam konteks "Dua Garis Biru," menggali lebih dalam ke dalam perasaan dan pertimbangan karakter laki-laki, serta membebaskan karakter perempuan dari beban stereotip, dapat memperkaya pengalaman penonton dan menghadirkan naratif yang lebih membumi.

Saat ini, masih ada tantangan dalam industri film untuk merangkul representasi gender yang lebih inklusif dan menyajikan kisah-kisah yang mencerminkan keragaman pengalaman manusia. Dengan memperhatikan ketidakseimbangan ini, film seperti "Dua Garis Biru" dapat menjadi katalis untuk perubahan. Mendorong inklusivitas gender dalam semua aspek produksi film, dari penulisan naskah hingga pengembangan karakter, adalah langkah positif menuju menciptakan naratif yang lebih adil dan representatif bagi semua jenis kelamin. Film dapat menjadi sarana kuat untuk menciptakan perubahan sosial dan membentuk pandangan masyarakat tentang isu-isu sensitif seperti kehamilan remaja dengan lebih bijak.

Ketika industri film mengambil langkah-langkah untuk menyajikan cerita yang mencerminkan keberagaman dan inklusivitas gender, kita dapat berharap bahwa film-film seperti "Dua Garis Biru" akan menjadi katalis untuk perubahan sosial yang lebih positif. Film, sebagai bentuk seni yang kuat, memiliki potensi untuk tidak hanya mencerminkan dunia kita, tetapi juga membantu membentuk pandangan masyarakat yang lebih maju dan inklusif. jika merujuk pada kasus pada dunia nyata adalah di India Hampir seperempat juta anak perempuan di India tewas setiap tahunnya karena diskriminasi gender. sekitar 240 ribu anak perempuan yang ditemukan menjadi korban diskriminasi ini tidak termasuk kasus aborsi setelah hasil USG menunjukan bayi yang dikandung berjenis kelamin perempuan. 

Untuk teori yang relevan terdapat teori Dramaturgi: Teori Dramaturgi merupakan teori dalam interaksi sosial yang dipahami seperti drama dalam teater. Teori ini dikembangkan oleh sosiolog terkemuka yaitu Erving Goffman. Dalam bukunya yang berjudul Presentation of Self in Everyday Life (1959), Goffman menjelaskan bahwa dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia dan setiap individu memainkan peran tertentu dalam drama sosial. Dilihat dari perspektif teori dramaturgi, kehidupan serta interaksi sosial yang terjalin di dalamnya ibarat sebuah teater atau pertunjukan drama yang menampilkan peran peran aktor di dalamnya. Untuk memainkan peran tersebut, para aktor tersebut menggunakan bahasa verbal dan nonverbal serta menggunakan atribut atribut tertentu, misalnya pakaian, kendaraan dan atribut lainnya yang sesuai dengan perannya di situasi tersebut. Kehidupan sosial dapat dibagi menjadi "wilayah depan" dan "wilayah belakang". Wilayah depan diibaratkan panggung sandiwara bagian depan (front stage) tempat pemain berperan atau bersandiwara. Sedangkan wilayah belakang ibarat panggung bagian belakang (back stage) atau ruang rias tempat pemain bersantai, mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.

Teori ini juga menggambarkan bahwa manusia yang tidak tampil "apa adanya" di dalam kehidupan bersosial. Manusia ingin menampilkan pertunjukan terbaiknya untuk mendapatkan citra yang baik pula dalam bersosial. Dalam teori dramaturgi, peran sosial adalah karakter atau identitas yang dimainkan oleh individu dalam interaksi sosial. Setiap orang memiliki berbagai peran sosial, seperti sebagai anak, sahabat, karyawan, atau pemimpin. Ketika berada di panggung kehidupan, seseorang beradaptasi dengan peran-peran ini dan berusaha untuk memenuhi harapan yang melekat padanya.

Menurut  Kluchohn  (dalam Pelly,  1994) konsep  nilai budaya berupa hubungan perilaku dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan manusia dengan manusia,  dan hubungan manusia dengan lingkungan sekitar. Nilai budaya dapat diartikan juga sebagai pandangan atau pedoman hidup masyarakat. Konsep nilai budaya diangap bernilai dalam kehidupan. Nilai budaya dapat direpresentasikan dalam sebuah karya sastra. Hal ini agar masyarakat dapat memetik setiap hal baik dan buruk yang ada pada karya sastra.

analisis sayapada film ini adalah adanya ketidak setaraan gender yang dimana ini sangat tidak adil karena perempuan dianggap dibawah laki-laki sedangkan perempuan ini bisa dibilang derajatnya hampir sama dengan laki-laki sehingga dari film ini kita tahu bahwa wanita juga bisa melakukan pekerjaan laki-laki, jika mereka bisa bekerja sama ketidaksetaraan gender mungkin bisa di kurangi

Nama : PriscaRyanDana Karuna Budhi

NPM  :1512000087

Jurusan : Ilmu Komunikasi Untag Surabaya

Dosen Pengampu : Dr. Merry Fridha Tripalupi., M.Si

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun