Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Refleksi Pengalaman Masa Kecil dalam Mendidik Anak Gemar Membaca

4 November 2021   06:23 Diperbarui: 4 November 2021   06:37 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya membaca. Dokumentasi pribadi.

Tiap kali ditanya apa yang membentukku menjadi seorang penulis, aku akan ingat masa kecilku. Keluargaku amat sederhana. Lima bersaudara. Sebulan sekali, setelah gajian, Bapak akan mengajakku ke Kota Palembang (rumahku di kabupaten yang berbatasan langsung dengan Palembang). 

Beliau akan berbelanja keperluan bulanan bersama Ibu. Aku yang tidak suka ikut keliling-keliling ditinggal di Gramedia. Sendirian. Aku akan membaca sepuasnya di sana. Hal itu terjadi sejak aku kelas 1 SD.

Aku baru menyadari sekarang, hal itu membuatku berpikir bahwa buku (dan membaca) adalah sebuah kemewahan. Selepas membaca buku gratisan itu, aku pun diberikan hak membeli satu buah buku setiap bulan. Aku ingat yang kubeli. Kalau tidak Bobo, Doraemon, ya Lima Sekawan.

Aku begitu rakus-baca. Namun saat itu aku menyadari keluargaku tidak punya cukup uang untuk membeli banyak buku. Bahkan buku pelajaran sekolah pun, rutin aku mencari buku bekas bersama Bapak di kolong Jembatan Ampera. 

Untungnya, saat itu aku punya dua sepupu yang perekonomiannya lebih baik. Yang satu selalu berlangganan Bobo. Satunya lagi berlangganan Tiger Wong dan Tapak Sakti. Kepada keduanya aku selalu meminjam.

Ketika aku beranjak dewasa, menjadi orang tua, aku tahu salah satu hal yang harus kutanamkan kepada anakku adalah kecintaan terhadap buku. Alhamdulillah, anakku yang pertama, Hanna, tumbuh dalam iklim belajar yang tinggi. Saat dia batita, aku sedang mendapat beasiswa D4 di STAN dan ibunya mendapat beasiswa S2 di Fisika ITB. Dia tumbuh menyaksikan kami berdua yang pembelajar, meski aku hanya bertemu tiap akhir pekan saat itu.

Apalagi aku seorang penulis. Dia kerap kuajak saat kegiatan sastra. Pernah suatu ketika dia ikut aku ke panggung, membaca puisi di Malam Puisi Bandung. Bila aku ke toko buku, dia juga selalu meminta dibelikan buku anak.

Budaya Literasi Versus Budaya Digital

Pernah dalam suatu diskusi, aku membicarakan kenapa orang sekarang malas membaca. Yang membaca, malas memahami yang ia baca. Itulah nasib dari negara ketiga. Posisinya di ekor. 

Saat negara maju mulai membangun budaya digital, kita latah, tanpa belajar bahwa di negara maju, budaya literasinya sudah terbangun. Sedangkan di Indonesia belum. 

Loncatan ke budaya digital itu membangun mental ingin cepat. Maka, sikap budaya membaca sampai selesai atau memamah informasi yang dibaca itu hilang.

Hanya saja, bila dibenturkan budaya literasi dengan budaya digital, salah juga. Pada dasarnya, keduanya tidak bertentangan. Namun, perlu strategi untuk mengenalkan keduanya kepada anak. Perlu racikan kombinasi yang ciamik.

Resep utamanya adalah jangan jadikan media digital sebagai eskapisme. Maksudnya gini, kadangkala sebagai orang tua, kita capek 'kan. Sementara anak itu pengennya banyak. Kita merasa nggak mau diganggu oleh anak kita. Jadi sebagai eskapisme, kita suruh anak menonton televisi, Youtube, atau bermain game. Itu salah besar.

Kita juga harus fair ke anak. Kenalkan ponsel itu sebagai media yang memiliki berbagai manfaat. Apalagi sekarang nih, saya kan work from home. Saya harus kasih tahu ke anak bahwa ayahnya kerja saat memegang ponsel. Bukan main game atau menonton hiburan. Saya juga kasih tahu, hiburan ayahnya itu membaca online novel di ponsel. Saya tunjukkan ke dia novel-novel berbahasa Inggris yang saya baca. Kemudian saya kasih tahu, ada juga lho buku-buku anak. Mau baca, nggak?

Pada dasarnya, kita bisa melakukan aktivitas tanpa batas di ponsel. Tetapi kita harus bertanggung jawab. Kuberi tahu bahwa aku dapat mengawasi apa yang ia lakukan dengan ponsel itu. Google Family dapat mengawasi aktivitas sang anak. Ya, emailnya terhubung dengan emailku.

Beberapa bulan lalu, kami pindah ke Banyuasin, sebuah kabupaten di Sumatera Selatan. Sempat ada kekhawatiran, tidak ada koneksi internet. Namun syukurlah ternyata IndiHome sudah menjangkau rumah orang tuaku. Pantas disebut internetnya Indonesia karena jaringannya yang sudah sangat luas hingga pelosok. Kami pun memasang paket pelajar. Kelebihannya, paket ini dilengkapi puluhan channel TV interaktif dengan beragam konten edukatif.

Sekarang, bisa dibilang Hanna sudah bisa bertanggung jawab dengan ponselnya. Setiap ingin memakai ponsel, dia meminta izin terlebih dahulu.

"Abi, boleh Hanna main gim?"

"Abi, boleh Hanna nonton Youtube?"

"Abi, boleh Hanna membaca Bobo?"

Jika waktunya tepat dan tidak mengganggu jadwalnya yang sudah ditetapkan, pasti kuizinkan dengan batas waktu tertentu.

Sekarang, sebagai orang tua, aku punya kebanggan kepada Hanna. Sebab dia sudah fasih membaca buku lewat ponsel. Satu hari bisa satu buku. Meski kebanyakan masih buku-buku bergambar.

Selain itu, dia sedang gemar belajar menggambar anime. Dia belajar dari video di Youtube. Apa-apa yang dia baca, dia tonton, selalu diceritakannya setiap malam menjelang waktu tidur kami. Sebagai orang tua, kita hanya harus mendengarkan dan memfasilitasi hal-hal yang bermanfaat. Dan memberi tahu, apabila ada konten yang belum pantas ditonton olehnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun