Pernahkah kita mengajarkan cara meminta maaf yang baik kepada anak-anak kita? Pertanyaan itulah yang menjadi ide awal dari sebuah puisi yang kubuat tahun 2018 lalu. Puisi itu kunaikkan di Kompasiana dan menjadi Artikel Utama. Begini isinya:
Sambil mengerjakan pekerjaan rumah Â
pelajaran berikutnya, ia menunggu gurunya datang
Sebab ilmu baru akan segera ia kenali, sebuah
cara sederhana meminta maaf
Seumur hidup, ia tak pernah mengatakan itu
Teman-temannya yang ia benci begitu mudah
mengucapkan maaf setelah puas saling menyakiti
Ayahnya di rumah, kerap pulang dengan raut marah
Tapi tak pernah mengucapkan maaf pada ibunya yang ramah
Ia berterima kasih pada pemerintah
yang membuat kurikulum baru, pelajaran meminta maaf
Ia betul-betul ingin tahu arti maaf sebenarnya
Bagaimana seharusnya meminta maaf, apa kata yang perlu
diucapkan terlebih dahulu, bolehkah berkata maaf
sambil tersenyum, ataukah memang harus terpiuh-piuh
berurai air mata, sambil mengaduh-aduh
Sambil mengerjakan pekerjaan rumah
pelajaran berikutnya, ia belajar mengartikan debar
menyiapkan sejumlah pertanyaan yang akan diajukan
Tetapi, guru yang ia tunggu tak datang-datang
Lonceng berdentang, pelajaran meminta maaf
tertinggal dalam bayang-bayang
Hari itu, ia tak yakin benar-benar ada orang tulus
meminta maaf, ia tak percaya orang bisa
mengakui kesalahan, sambil membuka silabus
pelajaran berikutnya: pelajaran memberi maaf.
(2018)
Serius, tidak mudah mengajari anak-anak mampu mengucap maaf. Pada awalnya, ada keengganan seakan berat sekali bibir berucap. Di situ, sebagai orang tua, aku malah belajar, seorang anak yang polos menunjukkan memang pada dasarnya sangat sulit untuk mengakui diri kita salah. Kata maaf yang terlontar dari bibir orang dewasa, yang tampaknya mudah diucapkan, justru lebih berpotensi palsu. Sebaliknya, anak-anak yang tidak berpikir rumit, menunjukkan bahwa meminta maaf itu sulit sekali. Dan ketika mampu meminta maaf, berarti kita bersedia menundukkan ego kita, menyadari kesalahan yang kita perbuat.
Lalu bagaimana caranya mengajari anak-anak agar mampu meminta maaf?
Pertama, seringkali anak-anak belum mengerti ada kesalahan yang ia perbuat. Sebagai orang tua, kita perlu menjelaskan perbuatannya: bagian mana yang salah dan alasan kenapa itu salah. Meski tampak belum mengerti, jangan ragu untuk menjelaskan dengan detail mengenai sebab dan akibat perbuatannya tersebut.
Namun, yang perlu diingat adalah jadilah orang tua yang demokratis. Kita juga perlu mendengarkan versi kejadian dari anak-anak kita. Bisa jadi kita yang keliru dalam mempersepsikan perbuatan sang anak. Bila memang salah, sebagai orang tua, kita tidak perlu memakluminya. Katakan yang salah itu salah.
Kedua, ketika sudah tahu letak kesalahannya, ajarkan ia untuk berempati. Ajak sang anak berpikir dan merasakan bila ia berada di posisi orang lain yang menjadi sasaran kesalahannya. Hal ini biasa terjadi dalam kasus interaksi dua anak balita. Biasanya, anak-anak akan berebut mainan. Saat ia merebut mainan misalnya, katakan kepada anak untuk membayangkan bila mainannyalah yang direbut oleh kawannya.
Ketiga, lakukanlah lewat media-media edukasi. Ada banyak dongeng, cerita rakyat, dan cerita anak dengan edukasi dalam berbagai hal. Termasuk dalam hal meminta maaf. Lewat media edukasi, anak balita jadi lebih mudah menerima hal tersebut.
Dan keempat, jadilah teladan. Jangan sampai kita menjadi orang tua yang otoriter. Berilah contoh dalam meminta maaf. Tunjukkan sikap dan ucap meminta maaf itu antara orang tua, dan antara orang tua ke anak. Semakin sering ia mendengar kata maaf, dan lalu apa konsekuensi yang ia rasakan setelah kata itu diucapkan, akan semakin mudah baginya untuk menyadari kesalahan dan meminta maaf.
Pada dasarnya, meminta maaf adalah hasil kompromi dari harga diri dan kejujuran. Memang tidak bisa instan untuk menyadari bahwa meminta maaf tidak akan menurunkan harga diri kita. Dan permintaan maaf harus dimulai dari jujur terhadap diri sendiri, untuk mengakui kesalahan.Â
Tidak pernah ada laku pasti bagaimana cara yang meminta maaf. Yang jelas, permintaan maaf yang tulus akan berbuah hal: kita tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H