Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

NLP dan Pengalaman Menghadapi Gratifikasi

7 Januari 2022   21:32 Diperbarui: 8 Januari 2022   08:09 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Instagram Kanwil Ditjen Perbendaharaan Sumsel

"Ucapan terima kasih" itu mungkin tampak biasa saja, tidak akan mengganggu integritas. Tapi yang namanya gratifikasi, jangan sampai ada ruang sekecil apa pun untuk ditoleransi. Kalau sekali ditoleransi lama-lama kita akan makin permisif.

Perasaan terbaik itu datang ketika makan siang, bertemu dengan para customer, dan mereka mengerti soal nilai yang kita jaga, tidak tiba-tiba mentraktir misalnya.

Ah, itu kan kamu bisa menolak karena nilainya tidak seberapa. Bagaimana kalau nilainya sangat besar?

Ini adalah pertanyaan berikutnya. Saat ingin menjawab pertanyaan ini, aku jadi teringat kisah lain. Saat tingkat 3 (tahun 2010) dan menyiapkan tugas akhir, aku mengambil objek penelitian di perusahaan saudaraku. Kuambil objek itu karena perlakuan akuntansinya masih sangat tradisional. Jadi aku hanya membandingkan praktik dan teori gitu deh.

Dan ternyata saat itu, saudaraku tersebut tengah mengalami permasalahan perpajakan. Tiba-tiba dia dihubungi orang pajak bahwa ada kekurangan pembayaran pajak. Sudah dua kali diberi surat peringatan tapi tidak ada tanggapan. Padahal saudaraku bilang nggak pernah ada surat apa-apa sampai. Dan karena itu bisa didenda hingga 4 kali lipat dari nilai yang harus dibayarkan. Aku anak Akuntansi yang nggak jago-jago banget soal Pajak. Tapi seingatku sih nggak segitu otoriternya.

Singkat cerita, saat hari terakhir kepulanganku mengambil data di kampung halaman, aku diajak oleh saudaraku itu. Diberi pesan, aku hanya boleh diam dan menyaksikan apa yang akan terjadi. Dan ambil pelajaran untuk hidupmu nanti.

Ternyata aku diajak untuk bertemu pegawai pajak. Di Palembang Indah Mall (PIM). Saat sampai dan menelepon, ia meminta saudaraku tidak turun dari mobil dan bertemu di tempat parkir. Tak lama ia datang dan masuk. Melihatku awalnya ia kaget karena rambutku cepak-cepak toh, dikira polisi. Aku juga tidak bilang anak STAN. Aku hanya dikenalkan sebagai saudara yang sedang ikut.

Aku diam saja di sana, menyimak apa yang terjadi. Bahasa manis. Ancaman-ancaman denda. Dan akhirnya penawaran agar bisa tidak membayar denda asal membayarnya.

Dalam hati, jika peristiwa ini kualami ketika aku sudah bekerja pasti sudah kulaporkan di Whistleblowing System.

Mungkin peristiwa ini yang lebih traumatis buatku. Wow, beginikah dunia kerja itu nanti?

Dan peristiwa dengan nilai cukup besar itu pernah terjadi juga padaku, meski secara tidak langsung. Saat itu, customer dengan dana terbesar di tempatku bekerja bermasalah dalam pencairan karena hingga menjelang akhir tahun anggaran masih banyak yang belum diajukan pembayarannya. Kantorku punya kewajiban dalam memonitoring penyerapan anggaran. Mereka kemudian meminta bantuan untuk lembur di hari Sabtu, khusus memeriksa dokumen agar tidak terjadi kesalahan ketika pengajuan resmi. Setelah rundingan, akhirnya kami setuju dan tidak ada niat lain di luar soal pelayanan prima dan IKU penyerapan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun