Sayangnya, di situlah industri menunjukkan wajah buruknya. Nasyid bukanlah tentang senandung biasa melainkan asupan ruhiyah dalam tiap liriknya. Ia bukan ajang untuk menampilkan kondisi duniawi. Namun selayaknya ajang, tampang kemudian menjadi komoditas, dan buatku, hal itu merusak esensi.
Setelah itu, perlahan-lahan, nasyid di industri musik mulai tergantikan. Penyebabnya, turun gunungnya para anak band yang membuat lagu relji setiap bulan puasa. Mereka baru sadar bahwa nasyid punya segmen khusus yang laku di pasaran. Para anak band yang biasa bucin atau bahkan urakan sekali pun tiba-tiba membuat lagu-lagu reliji dengan busana-busana islami.
Grup-grup nasyid pun bertumbangan dalam industri yang sedemikian kejam itu.
Sisi baiknya, itu menjadi ruang renung agar nasyid kembali ke khittahnya. Ia menjadi setitik air yang melenyapkan dahaga di padang pasir bagi jiwa-jiwa yang memiliki kekosongan. Dan kekosongan itu, selaiknya diisi dengan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H