Tiap kali ditanya apa yang membentukku menjadi seorang penulis, aku akan ingat masa kecilku. Keluargaku amat sederhana. Lima bersaudara. Sebulan sekali, setelah gajian, Bapak akan mengajakku ke Kota Palembang (rumahku di kabupaten yang berbatasan langsung dengan Palembang).Â
Beliau akan berbelanja keperluan bulanan bersama Ibu. Aku yang tidak suka ikut keliling-keliling ditinggal di Gramedia. Sendirian. Aku akan membaca sepuasnya di sana. Hal itu terjadi sejak aku kelas 1 SD.
Aku baru menyadari sekarang, hal itu membuatku berpikir bahwa buku (dan membaca) adalah sebuah kemewahan. Selepas membaca buku gratisan itu, aku pun diberikan hak membeli satu buah buku setiap bulan. Aku ingat yang kubeli. Kalau tidak Bobo, Doraemon, ya Lima Sekawan.
Aku begitu rakus-baca. Namun saat itu aku menyadari keluargaku tidak punya cukup uang untuk membeli banyak buku. Bahkan buku pelajaran sekolah pun, rutin aku mencari buku bekas bersama Bapak di kolong Jembatan Ampera.Â
Untungnya, saat itu aku punya dua sepupu yang perekonomiannya lebih baik. Yang satu selalu berlangganan Bobo. Satunya lagi berlangganan Tiger Wong dan Tapak Sakti. Kepada keduanya aku selalu meminjam.
Ketika aku beranjak dewasa, menjadi orang tua, aku tahu salah satu hal yang harus kutanamkan kepada anakku adalah kecintaan terhadap buku. Alhamdulillah, anakku yang pertama, Hanna, tumbuh dalam iklim belajar yang tinggi. Saat dia batita, aku sedang mendapat beasiswa D4 di STAN dan ibunya mendapat beasiswa S2 di Fisika ITB. Dia tumbuh menyaksikan kami berdua yang pembelajar, meski aku hanya bertemu tiap akhir pekan saat itu.
Apalagi aku seorang penulis. Dia kerap kuajak saat kegiatan sastra. Pernah suatu ketika dia ikut aku ke panggung, membaca puisi di Malam Puisi Bandung. Bila aku ke toko buku, dia juga selalu meminta dibelikan buku anak.
Budaya Literasi Versus Budaya Digital
Pernah dalam suatu diskusi, aku membicarakan kenapa orang sekarang malas membaca. Yang membaca, malas memahami yang ia baca. Itulah nasib dari negara ketiga. Posisinya di ekor.Â
Saat negara maju mulai membangun budaya digital, kita latah, tanpa belajar bahwa di negara maju, budaya literasinya sudah terbangun. Sedangkan di Indonesia belum.Â